Di Jerman Tinggal 20% Pohon yang Sehat. Kalau di Indonesia?
6 Juni 2024Warga lanjut usia di Jerman mungkin masih ingat: Kematian hutan pernah menjadi berita utama di Jerman Barat (saat Jerman masih terpecah menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur.) pada tahun 1984. "Hutan sekarat” terpilih sebagai kata paling populer pada tahun itu di Jerman Barat.
Terutama gas buangan dari lalu lintas dan industri berdampak buruk pada pepohonan. Hal ini sangat memukul hati masyarakat Jerman, yang memiliki hubungan istimewa dan romantis dengan hutannya.
Hanya 19 % pohon ek yang masih sehat
Saat ini setelah penyatuan kembali, sekitar 30 persen wilayah Jerman merupakan tutupan hutan. Namun kondisi pepohonan di hutan tidak lebih baik dibandingkan 40 tahun lalu, ketika Jerman masih terbagi dua.
Laporan kondisi hutan yang dibuat oleh Menteri Pertanian Jerman Cem Özdemir menyebutkan, pada tahun 1984, ketika semua orang berbicara tentang hutan yang sakit, 54% pohon ek di Jerman Barat kala itu masih sehat, kini angkanya melorot hanya tiggal 19%.
Reaksi tegas setelah tahun 1984
Pakar kehutanan di Asosiasi Konservasi Alam Jerman (NABU) Sven Selbert, mengatakan kepada DW: "Keadaan hutan bahkan lebih buruk dibandingkan di jaman sebelum penyatuan Jerman, saat semua orang membicarakan kematian hutan. Dan saat itu, masyarakat bereaksi cukup aktif. Saat itu, dilakukan pemasangan filter secara besar-besaran di cerobong asap pabrik, menghilangkan cemaran belerang dari udara, dan itu sangat membantu hutan."
Penebangan hutan tidak lagi menjadi berita utama
Saat ini terdapat faktor-faktor lain, yang lebih beragam yang mempengaruhi pepohonan. Jika hujan deras atau hujan terus-menerus turun, sebagai dampak perubahan iklim dan menyebabkan sungai meluap di musim panas (atau menyebabkan rendahnya permukaan air secara permanen), maka dampaknya akan jauh lebih nyata. Misalnya bencana banjir di Lembah Ahr pada musim panas tahun 2021.
Sven Selbert berujar: "Kita menghadapi perubahan iklim, yang kini jelas-jelas berdampak pada hutan. Selain kekeringan, badai, dan kekurangan air, terdapat penyakit-penyakit baru yang sebagian besar disebabkan oleh patogen yang telah diketahui dan tiba-tiba menyebabkan kematian. Kerusakan hutan jauh lebih besar dibandingkan yang kita lihat sebelumnya."
Pemerintah akan usulkan undang-undang kehutanan yang baru
Koalisi pemerintah yang terdiri dari Partai SPD, Partai Hijau, dan FDP, yang menjabat sejak Desember 2021, telah secara tegas sepakat dalam perjanjian koalisi untuk memerangi tren ini. Yang terpenting, disepakati untuk mengadopsi undang-undang perlindungan hutan, yang akan menggantikan peraturan lama yang dikeluarkan pada tahun 1975. Ketika itu, belum ada pembicaraan mengenai perubahan iklim, Jerman masih terpecah dua, dan konsumsi lahan belum separah saat ini.
Menteri pertanian Cem Özdemir belum lama ini mengatakan: "Krisis iklim telah menguasai hutan kita; kekeringan yang berkepanjangan dan suhu tinggi dalam beberapa tahun terakhir, telah menyebabkan kerusakan yang berkepanjangan." Tokoh partai Hijau itu melanjutkan: "Hanya satu dari lima pohon yang benar-benar sehat. Hutan menjadi pasien permanen." Oleh karena itu, penting untuk memberikan "obat jangka panjang” bagi ekosistem yang berharga ini, termasuk mengubahnya menjadi hutan campuran.
