Cina dan Rusia, Mitra yang Tidak Setara
10 Maret 2023Di sela-sela Kongres Rakyat Nasional yang sedang berlangsung di Beijing, pimpinan Cina Xi Jinping mengecam keras AS yang disebutnya ingin menindas negaranya. Dia berbicara tentang "pengepungan" dan berikrar kepada partai dan rakyatnya untuk menghadapi sekuat tenaga "tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya". Cina harus memiliki "keberanian untuk berperang", kata Xi Jinping.
Ancaman ini sudah sering datang dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Presiden Rusia itu juga menyebut invasi ke Ukraina sebagai perang melawan NATO, AS, dan "kolektif Barat". Tentu Putin gembira mendapat dukungan dari mitranya di Beijing, tetapi Rusia dan Cina adalah dua mitra yang tidak setara dan punya kepentingan berbeda.
Vladimir Putin dan Xi Jinping, kira-kira memiliki usia yang sama, 70 dan 69 tahun. Menurut media, mereka telah bertemu hampir 40 kali dalam sepuluh tahun terakhir. Gaya kepemimpinan mereka juga mirip: otoriter.
Selama bertahun-tahun, keduanya telah menghabisi lawan-lawan politiknya dan berkuasa tanpa tandingan. Putin dan Xi juga tidak pernah merahasiakan kecenderungan mereka menolak tatanan demokrasi dengan prinsip negara hukum dan kebebasan berpendapat.
Ada keterkaitan, tapi posisi tidak setara
Namun, ada perbedaan besar antara kedua negara. Berdasarkan produk domestik brutonya, Cina adalah ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS, dan negara pengekspor yang sukses. Sedangkan perekonomian Rusia sekitar sepuluh kali lebih kecil. Beberapa dekade lalu, situasinya masih berbeda, ketika Uni Soviet merupakan adikuasa dan Cina masih negara berkembang kelas dua.
Namun, berbeda dengan Cina, Rusia gagal melakukan modernisasi yang berarti. Serangan Putin ke Ukraina juga tidak diperhitungkan dengan cermat, sehingga secara politik, militer, dan ekonomi, langkah itu melempar Rusia belasan tahun ke belakang.
Terlebih lagi, invasi Rusia ke Ukraina malah justru makin menyatukan Barat dan NATO, berbeda dari perkiraan Putin bahwa akan terjadi perpecahan dan kebingungan. Ketika negara-negara di NATO dan Uni Eropa mulai melepaskan diri dari ketergantungan pada gas, minyak, atau batu bara Rusia, maka Rusia terpaksa harus mencari pasar baru di Asia dan harus menawarkan harga jauh lebih rendah daripada yang dulu dibayar Eropa.
Situasi Cina jauh berbeda, karena negara itu justru beruntung bisa mendapat minyak dan gas Rusia dalam jumnlah besar dengan harga murah. Semakin besar ketergantungan Rusia pada Cina juga akan membuat posisi Beijing di kancah internasional makin kuat dan disegani. Cina tidak tergantung pada Rusia dan masih punya opsi memperbaiki hubungannya dengan AS untuk mencapai kompromi, setelah pandemi corona dan strategi nol-Covid Xi Jinping melemahkan pertumbuhan Cina pada 2022.
Setelah mengakhiri situasi ini dan perekonomian Cina perlahan menjadi stabil, Xi Jinping kemungkinan besar tidak tertarik terlibat perang dagang berkepanjangan dengan AS dan dengan Eropa. Apalagi di Eropa mulai muncul pandangan kritis terhadap hubungan dagang dan ketergantungan yang terlalu besar kepada Cina. Eropa belajar dari ketergantungannya pada Rusia dan harga mahal yang harus mereka bayar untuk melepaskan diri dari ketergantungan itu.
"Taiwan bisa mengubah segalanya"
Xi Jinping cukup cerdik untuk tidak mempermalukan Rusia di depan umum, malah memperlakukannya sebagai mitra yang erat. Para pengamat ekonomi memperkirakan bahwa standar hidup di Rusia akan terus turun di tahun-tahun mendatang - juga karena ratusan ribu pakar teknologi dan tenaga ahli Rusia sudah meninggalkan negaranya.
Putin mengambil risiko penurunan ekonomi demi ambisi politiknya. Namun, Xi Jinping justru punya ambisi ekonomi yang besar. Tujuan utamanya adalah untuk menyalip Amerika Serikat dan menjadi perekonomian terbesar dunia.
Sebuah studi baru oleh Institut Jerman untuk Masalah Keamanan Internasional SWP di Berlin, menyoroti lagi kunjungan Xi Jinping ke Amerika Serikat pada tahun 2012. Ketika itu dia berbicara tentang "tipe baru hubungan kekuatan-kekuatan besar di abad ke-21. " Amerika dan Cina, kata Xi Jinping, harus menjadi kekuatan yang setara. Dia sama sekali tidak menyebut Rusia.
Bagi Cina, Rusia sekarang menjadi "mitra strategis terpenting", karena Rusia dan Cina memiliki posisi yang sama untuk menentang "hegemoni Barat”. Di luar itu, Rusia bukan aktor yang penting di kancah internasional, karena Cina melihat dirinya sebagai satu-satunya adidaya pesaing AS. Studi SWP mengutip pendapat ilmuwan politik China Yan Xuetong tentang posisi Cina.
Menurut dia, Rusia akan jadi aktor penting bagi Cina, hanya jika AS mendukung deklarasi kemerdekaan Taiwan. Jika tidak, Cina akan berusaha menjalin hubungan baru dengan AS sebagai "mitra yang setara”.
(hp/ pkp)