Bom Waktu Kota Besar di Asia
15 Agustus 2012Investasi besar dalam infrastruktur dan perencanaan tata kota yang lebih cerdas, dan fokus pada pertumbuhan yang ramah lingkungan, adalah satu-satunya cara untuk mengurangi dampak bencana alam yang mengancam, seiring meluasnya kota-kota metropolitan di Asia, demikian isi laporan ADB.
”Asia telah menyaksikan pertumbuhan populasi penduduk di perkotaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan ini disertai tekanan yang besar bagi lingkungan” kata kepala ekonom ADB Changyong Rhee.
Gagal Lindungi Warga
“Tantangannya sekarang adalah membuat kebijakan yang akan bisa membalikkan trend itu dan memfasilitasi pembangunan teknologi dan urbanisasi yang ramah lingkungan” kata dia sambil menambahkan “Trend urbanisasi ini akan terus berlanjut dengan sangat cepat… kota-kota Asia hanya punya waktu sangat sedikit untuk mempersiapkan diri dan membangun infrastruktur yang dibutuhkan.”
Banjir maut telah merendam 80 persen Manila pekan lalu. Bencana serupa juga membunuh puluhan orang di ibukota Cina pada bulan Juli. Ditambah lagi dengan genangan air di Bangkok tahun lalu, adalah tanda-tanda peringatan bahwa kota-kota besar Asia tidak bisa mengatasi perubahan iklim dan melindungi penduduk mereka, kata ADB.
Meningkatnya Arus Urbanisasi
Situasi itu cenderung memburuk, seiring pertumbuhan ekonomi dan ratusan juta orang berduyun-duyun ke kota-kota besar dengan populasi penduduk 10 juta orang atau lebih.
Kota-kota besar di Asia telah memikat lebih dari satu milyar penduduk baru antara tahun 1980 hingga 2010 dan akan menarik satu milyar orang lainnya pada tahun 2040, demikian menurut riset ADB. Lebih dari setengah kota besar di dunia berlokasi kini ada di Asia.
Akibatnya, terjadi lonjakan polusi, kejahatan, ketimpangan sosial dan kehidupan kumuh yang menekan infrastruktur yang ada, dan karena itu butuh respon yang cepat dari pemerintah kota.
Pembangunan yang Cacat
“Asia telah menghabiskan banyak uang untuk membangun infrastruktur, tapi tidak cukup banyak untuk melindungi warganya” kata Changyong Rhee.
“Kita lebih banyak fokus pada kuantitas…tapi kita tak punya kemewahan untuk mengeluarkan uang demi kualitas“ ujar Rhee sambil menyebut pembangunan jalan tanpa sistem penyaluran air yang memadai sebagai contoh pembangunan yang cacat.
Laporan itu menyatakan, para pembuat kebijakan bisa mempersempit kesenjangan itu dengan mengurangi kemacetan, menetapkan pungutan karbon, dan mengumpulkan lebih banyak uang pajak untuk berinvestaasi dalam infrastruktur yang ramah lingkungan termasuk transportasi publik.
Diharapkan, negara-negara Asia akan memenfaatkan keuntungan dari teknologi baru yang bisa menciptakan kota yang lebih ramah lingkungan sehingga bisa mengurangi dampak perubahan iklim.
(AB/DK) afp