Tahan badai di hutan
Adaptasi terhadap perubahan iklim, termasuk terhadap pepohonan, menjadi kata kuncinya. Banyak dampak pemanasan global yang tidak dapat lagi dimitigasi. Kebijakan akan hutan harus berubah agar ekosistemnya dapat bertahan hidup. Sven Selbert menegaskan: "Kita harus membuat hutan, ekosistem, termasuk kota, tahan badai. Ini berarti kita harus memahami ekosistem hutan, bukan sekadar ladang kayu. Kita harus melakukan sesuatu terhadap jaringan kehidupan di ekosistem hutan menjadi lebih erat, misalnya.
Kepentingan ekonomi versus konservasi alam?
Namun rancangan undang-undang kehutanan, yang saat ini sedang menjalani pemungutan suara di pemerintahan Jerman, sudah dihujani kritik. Pemilik hutan melihat rancangan undang-undang yang ada saat ini sebagai "bukti ketidak percayaan” dan mereka mengeluhkan aturan, misalnya, penebangan tanpa izin akan dianggap sebagai tindak pidana.
Menanggapi keluhan itu, Sven Selbert mengatakan: "Banyak orang melihat hutan sebagai sumber kayu, tapi memang begitulah adanya, hutan seharusnya tetap befungi begitu, namun hal ini hanya bisa terjadi jika kesehatan hutan meningkat dan tidak menurun secara permanen."
Ekspor kayu dari Jerman meningkat lebih dari tiga kali lipat
Hampir separuh hutan di Jerman adalah milik pribadi. Terdapat sekitar 760.000 pemilik hutan. Kayu adalah produk yang banyak dicari. Harga papan kayu telah meningkat tajam di pasar global dalam beberapa tahun terakhir antara tahun 2015 dan 2020.
Ekspor kayu mentah meningkat lebih dari tiga kali lipat, terutama ke Cina dan Amerika Serikat.Tekanan terhadap hutan masih sama seperti di tempat lain di dunia, papar Selbert: "Kami, bersama dengan wilayah lain di dunia, mempunyai masalah yang sama.Amazon sangat menderita akibat krisis iklim, dan ada kekhawatiran bahwa lahan basah di bumi ini akan mengering. Namun hutan di Skandinavia juga berada di bawah tekanan besar. Di sana, hutan dengan banyak tumbuhan runjung perlu dihijaukan kembali." Kapan dan dalam bentuk apa undang-undang kehutanan Jerman yang baru akan berlaku masih belum jelas.
Bagaimana hutan di Indonesia?
Dikutip dari Associated Press, Indonesia mengalami kehilangan hutan primer lebih dari 27 persen pada tahun 2023, meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya. Namun menurut analisis data deforestasi dari World Resources Institute (WRI), kerugian tersebut masih dianggap rendah dibandingkan tahun 2010-an.
Pembabatan hutan terjadi mulai dari penebangan pohon di taman nasional yang dilindungi, hingga sebagian besar hutan yang ditebang untuk perkebunan kelapa sawit dan pohon bahan produksi kertas.
"Deforestasi telah menurun sejak sekitar enam tahun yang lalu, ketika tingkat deforestasi mencapai puncaknya. (Di satu sisi) ini kabar baik bagi Indonesia," kata Direktur Global Program Kehutanan di WRI, Rod Taylor dalam laporannya akhir April lalu.
Sebagai negara kepulauan tropis sangat luas, yang membentang di garis khatulistiwa, Indonesia adalah habitat alami bagi hutan hujan terbesar ketiga di dunia, dengan beragam satwa liar dan tumbuhan yang terancam punah, termasuk orangutan, gajah, dan bunga hutan raksasa. Beberapa dari keragaman ini tidak ditemukan di tempat lain.
74 juta hektare hutan hujan Indonesia telah rusak?
Data dari laboratorium Global Land Analysis and Discovery di University of Maryland dibagikan di Global Forest Watch (GFW), sebuah platform yang dijalankan oleh WRI yang menyediakan data, teknologi, dan alat untuk memantau hutan dunia.
Dikutip dari AP, menurut GFW, sejak tahun 1950, lebih dari 74 juta hektare hutan hujan Indonesia (dua kali luas negara Jerman) telah ditebang, dibakar, atau terdegradasi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, pohon untuk kertas dan karet, pertambangan nikel, dan komoditas lainnya.
Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia, salah satu eksportir batu bara terbesar, dan produsen utama pulp hingga kertas. Negara ini juga mengekspor minyak dan gas, karet, timah dan sumber daya alam lainnya.
