Charlie Hebdo: Humanisme Yang Kebablasan?
16 September 2015
Charlie Hebdo selalu tidak jengah menabur kontroversi. Sejak didirikan 1970 silam, majalah ini berulangkali menguji batas kebebasan berpendapat. Secara konsisten Charlie memublikasikan karikatur yang acuh terhadap kepekaan personal, politis, sosial atau reilijus - setia dengan prinsip bahwa satir tidak mengenal batas.
Dan prinsip tersebut melekat jadi jantungnya kolom satir di media-media barat, karena perannya yang vital. Ia adalah instrumen untuk menghadirkan atau menyanggah opini dalam bentuk yang padat dan mengena. Tidak ada tulisan panjang editorial atau opini yang mampu mengimbangi efek visual sebuah karikatur.
Januari silam Charlie Hebdo diserang kelompok ekstremis Islam karena mempublikasikan karikatur Nabi Muhammad. Seperti sebelumnya karikaturis Denmark, gambar tersebut mendemonstrasikan sebuah dunia tanpa batas buat satir, bahwa larangan terhadap kritik tidak boleh dikenakan ketika kritik dibutuhkan. Lagipula, kita di barat memiliki media yang bebas meski masih memiliki banyak kelemahan dan kita bebas memilih apa yang kita beli, baca dan apa yang kita acuhkan.
Charlie Hebdo kini kembali menuai badai karena dua gambar karikatur tentang krisis pengungsi di Eropa. Salah satu yang paling kontroversial menggambarkan Aylan Kurdi, bocah Suriah yang tewas dalam perjalanan dari Turki ke Yunani.
Gambar jasad Aylan yang terbaring di tepi pantai beberapa pekan silam menohok dunia dan merekam kengerian seputar tragedi pengungsi. Charlie Hebdo, dalam karikatur tersebut, menuliskan "Selamat datang migran, anda sudah sangat dekat..." Dan majalah itu menambah gambar iklan sebuah restoran cepat saji dengan tulisan, "Dapatkan promosi menu anak dapat dua bayar satu ."
Karikatur tersebut dimaksudkan untuk mengritik gaya hidup barat dan aspirasi ekonomi kaum pengungsi buat mencari penghidupan yang lebih layak di Eropa. Tapi gambar itu juga menampilkan betapa persepesi pengungsi tentang Eropa sangat stereotip dan dipenuhi prasangka keliru.
Gambar lain misalnya menunjukkan sosok Yesus berjalan di atas air - seperti yang tertera di dalam Alkitab. Sebuah tulisan menyebut "Umat Kristen berjalan di atas air, sementara bocah Muslim tenggelam." Pesan itu menyerang kaum konservatif di Eropa yang menentang kedatangan pengungsi dengan alasan perbedaan agama. Karikatur itu juga menyerang mereka yang menanggap agamanya lebih baik dari agama lain.
Tidak diragukan, upaya mengolah isu teranyar di Eropa lewat satir adalah penting dan legitim. Tapi saya pribadi meyakini, keputusan Charlie Hebdo menggunakan karikatur Aylan Kurdi untuk menyuarakan pesan tersebut adalah kekeliruan editorial yang serius. Tragedi keluarga Kurdi, kematian seorang bocah (dan saudara laki-lakinya), serta penderitaan pengungsi tidak seharusnya menjadi subyek dalam satir semacam ini.
Karikatur Charlie Hebdo bukan cuma tidak punya citarasa, tetapi juga menjijikkan. Tapi pastinya ada banyak orang yang tidak setuju dengan pandangan saya. Dan tentu saja saya menghormati opini mereka, kendati saya berpandangan lain. Itulah yang dimaksud kebebasan berpendapat. Tapi kali ini saya tidak akan membeli edisi Charlie Hebdo.
Tidak seorangpun boleh merongrong kebebasan berpendapat karena karikatur ini. Dan mereka yang melakukannya adalah oarang yang paling berbahaya. Mereka adalah kaum yang akan membatasi kebebasan pers dan memaksakan sensor. Kebebasan berpendapat adalah nafas kehidupan sebuah masyarakat yang demokratis, walaupun jika saya sebagai pribadi tidak selalu setuju dengan apa yang dihasilkannya.
Sebagai jurnalis, saya merangkum posisi saya dengan perkataan yang entah benar atau tidak sering dikaitkan dengan filsuf Perancis Voltaire: "Saya mungkin tidak setuju dengan pendapat anda, tapi saya akan membela mati-matian hak anda untuk mengungkapkannya."
*Grahame Lucas adalah editor senior Deutsche Welle dan pemimpin redaksi Asia Selatan/Tenggara.