Katanya generasi zaman sekarang adalah generasi super sensitif dan gampang tersinggung. Dibilang gendut, ngambek. Ditanya kapan kapan lulus kuliah, misuh-misuh. Jangan coba-coba tanya kapan kawin atau punya anak, itu pertanyaan tabu yang menyangkut privasi.
Bagaimana dengan pujian? Eits, jangan langsung merasa bebas memuji. Pujian untuk perempuan pun harus dengan hati-hati, jangan sampai bernada body shaming (celaan fisik). Bila tidak, pujian ringan semacam, "Aduh, cantik, deh, sekarang agak kurusan” bisa menimbulkan reaksi "Loh maksudnya apa, memangnya kalau nggak kurus itu jelek?” karena memang betul tak harus kurus untuk menjadi cantik.
Khusus untuk body shaming, sepertinya banyak juga yang tak menyadari bahwa mereka sering ambil bagian dalam melakukannya. Misalnya, saat enteng berkomentar, "Aduh, stres banget. Hari ini aku berasa gendut banget, sih. I feel so ugly I wish it's my day off.” Pemikiran seperti ini menguatkan stigma bahwa badan gendut itu jelek, dan sesuatu yang berhubungan dengan suasana hati hingga bisa memperburuk mood.
Hal senada juga berlaku dalam komentar yang seringkali kita lontarkan ketika melihat seseorang tampil cantik dalam balutan busana keren, "Aduh, kamu kelihatan kurus pakai baju itu. Beneran, deh!” Seolah-olah kekerenan seseorang dalam berpakaian mencapai puncaknya ketika ia terlihat langsing.
Dalam body shaming, pelaku ternyata tak harus bermental bully. Pelaku body shaming bisa diri sendiri dan orang-orang yang kita cintai, bahkan tanpa bermaksud menyakiti perasaan.
Kesakralan tubuh
Tubuh itu sakral. Ia tempat nyawa kita berlabuh hingga saat ajal datang. Tubuh adalah senyawa yang kompleks, dengan kerja organ-organ tubuh yang menakjubkan. Sayangnya tubuh sering menjadi sumber ketidakbahagiaan, terutama bagi perempuan.
Menurut studi di bidang psikologi, perempuan cenderung menganggap diri mereka kurang menarik sementara laki-laki sebaliknya justru merasa terlalu percaya diri dengan penampilan fisik mereka. Mengapa begitu?
Meski tak absolut, tapi benar adanya perempuan kebanyakan lebih peduli terhadap penampilan karena penampilan dianggap sangat penting. Pola pikir ini terjadi bukan karena perempuan kurang percaya diri seperti yang sering dituduhkan, tapi karena memang dunia membuat perempuan repot dengan urusan penampilan.
Dalam masyarakat patriarki, perempuan dinilai oleh orang lain berdasarkan penampilan fisik mereka; cantik atau tidaknya seorang perempuan menjadi titik pusat penilaian sebelum hal-hal lain yang mengikutinya.
Dalam kontes yang mempertandingkan perempuan, dari Putri Indonesia, Miss Universe, Miss World, dan sejenisnya, meskipun ada janji kontes tersebut untuk menyaring perempuan-perempuan cerdas dan berbakat, namun penekanan tetap pada penampilan fisik. Untuk itu perempuan yang berlaga dibalut dalam gaun malam, termasuk baju renang, bukan busana yang membebaskan perempuan berekspresi, atau busana yang biasa perempuan pakai saat bekerja, misalnya.
Ada banyak contoh bagaimana perempuan direduksi hingga bertitik tumpu pada penampilan. Bahkan di dunia olahraga yang tak ada kaitannya dengan urusan kecantikan, atlet perempuan pun sering dikomentari soal penampilan.
Jangan heran bila melihat judul berita: Atlet Wushu Indonesia Si Cantik Lindswell Kwok Menyumbang Emas di Asian Games. Judul berita yang menyertakan embel-embel kecantikan perempuan pada profesinya sering terjadi, misalnya: polisi cantik, dosen cantik, mahasiswa cantik, diplomat cantik, hingga pembunuh cantik! Konyol, namun kecantikan memang dijadikan esensi dalam banyak hal. Kesakralan tubuh pun direduksi hingga fokus pada elok atau tak elok dipandang mata, berdasarkan standar kecantikan konvensional.
Penderitaan si Gemuk
Body image (citra tubuh) selalu menjadi hal penting bagi perempuan. Sayangnya alih-alih memiliki body image yang positif yang melihat tubuh sebagaimana adanya, menghargai bentuk tubuh, dan menerima segala kekurangan dan keunikan yang menyertainya, termasuk merasa nyaman dan percaya diri dengan tubuh sendiri, perempuan justru merasa tidak puas, tertekan bahkan lebih jauh membenci tubuhnya sendiri.
Perempuan yang memiliki self esteem (harga diri) tinggi pun masih sering merasa tidak puas dengan penampilan fisik mereka. Dan menurut studi, di antara beragam ketidakpuasan perempuan terhadap kekurangan fisiknya, yang paling besar menyumbangkan keresahan pada perempuan adalah soal berat badan.