Menurut analisis tersebut, perluasan perkebunan industri terjadi di beberapa lokasi yang berdekatan dengan perkebunan kelapa sawit dan pulp serta pohon untuk kertas yang ada di Kalimantan dan Papua Barat.
Dampak pertambangan bagi hutan
Data GFW mengenai hilangnya hutan primer di Indonesia,-- yang merupakan hutan tua dengan simpanan karbon tinggi dan kaya akan keanekaragaman hayati, jauh lebih tinggi dibandingkan statistik resmi Indonesia.
Hal ini karena sebagian besar hilangnya hutan primer di Indonesia, demikian menurut analisis tersebut, berada di kawasan yang diklasifikasikan Indonesia sebagai hutan sekunder, yaitu kawasan yang sebagian besar telah beregenerasi melalui proses alami setelah aktivitas manusia seperti pembukaan lahan pertanian atau pemanenan kayu. Hutan sekunder biasanya memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang lebih rendah dibandingkan hutan primer.
Menurut analisis tersebut, deforestasi yang terkait dengan industri pertambangan, terutama terjadi di Sumatra, Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, bahan penting untuk kendaraan listrik, panel surya, dan barang-barang lain yang diperlukan untuk transisi energi ramah lingkungan. "Sebagian dari deforestasi ini dapat dikaitkan langsung dengan perluasan industri nikel di Indonesia," kata Timer Manurung dari Auriga Nusantara, sebuah organisasi konservasi nonpemerintah yang berbasis di Indonesia, sebagaimana dilansir AP.
Tidak jelas seberapa banyak deforestasi di Indonesia yang disebabkan oleh pertambangan, namun Timer menyebutnya sebagai faktor pendorong yang signifikan. Ia mengatakan, pesatnya perkembangan industri pertambangan dan pengolahannikel di Indonesia, termasuk lebih dari 20 pabrik peleburan baru untuk memproses bijih nikel, ibarat mengulangi kesalahan.
"(Pertambangan nikel) mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh kelapa sawit dan kayu pulp di Indonesia, yaitu memicu meningkatnya deforestasi," cetusnya.
Deforestasi menyusut?
Namun, Taylor mencatat bahwa deforestasi yang dilakukan dalam skala besar tampaknya semakin menyusut dibandingkan masa lalu. Pada tahun 2010-an terjadi ekspansi besar-besaran kelapa sawit, kayu, dan perkebunan skala besar di seluruh Indonesia.
Penelitian dalam jurnal Nature Climate Change menemukan bahwa laju deforestasi meningkat dua kali lipat menjadi sekitar dua juta hektare per tahun selama tahun 2004-2014. Demikian dilansir dari AP.
Pada tahun 2023, hilangnya hutan primer pada petak-petak yang luasnya lebih dari 100 hektare 'hanya' menyumbang 15% dari total kehilangan, demikian menurut analisis tersebut.
Taylor menduga, menyusutnya lahan akibat deforestasi skala besar, berkaitan dengan risiko reputasi yang harus dihadapi perusahaan jika ketahuan melakukan penebangan pohon.
Dalam beberapa dekade terakhir, organisasi nonpemerintah, konsumen dan pemerintah, termasuk Uni Eropa, telah mendorong perusahaan untuk meninggalkan praktik deforestasi.
Pada tahun 2018, Presiden Indonesia Joko Widodo membekukan izin baru perkebunan kelapa sawit selama tiga tahun. Dan laju deforestasi melambat antara tahun 2021-2022, menurut data pemerintah.
Namun hilangnya hutan primer dalam skala kecil masih terjadi di seluruh Indonesia, termasuk di beberapa kawasan lindung seperti Taman Nasional Tesso Nilo dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Pulau Sumatra. Kedua wilayah tersebut adalah rumah bagi hewan terancam punah seperti harimau dan gajah.
Deforestasi salah satunya berdampak pada bencana yang lebih parah dan mematikan. Selama fenomena El Nino terakhir di Indonesia pada tahun 2015-2016, kebakaran yang sengaja dilakukan untuk membuka lahan pertanian, dengan cepat menyebar dan menimbulkan kabut asap di seluruh Asia Tenggara.
ap/as
(Sumber tambahan soal Indonesia: Associated Press)