Buruh Migran Dipaksa jadi Budak Penipuan di Asia Tenggara
31 Januari 2024Segalanya berlangsung cepat, ketika Judah Tana, seorang pegiat kemanusiaan di Thailand, memacu mobil jeep-nya menghampiri sekelompok orang di pinggir jalan dan memerintahkan mereka naik ke kursi penumpang. "Akhirnya, jantung saya kembali berdetak normal," kata Lucas yang terduduk letih di kursi belakang. Dia berasal dari Afrika Barat dan sejak setahun dipaksa bekerja oleh sindikat perdagangan manusia di Myanmar.
Di Asia Tenggara, ribuan imigran disandera di tempat rahasia, di mana mereka dipaksa bekerja dalam sindikat penipuan yang membidik pengguna internet di Eropa, Amerika Serikat atau Cina. Mereka bukan semata-mata pelaku kejahatan, karena sendirinya merupakan korban aksi kriminal terogranisir.
Tim investigasi DW berbicara dengan saksi mata dan menganalisa dokumen serta gambar video atau foto untuk mengurai pertautan jahat antara perdagangan manusia dan kejahatan siber.
Aaron duduk dengan nafas tak menentu di samping Lucas. "Saya punya impian bekerja di luar negeri," kata pria asal selatan Afrika itu, ketika membeberkan kisahnya menerima tawaran kerja oleh sebuah perusahaan teknologi informasi di Thailand.
Perusahaan tersebut mengirimkan tiket pesawat ke Bangkok dan menjemputnya di bandar udara. "Seseorang menjemput saya dan dua pria lain", ujarnya. Dia seharusnya diantarkan ke sebuah hotel. Tapi Aaron malah dibawa jauh menuju Sungai Moei di utara yang menjadi perbatasan antara Thailand dan Myanmar. Di sana, dia diangkut dengan sebuah kapal cepat dan tiba di sebuah area yang dipagari beton dan dikenal dengan nama KK Park.
Markas sindikat penipuan Myanmar
KK Park terletak di negara bagian Karen yang sejak lama dilanda perang kemerdekaan oleh etnis lokal. Konflik antara militer pemerintah dan milisi pemberontak justru menawarkan perlindungan bagi aktivitas kriminal. KK Park adalah satu dari 10 markas sindikat penipuan di Myanmar. Gambar satelit menunjukkan, KK Park pertama kali berdiri tahun 2020 dan sejak itu terus diperluas.
DW menerima gambar eksklusif dari dalam kamp dan berbicara dengan beberapa korban yang pernah mendekam di sana.
KK Park diklaim menampung ribuan imigran ilegal dari Asia dan Afrika. Aktivitas mereka dipantau kamera pengawas, sementara personil bersenjata mengawasi setiap pintu masuk.
Kepada DW, sebagian korban mengengidentifikasi lambang yang dikenakan para petugas keamanan, yakni emblem milik pasukan penjaga perbatasan militer Myanmar.
Aaron dan imigran lain mendapat perintah untuk menipu pengguna internet dan diwajibkan memenuhi target uang setiap harinya. "Jika hingga siang Anda belum mendapat korban, Anda tidak mendapat makan siang," kata dia. Dia dan korban lain membenarkan, pemilik KK Park acap berbicara dalam bahasa Mandarin. Hal ini juga sudah diverifikasi kebenarannya oleh berbagai sumber lain.
Panjang tangan mafia Cina
Para buruh migran di KK Park harus meyakinkan korban untuk menginvestasikan uangnya dalam bentuk Kripto. Tapi aliran uang tidak diarahkan untuk membeli uang kripto, melainkan ke rekening bank milik penipu yang langsung dikosongkan. Oleh pakar keamanan, model penipuan ini dinamakan sebagai "pig butchering" atau penyembelihan babi dan marak ditemui di Asia Tenggara.
PBB memperkirakan, keuntungan dari penipuan online di Asia Tenggara jauh lebih besar ketimbang keuntungan dari perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. KK Park misalnya diperkirakan mengeruk keuntungan senilai jutaan Dollar AS per bulan.
Tim investigasi DW berhasil membuntuti aliran dana tranfser yang dikirim seorang korban. Setelah dikirimkan ke berbagai rekening, uang itu ditransfer ke seorang pengusaha Cina bernama Weng Yi Cheng. Hingga berita ini diturunkan, dia masih berstatus sebagai wakil ketua Asosiasi Dagang Cina-Thailand. Organisasi ini berbagi markas dengan kelompok rahasia bernama "Hongmen" yang dikenal berafiliasi dengan kelompok mafia.
Lucas sendiri berhasil melarikan diri ketika para mafia tidak lagi menginginkannya. "Saya mendengar mereka bilang akan menjual saya ke organisasi lain." Beruntung, Lucas dan koleganya berhasil menghubungi Judah Tana yang saat itu dikenal banyak membantu korban perdagangan manusia. Tanpa bertele-tele, Judah menyiapkan rencana penyelamatan di perbatasan. Kini, Lucas dan korban lain berani bermimpi kembali ke kampung halaman. (hp/rn)
Nama telah diganti oleh redaksi demi keamanan
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!