Kasus Besar Bisa Desak Proteksi Perempuan dari Kekerasan?
7 Oktober 2024Kekerasan berbasis gender, yakni kekerasan yang ditujukan kepada seseorang karena jenis kelamin biologis atau sosial mereka, kini semakin marak terjadi.
Menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hampir satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dalam hidupnya.
Mulai dari gerakan di media sosial seperti penggunaan tagar #MeToo di Amerika Serikat (AS), kampanye tagar #aufschrei di Jerman, protes massal melawan pemerkosaan dan pembunuhan perempuan seperti di Meksiko dan India, hingga yang terbaru, kasus Gisele Pelicot di Prancis yang berpotensi meningkatkan kesadaran masyarakat. Namun, perubahan hanya akan terjadi jika para politisi dan lembaga peradilan mendukung itu.
Prancis: Gisele Pelicot jadi ikon feminis
Kasus Gisele Pelicot telah mengejutkan Prancis dan juga dunia. Perempuan berusia 72 tahun ini, dalam keadaan tidak sadar karena dibius suaminya, selama bertahun-tahun dan dilecehkan olehnya dan pria lain. Suaminya telah merekam 200 insiden, di mana rekaman itu kini menjadi barang bukti dalam persidangan terhadap dirinya dan 50 pria lainnya.
Aspek penting dari kasus ini adalah Gisele Pelicot secara eksplisit mengkampanyekan agar persidangan dilakukan secara terbuka, "agar rasa malu berpindah ke pihak lain.”
Untuk menunjukkan dukungan kepada Pelicot dan korban kekerasan seksual lainnya, ribuan orang turun ke jalan di berbagai kota di Prancis pada September lalu, seraya meneriakkan yel-yel, di antaranya "Kita semua adalah Gisele!”
Meskipun hal ini telah membawa aspek fundamental dari kekerasan terhadap perempuan kembali menjadi fokus di Prancis, tetapi hal itu belum cukup, kata Elke Ferner, Ketua PBB untuk Perempuan di Jerman.
Politisi dan pemerhati hak-hak perempuan percaya bahwa perubahan pada hukum pidana Prancis itu diperlukan. "Bahkan tidak ada aturan 'tidak berarti tidak', yang menyatakan bahwa tindakan seksual yang bertentangan dengan kehendak orang lain dapat dihukum. Sebaliknya, di Prancis, perlawanan aktif harus terjadi agar bisa dianggap sebagai pemerkosaan di pengadilan.”
India: Diskriminasi dan misogini masih eksis
Pemerkosaan dan pembunuhan seorang asisten dokter perempuan baru-baru ini menyebabkan kemarahan di India. Pada awal Agustus lalu, perempuan berusia 31 tahun ditemukan tewas di rumah sakit pemerintah di Kolkata, ibu kota negara bagian Benggala Barat.
Kasus terbaru dari sekian banyak kasus pemerkosaan di negara ini memicu protes besar-besaran. Para pekerja rumah sakit itu melakukan aksi mogok kerja dan pemerintah Benggala Barat akhirnya memperketat hukum pemerkosaan.
Bagi banyak warga India, kasus kejahatan ini membawa kembali kenangan akan pemerkosaan brutal yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap seorang mahasiswi di sebuah bus di ibu kota New Delhi pada 2012 lalu.
Gadis berusia 23 tahun meninggal dunia, karena luka dalam yang parah. Saat itu, protes dan kemarahan publik bahkan lebih besar daripada saat ini, kata aktivis hak perempuan India, Ranjana Kumari, kepada DW. Situasi ini sangat memprihatinkan, kata direktur Pusat Penelitian Sosial di New Delhi dan ketua Women Power Connect, sebuah koalisi organisasi perempuan.
"Ketika Anda melihat data, kejahatan telah meningkat. Tidak hanya kekerasan dalam rumah tangga tetapi juga kejahatan di ruang publik dalam hal pemerkosaan dan juga penindasan dan pelecehan terhadap perempuan di jalan. Dan yang sangat mengejutkan serta menjengkelkan adalah lebih banyak kejahatan yang terjadi pada perempuan yang berasal dari komunitas minoritas, dan dari kaum Dalit yang kurang mampu,” katanya, merujuk pada kelompok yang berada di urutan terendah dalam sistem kasta di India.
