Cirebon Tandai Kebangkitan Feminis Muslimah di Indonesia
1 Mei 2017Selain dikenal dengan julukan "kota udang”, Cirebon kerap pula disebut "kota wali” karena menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat pada sekitar abad ke 16.
Sekarang Cirebon bisa mendapat predikat baru sebagai kota kebangkitan feminis Muslimah di Indonesia. Di antara tanggal 25 dan 27 April, Cirebon menjadi tempat penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), dihadiri lebih dari 700 peserta – bukan hanya yang pertama di Indonesia, tetapi di dunia.
Hal ini dikonfirmasi peserta luar negeri – dari Afghanistan, Malaysia, Saudi Arabia, Kenya, Nigeria dan Pakistan - panelis pada seminar internasional, acara hari pertama Kongres. Selain pembicara dari ke enam negara tersebut, hadir pula pengamat dari sembilan negara lainnya.
Ulama perempuan mengkonsolidasikan diri
Menurut Badriyah Fayumi, ketua tim pengarah KUPI, "Kongres ini bertujuan agar ulama perempuan dapat mengkonsolidasikan diri dan bersinergi dengan berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan."
Memang gerakan perempuan di Indonesia seringkali berkaitan dengan isu-isu besar yang menyangkut masyarakat lebih luas, tak terkecuali feminis Muslim. Tak berlebihan untuk menyebut ulama perempuan pada KUPI ini demikian, karena retorika yang dikumandangkan diberbagai sesi – yang pleno maupun sesi kelompok, sangat kental muatan semangat feminisnya. Apapun tema yang dibahas - kekerasan seksual, perkawinan anak, pemberdayaan perempuan, radikalisme agama, krisis dan konflik kemanusiaan, ketimpangan sosial dan lingkungan hidup – menekankan kemandirian dan pembebasan ketertindasan dari berbagai aspek patriarki, baik secara ideologis, politik, kultural dan ekonomi.
Kyai Hussein Muhammad, pendiri Fahmina Institut salah satu penyelenggara KUPI ini, pernah mengatakan, ia mulai menggeluti isu-isu gender hampir 20 tahun yang lalu, ketika ia merasa Islam di Indonesia mengalami kemunduran. Ia berpendapat, isu perempuan bisa menjadi anak panah untuk perbaikan dan kebangkitan kembali Islam yang berbasis pada kemanusiaan, keadilan dan solidaritas sosial.
Di dalam KUPI ini, memang jelas sekali upaya untuk mengkaji ulang Quran dan ajaran Islam khususnya yang berkaitan dengan perempuan, demi kemaslahatan warga Indonesia pada umumnya. Menurut seorang pembicara di sesi pleno, Islam dan Nabi Muhammad berusaha memanusiakan perempuan pada zamannya. Pada zaman jahiliyah di Arab Saudi, perempuan tidak memiliki hak sama sekali, bahkan mereka seringkali seperti ternak yang dianggap sebagai sekedar barang milik. Hal ini jauh sekali dari persepsi yang terutama berkembang di Barat yang mempunyai anggapan bahwa Islam itu menindas perempuan.
Pertanda demokrasi Pancasila di Indonesia tidak mati.
Namun pada saat yang sama, pembicara sidang pleno lainnya dengan gamblang menyatakan menolak syariahisasi Indonesia karena menurutnya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) lebih menjamin hak-hak perempuan. Masalahnya, Islam yang berkembang sangat dipengaruhi paham Wahabisme yang sejak tahun 1980 masuk ke Indonesia. Sejak periode itu, Arab Saudi mengucurkan dana yang besar dan kontinyu untuk mendirikan sekolah, mendatangkan guru-guru, pemberian beasiswa, bahkan pelajaran Bahasa Arab dan perguruan tinggi gratis. Akibat gelombang Arabisasi yang sudah berjalan hampir 30 tahun ini, demokrasi dan pluralisme Indonesia terancam surut bahkan hilang.
KUPI diselenggarakan lima hari setelah pilkada DKI pada tanggal 19 yang memenangkan paslon (pasangan calon) Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Gejala politisasi agama yang sangat gencar pada periode kampanye inilah yang membuat paslon Basuki "Ahok” Tjahaya Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat, kalah. Pilkada ini sebenarnya merupakan pertarungan antara konservatisme agama (diwakili Anies-Sandi) dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika (diwakili Ahok-Djarot).
Penyelenggaraan KUPI, lima hari setelah kekalahan Ahok-Djarot, merupakan angin segar yang memberi harapan bahwa demokrasi Pancasila di Indonesia tidak akan mati. Pendukungnya yang sangat vokal kali ini perempuan, melalui Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang bersejarah ini.
Penulis:
Julia Suryakusuma adalah pengamat sosial-politik, penulis, kolumnis, dan intelektual publik Indonesia yang membahas berbagai isu sosial, politik, budaya, agama, gender, seksualitas dan lingkungan hidup. Karyanya yang dianggap paling berpengaruh adalah "State Ibuisme/Ibuisme Negara". Ia juga menulis beberapa buku lainnya, yang terakhir adalah "Julia's Jihad"(2013), antologi kolomnya di harian The Jakarta Post.
@JihadJulia
Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.