Dibayangi Pemberedelan, Situs Berita Hong Kong Tutup
3 Januari 2022Jurnalis Citizen News mengatakan tidak lagi merasa aman untuk bekerja, menyusul penangkapan terhadap wartawan sebuah media lain atas tuduhan "penghasutan.”
Situs tersebut merupakan salah satu kanal berita terpopuler di Hong Kong dengan 800.000 pengikut di media sosial. Ia didirikan pada 2017 oleh sekelompok jurnalis veteran dengan mengandalkan dana sumbangan online.
Namun pada Minggu (2/1), Citizen News mengumumkan akan berhenti beroperasi terhitung Selasa (4/1) dini hari.
"Kami sudah berusaha keras untuk tidak melanggar hukum, tapi kami tidak lagi bisa melihat batasan jelas dalam penegakkan hukum dan kami tidak lagi merasa aman untuk bekerja,” kata salah seorang pendiri Citizen News, Chris Yeung, kepada wartawan.
"Jurnalis adalah juga manusia dengan keluarga dan teman,” imbuhnya, sembari mengakui pihaknya belum mendapat peringatan dari pemerintah terkait adanya pelanggaran. Dia mengatakan keputusan penutupan diambil berdasarkan perkembangan terakhir.
Pada 29 Desember 2021 lalu, kepolisian meggeledah kantor situs berita, Stand News, menahan sejumlah wartawan senior dan membekukan aset perusahaan. Oleh pemerintah Hong Kong, media yang didirikan tujuh tahun silam itu dipaksa berhenti beroperasi.
"Apakah kita bisa hidup dengan mengandalkan ‘berita-berita aman'?, saya bahkan tidak tahu apa maksudnya ‘berita aman',” kata Editor Kepala Citizen News, Daisy Li.
Kabar penutupan disambut oleh media pemerintah Cina, Global Times. Dalam editorialnya pada Senin (3/1), Citizen News diklaim "serupa dengan Stand News, yang memublikasikan artikel-artikel yang secara kasar mengeritik pemerintah pusat dan Partai Komunis Cina.”
Kebebasan pers menyusut, media asing angkat kaki
Bertepatan dengan penutupan Citizen News, Senin (2/1) Dewan Legislatif Hong Kong menyambut 90 anggota parlemen pertama yang dipilih berdasarkan UU Pemilu baru. Undang-undang tersebut menyaratkan hanya "seorang patriot” dan loyal terhadap Cina yang bisa mencalonkan diri.
Reputasi Hong Kong sebagai episentrum demokrasi di Cina banyak memudar usai Beijing menetapkan UU Keamanan Nasional pada pertengahan 2020 lalu. Selain mengusir anggota parlemen pro-demokrasi, Beijing juga membatasi kebebasan pers.
Apple Daily, sebuah harian pro-demokrasi, diberedel tahun lalu dengan tuduhan "konspirasi menerbitkan konten bernada hasutan.” Pemiliknya, Jimmy Lai, kini berada di penjara bersama sejumlah staf senior, sementara aset perusahaan dibekukan.
Perubahan tersebut berdampak pada status Hong Kong sebagai pusat media internasional. Dua harian AS, The New York Times dan The Washington Post, saat ini sudah memindahkan kantornya ke Seoul, Korea Selatan.
Skenario serupa menghantui media lain seperti AFP, Bloomberg, the Wall Street Journal (WSJ), CNN, Financial Times dan the Economist yang membuka cabang di Hong Kong.
Sebulan silam, pemerintah Hong Kong mengancam akan menggugat WSJ atas sebuah pemberitaan kritis. Ancaman serupa dilayangkan kepada Financial Times. Namun begitu, pekan lalu WSJ nekat menerbitkan sebuah editorial dengan judul, "tidak seorangpun aman di Hong Kong.”
rzn/hp (ap, rtr)