Body shaming memang menekankan celaan pada ukuran tubuh seseorang, utamanya pada mereka yang kelebihan berat badan atau gemuk. Dunia yang kita tinggali memang menempatkan berat tubuh perempuan sebagai ukuran dalam menilai kecantikan. Yang berbobot badan lebih dianggap kurang menarik, jelek bahkan.
Selain itu mereka sering jadi olok-olokan karena dianggap pemalas, tak mampu merawat tubuh, rakus, dan semua yang jelek-jelek. Kalau ada perempuan berbadan gemuk yang lantang bilang "Saya cantik, kok, dan saya bahagia dengan bentuk tubuh saya” justru dianggap delusional, bahkan dianggap mengidap sindrom toxic positivity. Artinya ia mengingkari problema dirinya dan bersikap terlalu positif dalam menghadapinya.
Respon orang dalam menghadapi perempuan yang berbadan gemuk pun sangat tak adil, sering kejam. Diskriminasi terhadap mereka yang berbobot lebih tak cuma "Ah, itu, kan perasaanmu saja” tapi nyata terjadi.
Berdasarkan polling yang dilakukan Crossland Employment Solicitors pada tenaga perekrut di Inggris tahun 2015, 45 persen mengaku cenderung tidak tertarik mempekerjakan pelamar obesitas yang ditemui pada tahapan wawancara. Alasannya, pihak perekrut berasumsi bahwa pelamar akan sulit melakukan tugas-tugasnya dalam pekerjaan, juga beranggapan bahwa pelamar memiliki sifat pemalas.
Parahnya lagi bagi perempuan, bila dihadapkan pada dua kandidat perempuan dan laki-laki yang sama-sama obesitas, maka berdasarkan studi psikologi yang dilakukan oleh Stuart W. Flint dari Sheffield Hallam University di Inggris, perempuan memiliki kesempatan lebih rendah untuk dipilih oleh perekrut.
Perlakuan diskriminatif yang diterima perempuan berbobot lebih di dunia karier tak hanya soal sulitnya mendapat pekerjaan. Ketika sudah berada dalam lingkungan kerja, tantangan berikutnya menanti: Sulit mendapatkan promosi. Lebih jauh lagi kelebihan berat badan pun mempengaruhi pendapatan.
Menurut studi yang dilakukan Jennifer Shinall di Vanderbilt Law School pada tahun 2014, perempuan dengan bobot badan berlebih cenderung bekerja di bidang pekerjaan dengan upah rendah dan pekerjaan yang membutuhkan kerja fisik.
Selain itu, perempuan-perempuan berbadan gemuk juga jarang mendapat pekerjaan dengan gaji tinggi dibanding rekan perempuan yang memiliki bobot tubuh rata-rata dan pria pada umumnya, termasuk juga jarang mendapat pekerjaan yang menuntut interaksi dengan publik.
Bagi mereka yang berbadan subur, body shaming sudah jadi makanan sehari-hari, bahkan sejak masih kecil. Dunia dengan enteng menghakimi apa yang tampak dari luar tanpa peduli cerita yang menyertainya, dan tanpa khawatir bagaimana dampak celaan fisik pada mereka yang menjadi korban.
Komentar enteng yang pedih
Komentar enteng tanpa perasaan, "Kalau gendut ya, kurangi makan, olahraga sana!” seakan semua orang memiliki kasus sama dan membutuhkan penyelesaian sama. Padahal memerangi kelebihan berat badan memiliki tantangan tinggi, misalnya apa yang sudah bertahun-tahun dimakan mempengaruhi zat-zat kimia di dalam otak. Sebagian orang memerlukan bantuan ahli medis untuk memeranginya, dan tak semua orang memiliki akses tersebut.
Lagipula mengapa cepat menuduh orang yang kelebihan berat badan tak berusaha mengubahnya? Bisa jadi mereka telah bertahun-tahun mencoba menurunkan berat badan lewat berbagai cara namun tak kunjung berhasil--dan kadang meski sudah berhasil ternyata bisa kembali lagi menjadi gemuk karena banyak hal. Bukankah celaan fisik pada mereka hanya menambah beban pikiran, kesedihan, hingga bisa mengganggu kesehatan mentali?
Perisakan terhadap bentuk fisik adalah serendah-rendahnya hinaan, terutama bila ditujukan pada perempuan. Perempuan dituntut selalu tampil cantik nyaris sempurna dan sering dianggap sebagai hiburan mata bagi kaum laki-laki.
Perisakan, bahkan sekadar kritik pada mereka yang berbobot badan lebih tak menolong sama sekali, hanya menambah beban dan kesedihan. Istilahnya, hidup perempuan di dunia patriarkis sudah cukup berat tanpa perlu ditambah perisakan soal kegemukan, meski dengan embel-embel positif "Itu kan karena saya peduli dengan kesehatan dia” padahal jelas menyasar tampilan fisik.
Janganlah kita menjadi makhluk yang mementingkan tampilan fisik sebagai suatu keutamaan, dan menganggap hal di luar kriteria kecantikan konvensional adalah kehinaan.
@puanulyworks bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah ini.