Demam K-pop di Jerman: Lebih dari Sekadar Tren Media Sosial
4 Desember 2019Sekuat tenaga saya berjuang supaya tidak kehilangan keseimbangan. Saya berusaha mengayun pinggul dan berjongkok sambil mengangkat kaki kiri. Bersamaan dengan itu, saya juga harus membentuk lingkaran di udara dengan tangan kanan saya.
Selagi muda saya tidak pernah belajar dansa, jadi semuanya jadi makin sulit buatku. Belasan remaja yang berdansa di sebelah saya pun sepertinya sangat terhibur melihat kecanggungan saya. Di kelas dansa itu, saya lah yang tertua dan satu-satunya laki-laki.
Saya sengaja bergabung dengan kelas dansa K-pop di Bonn untuk mencari tahu lebih banyak tentang demam musik pop dari Korea Selatan ini, yang tengah melanda Jerman.
Bisnis besar dari Korea Selatan
Sebelum mengikuti kelas dansa, satu-satunya yanfg saya tahu tentang K-pop hanyalah "Gangnam Style" dari Psy yang membuat hebih tahun 2012 lalu. Dari video klipnya saya juga tahu tentang dansa penunggang kuda yang tampaknya aneh sekali. Gangnam Style sendiri telah dilihat slebih 3,5 miliar kali di situs berbagi video, YouTube.
Namun dengan cepat saya sadar, K-pop lebih daripada sekadar itu. K-pop adalah bisnis yang bernilai miliaran dolar.
Di Jerman sendiri, pasar K-pop mulainya memang relatif lebih lambat, tetapi minat terhadap genre ini tumbuh dengan cepat. Ketika grup BTS atau Bangtan Boys mengumumkan konser pertama mereka di Berlin tahun 2018, 30.000 tiket untuk acara ini ludes terjual hanya dalam waktu sembilan menit.
Baca juga: Indonesia Masih Demam K-Pop
Antusiasme di semua penjuru dunia
Jiwon Kang, pengajar les dansa saya di Bonn mengatakan sangat senang dengan perkembangan kelasnya. Perempuan berusia 24 tahun ini berasal dari Pulau Jejudo, Korea Selatan, dan menguasai tarian kontemporer di Seoul.
Jiwon Kang datang ke Jerman lebih setahun lalu untuk belajar tari di Eropa. Studinya dia biayai dengan mengajar tari K-pop, yang menggabungkan unsur-unsur hip-hop dan jazz.
Ketika Jiwon Kang memutar lagu berjudul "Hip" dari band Mamamoo, beberapa perempuan remaja di kelas saya menjerit kegirangan. Lagu ini baru saja dirilis dua minggu lalu, tetapi sudah ditonton 20 juta kali di YouTube.
Fakta bahwa para remaja itu tidak mengerti teksnya tidak jadi masalah. Ini sama saja dengan saya yang sembarangan menciptakan kata-kata untuk dinyanyikan dengan nada lagu hit asal Amerika Serikat sewaktu muda dulu. Sebaliknya, tidak ada juga yang peduli bahwa Jiwon Kang belum bisa berbahasa Jerman. Yang mesti kami lakukan hanyalah mengikuti gerakannya.
Tidak selalu indah
Tetapi tentu saja, tidak semudah itu. Kami harus beberapa kali mengulang gerakan yang berupa sejumlah langkah pendek agar bisa melakukannya dengan benar.
Pengulangan ini mengingatkan saya pada sistem pelatihan yang terkenal dalam industri musik Korea Selatan. Anak-anak direkrut pada usia 12 atau 13 tahun. Selama bertahun-tahun, mereka pun dicekoki pelatihan menari dan menyanyi agar bisa siap jadi "idols" berikutnya.
Dunia K-pop juga baru-baru ini diwarnai berbagai cerita negatif. Dua penyanyi perempuan melakukan bunuh diri dalam beberapa hari terakhir ini, tampaknya karena perundungan di dunia maya. Dua laki-laki dihukum penjara karena terlibat dalam pemerkosaan berkelompok. Ini adalah sisi gelap dari pemandangan yang mungkin terlihat sempurna, yang nyaris ibarat kontes koreografi terbaik.
Baca juga: Bagaimana Mencegah Perundungan Dunia Maya Berlanjut Jadi Kekerasan Dunia Nyata?
Sebuah pesan cinta
Berbagai berita miring itu tidak menghalangi para penggemar untuk menggilai K-pop. Apa yang membuat para peserta di kelas dansa Jiwon Kang menyukai pop asal Korea Selatan ini?
"Saya suka cara masing-masing anggota grup saling berhubungan dengan penuh kasih, Di band-band asal Amerika tidak ada yang seperti itu," kata Lea, yang berusia 14 tahun.
Solin, 17 tahun, menghargai nilai-nilai yang mereka sampaikan. Dia menyebutkan bahwa BTS banyak bernyanyi tentang cinta terhadap diri sendiri. "Bahasa dan orang-orangnya cantik," kata Celin, 15 tahun. Bahkan Galina yang juga berusia 15 tahun sudah mulai belajar bahasa Korea.
Para remaja ini dengan antusias mengikuti banyak "idols" di Twitter, Youtube, Instagram dan VLive, sebuah situs web Jepang. Di sana, band-band itu tidak hanya bisa dilihat dari klip musik, tetapi juga dalam reality show. Ada begitu banyak konten yang bisa menghabiskan waktu "24 jam sehari" untuk menonton semuanya, demikian menurut para remaja perempuan ini.
Sementara itu, Samghun Lee yang berusia 27 tahun dari München yang berlatar belakang Korea Selatan, dengan beberapa teman mengorganisasikan pesta K-pop pertamanya tahun yang lalu. Ini pun sukses dengan cepat. Sekarang mereka memiliki perusahaan bernama JIN Entertainment yang secara teratur menyelenggarakan malam K-pop di 12 kota besar di Jerman serta di Zurich, Wina dan Praha.
Kelas dansa Jiwon Kang yang saya ikuti juga adalah contoh bagaimana fenomena media sosial menginspirasi kegiatan di dunia nyata. Di akhir kelas itu, remaja perempuan teman sekelas saya merekam diri sendiri saat sedang berlatih koreografi baru. Mereka berharap video ini akan cukup baik untuk bisa diposting di internet.
Saya sendiri baru sadar pada keesokan harinya, betapa enaknya lagu-lagu K-pop. Secara tidak sadar saya pun menyanyikan lagu "Hip" dari Mamamoo sambil sarapan. Dengan kata-kata karangan saya sendiri, pastinya. (Ed.: ae/hp)
Jika Anda menderita tekanan emosional atau pikiran untuk bunuh diri, segera cari bantuan profesional. Anda dapat menemukan informasi untuk mencari bantuan, di mana pun Anda berada melalui situs web ini: www.befrienders.org