Cinta Selalu Menang
18 Desember 2017Cinta menang. Seperti biasa. Anda sekalian yang merasa hubungan romantika Anda dengan teman sekantor buntu karena tak diperkenankan kantor melanjutkan ke jenjang berikutnya bergembiralah. Kantor Anda tak lagi berhak menghalau Anda menikahinya.
Sejak MK memutuskan Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan 2003 bertentangan dengan konstitusi, perusahaan tak lagi memiliki wewenang setara orang tua atau keluarga besar Anda untuk melarang Anda menikah.
Tapi, kini saya jadi penasaran. Untuk apa sedari awal UU Ketenagakerjaan memberi keleluasaan perusahaan untuk mengatur-atur pernikahan Anda?
Cinta diatur keluarga saja tak jarang bikin hati gundah gulana. Tak sekali-dua kali ia pun membersitkan keinginan bunuh diri pada jiwa-jiwa yang kecewa.
Untuk apa pula lantas direktur Anda menyandang kuasa menentukan ke mana hati Anda boleh berlabuh?
Mungkin begini penjelasannya. UU Ketenagakerjaan tahun 2003 memang, toh, dikenal sebagai produk hukum yang tak berpihak ke pekerja. Ia paling sohor karena melegalkan kerja alih daya yang memungkinkan perusahaan tak terbeban untuk membayari tunjangan-tunjangan Anda.
Para pejabat yang mengesahkannya akan mewajarkannya. Indonesia masih terpuruk sebagai buntut krisis ekonomi 1998 kala itu. Argumentasi mereka, dari mana kita mau tertiban investasi dan menumbuhkan lapangan kerja kalau tidak menjajakan para pemodal tawaran-tawaran menggiurkan yang sukar mereka tampik?
Termasuk dengan mengiming-imingi mereka hak untuk menentukan pernikahan antar pekerjanya? Ya.
Siapa tahu di antara para pemodal ini ada yang gusar hubungan-hubungan romantika di kantornya akan berujung pada situasi tidak kondusif, bukan?
Misal, mereka takut para pasangan sekantor akan memprovokasi satu sama lain ketidakpuasan bekerja di perusahaan bersangkutan.
Bisa pula, mereka membayangkan akan mendapatkan pasangan bak Bonnie dan Clyde. Pasangan ini akan menimbulkan kekacauan di mana-mana karena mereka masing-masing jatuh cinta terhadap kekacauan yang disulut kekasihnya.
Daripada para pebisnis mengeluh di kemudian hari, lagi pula, lebih baik sedia payung sebelum hujan bukan?
Ketika investor asing baru tiba di Indonesia, misalnya, mereka akan terkagum-kagum dengan segenap tombol yang diserahkan kepada mereka untuk mengatur pekerja. Cinta di antara para pekerja saja bisa mereka kontrol lewat perundang-undangan.
Apa yang tak bisa mereka atur selanjutnya?
Lagi pula, dengan kebijakan ini, para pebisnis mempunyai tombol baru untuk mengancam para pekerjanya di antara litani tombol yang sudah mereka miliki.
Suatu hari, misalnya, seorang pebisnis tidak suka dengan keberadaan seorang pekerja di tempatnya. Mungkin tampang sang pekerja rupawan. Mungkin pula, ia baik hati, cerdas, rajin menabung, dan sang pebisnis memang tidak suka dengan seseorang berparas dan berwatak sempurna yang mengancamnya dari kedudukan pejantan tangguh di perusahaannya.
Apa yang perlu dilakukan dengan payung hukum ketenagakerjaan lantas tak lain dari menudingnya secara sekonyong-konyong.
"Kamu mau menikah dengan dia ya (seorang rekan sekantor yang sangat cantik)?
Kamu saya berhentikan."
"Tapi, Pak. Saya tidak..."
"Oh, maaf, barusan saya bercanda. Tidak ada masalah dengan apa yang kamu lakukan kok."
"Oh begitu ya? Syukurlah, Pak. Saya pikir bapak serius."
Dan muka sang pebisnis mendadak kembali serius. "Saya bercanda," ujarnya.
"Berhenti kamu!"
Selesailah pembicaraan. Bonusnya, sang pebisnis sendiri pun dapat mencicipi mendekati para wanita serta, kalau sudah lebih siap lahir-batin, melamar sang pekerja wanita.
Skenario yang ada tak mudah dibatasi macamnya. Yang bisa dipastikan, ia dapat menjadi pion untuk menskakmat pekerjanya sewaktu-waktu ia diperlukan.
Sayangnya, mengapa ada pasal yang mengatur pernikahan antar pekerja kantor ini sementara kita tak dapat mempertanyakan sampai manakah keseriusan pemerintah untuk membantu merumuskan UU yang menggulirkan kesetaraan gender?
Mengapa bagi para legislator yang terhormat pengaturan pernikahan sesama pekerja lebih mendesak dibandingkan menghalau terjadi kekerasan seksual atau pelanggaran hak lainnya di pranata yang sama?
Namun, syukurlah, berkat kerja penuh cinta sejumlah penggugat, yang tak bisa menunaikan mimpi menikahnya, cinta menang. Peraturan janggal tersebut ditinjau dan dianggap tidak berlaku. Cinta, pada akhirnya, menang.
Penulis:
Geger Riyanto (ap/rzn)
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.