Kekerasan seksual ini mencerminkan struktur patriarki dan misoginis di masyarakat India, di mana perubahan terhadap norma-norma sosial masih berjalan lamban, tambah Kumari. Meski hukum telah diperketat dan program-program baru telah diluncurkan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi sebagian besar dari solusi itu masih berupa teori dan bukan praktik, katanya.
Ada beberapa kasus yang berulang kali terjadi di mana pihak berwenang mencoba untuk menutup-nutupi sesuatu, dengan para pejabat yang terkadang menolak untuk menerima laporan dari para perempuan. "Kasus-kasus ini membutuhkan waktu 10 hingga 15 tahun untuk mencapai keadilan. Anda harus mulai memberikan keadilan, jika tidak, para penjahat akan semakin berani,” kata Kumari.
Perempuan Meksiko bangkit melawan feminisme
Di Meksiko, ratusan perempuan menjadi korban femisida setiap tahunnya, di mana mereka dibunuh karena mereka perempuan, dan biasanya dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan mereka.
Menurut data resmi, terdapat 827 kasus pembunuhan perempuan pada 2023, dengan jumlah kasus yang tidak dilaporkan kemungkinan jauh lebih tinggi. Para ahli mengaitkan tingginya angka pembunuhan perempuan di Meksiko dengan budaya maskulinitas yang mengakar kuat di negara itu dan sistem peradilan yang cukup bermasalah, di mana hanya memberikan perlindungan yang begitu sedikit untuk para perempuan.
Tingkat misogini yang mematikan dan mengkhawatirkan ini telah mendorong gerakan feminis di negara ini berkembang menjadi pemberontakan sosial, dalam beberapa tahun terakhir.
"Protes massa terhadap pembunuhan perempuan dan bentuk-bentuk kekerasan gender lainnya memainkan peran penting dalam memajukan kesadaran publik dan meminta pertanggungjawaban para pejabat,” kata pengacara AS Julie Goldscheid, seorang pakar kekerasan berbasis gender, kepada DW.
Tingginya perhatian publik juga semakin mendorong lembaga peradilan dan politisi untuk menangani masalah ini, tetapi langkah-langkah yang lebih efektif sejauh ini belum terwujud. Banyak warga Meksiko kini sedang fokus pada Claudia Sheinbaum, yang terpilih sebagai presiden perempuan pertama di negara itu pada Juni lalu. Sheinbaum mengumumkan niatnya untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi para perempuan Meksiko.
Jerman: Diperlukan lebih banyak reformasi
Pada 2013, perempuan Jerman mulai menggunakan tagar #aufschrei, atau "protes”, di media sosial untuk melaporkan pengalaman mereka tentang seksisme dan kekerasan yang mereka alami. Liputan berita darilaporan bertagar #aufschrei itu kemudian mendorong adanya diskusi mengenai topik tersebut di Jerman.
Hal ini kemungkinan mendorong beberapa perubahan setelahnya, seperti pil pencegah kehamilan yang tersedia tanpa resep sejak 2015, dan undang-undang tentang kejahatan seksual yang direformasi pada 2016.
Elke Ferner, Ketua PBB untuk perempuan Jerman, menjelaskan: "Prinsip 'tidak berarti tidak' berarti bahwa kejahatan yang sebelumnya tidak dianggap sebagai pemerkosaan kini dinilai sebagai kasus pemerkosaan. Sebelumnya, jika seorang perempuan tidak secara eksplisit mengatakan tidak karena dia dalam keadaan syok atau tidak ingin membahayakan anak-anak di dekatnya, maka akan lebih sulit untuk mengklasifikasikannya sebagai pemerkosaan.”
Prinsip 'ya berarti ya', yang juga dibahas pada saat itu, akan menjadi lebih jelas, dengan mengasumsikan persetujuan dan bukan penolakan yang nyata, tambahnya.
Ferner percaya bahwa tugas yang paling mendesak dalam hal hak-hak perempuan dan perlindungan terhadap kekerasan adalah Undang-Undang Bantuan Kekerasan yang direncanakan. Hal ini akan memberikan para korban yang terdampak kekerasan dalam rumah tangga, hak hukum untuk mendapatkan konseling dan perlindungan, selain menetapkan pedoman seragam pertama untuk pendanaan tempat penampungan perempuan dan pusat-pusat konseling.
Menurut data resmi, 250.000 orang di Jerman menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga tahun lalu, dan setiap dua atau tiga hari seorang perempuan meninggal dunia akibat kekerasan yang dilakukan pasangannya.
Artikel ini diadaptasi dari bahasa Jerman