Budaya Kekerasan di Irak
27 Juli 2012Ini adalah hari-hari paling berdarah di Irak sejak Mei 2010. Lebih dari 115 orang tewas. Dua kali lipatnya mengalami luka-luka. Senin (22/7), 22 bom meledak secara hampir bersamaan di 14 kota. Beberapa hari setelahnya dan minggu sebelumnya, juga terjadi ledakan secara rutin di seluruh penjuru Irak. Jumlah korban di bulan Juni sama dengan dua tahun lalu, saat teror mulai berkurang dan warga Irak berharap akan bisa menjalani kehidupan damai. Menurut situs independen "Iraq Body Count", November 2011 adalah bulan paling damai sejak invasi militer AS dan Inggris sembilan tahun yang lalu. Sejak itu, garis kurva kembali naik. Apakah roda teror telah kembali?
Padahal, dua hari sebelum serangan (22/7), kementrian dalam negeri mengumumkan penangkapan pimpinan Al Qaida Baghdad. Seminggu sebelumnya, bekas anggota senior Al Qaida dari provinsi Anbas ditembak mati. Anggota senior lainnya di Tikrit juga ditangkap April lalu. Di Provinsi Dijala, gembong terorisme dinyatakan telah musnah. AS menarik pasukannya akhir tahun lalu dan menginformasikan, bahwa Al Qaida sudah berkurang jumlahnya dan tidak lagi menjadi ancaman yang nyata.
Serangan saat bulan Ramadhan
Pemerintah Irak cepat menyatakan Al Qaida sebagai pihak yang bertanggung jawab atas gelombang serangan. Dan benar, kini perpanjangan tangan Al Qaida di Irak mengaku sebagai dalangnya.
Ledakan bom terkoordinir di bulan puasa, sudah dikenal warga Irak dari masa lalu. Serangan bom bunuh diri semakin sering terjadi di masa ini. Ramadhan 2005 misalnya, dua truk penuh dengan bahan peledak bisa sampai ke dua hotel besar Bagdhad dan diledakkan disana. Detonasinya begitu besar, sehingga di lingkup 200 meter kaca-kaca jendela rumah hancur. Di hotel, hampir 100 orang tewas dan lebih banyak lagi yang cidera.
Setahun kemudian, pelaku bom bunuh diri berhasil masuk ke lobi hotel lain, setelah petugas keamanan tertidur karena kelelahan. Pelaku meledakkan bom dan menewaskan sekitar 30 orang. Serangan bom di pasar Sadr City sangat parah pada bulan Ramadhan 2007. Karena sebagian besar warga tengah berbelanja untuk keperluan berbuka puasa. Kelompok teror memanfaatkan tradisi kebersamaan umat yang berpuasa. Dalam kebanyakan kasus, jaringan "negara islam Irak" mengaku bertanggung jawab. Mereka termasuk jaringan Al Qaida.
Teror bermotif politik?
Namun, siapa yang berada di balik teror tersebut. Dan lebih penting lagi, siapa pemberi dana serangan berdarah itu? Dari kalangan dinas rahasia, diketahui jaringan teror "negara islam Irak" tengah mengalami masalah keuangan. Serangan yang mereka lakukan adalah hasil penugasan. "Teror di Irak bermotif politik", kata Yonadam Kanna, satu dari sedikit anggota parlemen Irak yang beragama Kristen. Sejak pasukan AS akhir tahun lalu ditarik mundur, Irak mengalami krisis pemerintahan berkepanjangan. Selama berbulan-bulan, oposisi mencoba mencapai mosi tidak percaya bagi PM Nuri al Maliki Namun, upayanya tidak berhasil.
Dalam kontrak koalisi bagi "pemeintah kesatuan nasional", yang disepakati Maliki dua tahun yang lalu dengan partai Syiah dan Kurdi, posisi kunci seperti kementrian dalam negeri dan pertahanan sebenarnya disimpan untuk Allawi. Di waktu bersamaan, pemenang pemilu sesungguhnya, seharusnya menjadi pimpinan dinas keamanan dan pengawasan yang baru dibentuk. Namun, tidak ada yang terwujud. Maliki memimpin secara sementara jabatan-jabatan kunci dan tidak ada yang berbicara tentang dinas keamanan. Allawi memang Syiah seperti Maliki, namun sebagian besar partai Sunni berada di belakangnya. Sengketa antara kedua pria ini telah terjadi selama berbulan-bulan dan menghambat kemajuan politik Irak. Selain sektor minyak, tidak ada lagi yang berkembang. .
Eskalasi situasi konflik
Sementara warga Mesir menyuarakan ketidakpuasan mereka atas politisi dengan berdemonstrasi, di Irak bom meledak. Perlawanan dengan kekerasan adalah tradisi disini. "Budaya kekerasan berlaku di negara kami", kata Fareed Jazim Hamoud. Rektor di universitas Kirkuk tersebut baru-baru ini mempublikasikan buku tentang perbedaan bentuk kekerasan di Irak. Kekerasan melalui politik dan fanatik agama menjadi fokus penting. Tesis Hamoud didukung penelitian pemerintah AS sebelum penarikan mundur pasukan. 75 persen warga Irak berpendapat, teror di negaranya dirancang para fanatik agama dan disalahgunakan politik.
Jika sejarah Irak dipelajari, ada berbagai bukti penggunaan kekerasan dalam situasi konflik. Cara Saddam Hussein berkuasa yang membantai rakyatnya sendiri, meninggalkan bekas dalam bagi warga Irak. Begitu juga, perang saudara di wilayah utara Kurdi pertengahan 90an. Dulu, klan Barzani dan Talabani yang bermusuhan berperang. Perlawanan terhadap pendudukan tentara asing juga dilakukan dengan kekerasan. Seorang diplomat barat menganalisa perbedaan mentalitas antara Mesir dan Irak. Ia mengatakan, "Mesir memeluk kependudukan, sementara Irak selalu memeranginya."
Birgit Svensson / Vidi Legowo-Zipperer
Editor : Hendra Pasuhuk