Deforestasi Membuat Nasib Pengungsi Rohingya Makin Rentan
2 Agustus 2021Hujan deras selama berhari-hari telah mengguyur kamp-kamp pengungsi Rohingya di selatan Bangladesh, menghancurkan tempat tinggal mereka.
Hanya dalam 24 jam dari Selasa hingga Rabu pekan lalu, hujan turun dengan derasnya di kamp-kamp di distrik Cox's Bazar, yang menampung lebih dari satu juta pengungsi Rohingya. Hujan lebih deras diperkirakan akan terus terjadi di mana musim hujan masih berlanjut selama tiga bulan ke depan.
Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi mengatakan lebih dari 12.000 pengungsi telah terkena dampak hujan deras, sementara sekitar 2.500 tempat penampungan telah rusak atau hancur.
Sedikitnya 22 orang tewas di dalam dan sekitar kamp beberapa hari terakhir akibat tanah longsor dan banjir bandang yang disebabkan oleh hujan lebat. Para ahli khawatir akan lebih banyak korban dalam minggu mendatang karena ribuan orang masih berada di daerah yang rentan.
Apa penyebab longsor sering terjadi?
Lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya telah tinggal di kamp-kamp di Bangladesh sejak Agustus 2017, ketika militer Myanmar melancarkan tindakan keras.
Tindakan keras itu termasuk pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran ribuan rumah. Kelompok hak asasi manusia dan PBB mendefinisikan serangan itu sebagai pembersihan etnis.
Ratusan ribu pengungsi Rohingya sudah tinggal di kamp-kamp di daerah perbukitan di sekitar Cox's Bazar, dekat perbatasan dengan Myanmar, selama beberapa dekade sebelum pendatang baru tiba.
Untuk menampung para pengungsi baru di tahun 2017, sedikitnya 7.220 hektar lahan hutan dan perbukitan di sekitar kamp yang ada dialihfungsikan, sehingga menjadikan kawasan tersebut rawan bencana alam.
"Banyak bukit diratakan dalam waktu singkat untuk membuat kamp baru bagi para pengungsi Rohingya,” Moazzem Hossain, ketua organisasi Save the Nature of Bangladesh, mengatakan kepada DW.
"Tempat penampungan sementara telah dibuat di pasir yang tersisa setelah menghilangkan bukit, yang akibatnya sangat berbahaya karena air hujan membawa pasir dan menyebabkan tanah longsor," tambahnya.
"Selain dari penggundulan hutan di lebih dari 10.000 hektar, banyak sumur pompa didirikan di daerah itu untuk mengakses air tanah segar bagi para pengungsi," katanya, menambahkan: "Penggunaan sumur pompa semacam itu secara berlebihan telah menurunkan tingkat air tanah, yang telah membuat daerah itu semakin rentan terhadap tanah longsor dan lubang runtuhan."
Situasi tetap berbahaya
Abdur Rahman, seorang jurnalis lokal yang mengunjungi daerah rawan longsor baru-baru ini, memperhatikan bahwa banyak pengungsi Rohingya dan penduduk setempat tetap tinggal di daerah itu meskipun ada risiko bencana alam lebih lanjut.
"Tenda darurat dibangun di lereng bukit di mana hutan telah ditebang. Longsor bisa terjadi kapan saja selama musim hujan,” katanya kepada DW.
Rahman melihat kurangnya kemauan di antara pemangku kebijakan lokal untuk menghentikan deforestasi ilegal dan penebangan bukit di area Cox's Bazar.
"Penggundulan bukit tanpa pandang bulu terus berlanjut bahkan setelah kebutuhan para pengungsi terpenuhi karena pemerintah setempat tidak bekerja dengan baik untuk menghentikannya," kata Rahman.
"Pengungsi Rohingya dan penduduk lokal yang tinggal di lereng bukit yang rata perlu segera dipindahkan ke tempat yang lebih aman untuk menghindari bencana lebih lanjut, sementara tindakan tegas diperlukan untuk menghentikan penggundulan bukit secara ilegal,” tambahnya.
Populasi padat membuat relokasi lebih sulit
Topan, hujan monsun lebat, banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya merupakan tantangan tahunan di kamp. Sementara beberapa inisiatif telah diambil untuk membuat kamp lebih aman dari bencana alam, para ahli berpikir tidak banyak yang bisa dilakukan di sana.
Kota pesisir Cox's Bazar adalah salah satu bagian yang paling rawan bencana di negara Asia Selatan. Banyak sungai merambah di negara itu yang mengalir ke delta. Iklim monsun dan lokasinya di Teluk Benggala memicu curah hujan yang tinggi. Air laut yang hangat juga dapat menimbulkan siklon tropis yang sifatnya merusak.
"Kami telah melihat hujan lebat yang terus-menerus selama beberapa minggu terakhir, yang tidak biasa, itu adalah sesuatu yang belum pernah saya lihat sepanjang hidup saya," Hasina Akhter, direktur BRAC untuk area Cox's Bazar, sebuah lembaga kemanusiaan yang bermarkas di Bangladesh.
Akther menggambarkan kesulitan yang terkait dengan menciptakan ruang yang aman bagi para pengungsi di kamp-kamp yang kelebihan penduduk. "Kepadatan areanya sangat tinggi sehingga sulit untuk memindahkan pengungsi dari satu bagian ke bagian lain di dalam kamp karena tidak banyak ruang kosong yang tersisa,” kata Akther.
"Kami telah berusaha untuk menyediakan makanan, air bersih dan hal-hal lain untuk para korban bencana alam. Namun, lebih banyak yang harus dilakukan. Perempuan dan anak-anak sangat menderita,” tambahnya.
Pemerintah Bangladesh telah mulai memindahkan sekitar 100.000 pengungsi ke sebuah pulau di Teluk Benggala untuk mengurangi tekanan terhadap kamp-kamp yang penuh sesak di Cox's Bazar. Namun, pulau yang disebut Bhasan Char atau pulau terapung ini oleh para ahli juga dianggap rentan terhadap bencana alam meskipun kondisi kehidupan dan fasilitasnya lebih baik. (hp/ap)