Dilema Strategi AS Hadapi IS
14 Agustus 2014Selama beberapa bulan, para pejabat pemerintahan terpecah tentang seberapa besar ancaman yang muncul dari Islamic State (IS) ketika mereka mulai merebut beberapa wilayah di Suriah dan Irak. Kini, di tengah informasi intelijen baru mengenai menguatnya kelompok jihadis itu, sebuah konsensus terbentuk bahwa Islamic State menimbulkan resiko terorisme yang tidak bisa diterima bagi Amerika dan sekutu-sekutunya.
Menteri Pertahanan Chuck Hagel mengatakan kelompok itu menimbulkan ”sebuah ancaman bagi dunia yang beradab,” sementara Ketua Komitee Intelijen Senat dari Partai Demokrat Dianne Feinstein menyebut Islamic State sebagai sebuah “tentara teroris“ yang harus dikalahkan. Tapi Obama tidak menggunakan bahasa yang sama.
Ia memerintahkan sebuah operasi militer serangan udara terbatas yang dirancang untuk melindungi pengungsi dan personil AS di wilayah Kurdi – tidak untuk menjatuhkan kepemimpinan kelompok jihad itu atau merebut pusat-pusat logistik mereka.
Sebuah strategi untuk menghancurkan Islamic State akan membutuhkan pasukan darat dalam jumlah besar, tapi itu akan meningkatkan eskalasi dari serangan udara yang berlangsung akhir-akhir ini, demikian menurut para analis. Itu mungkin juga akan memerlukan aksi militer di sebalah barat Suriah, di mana kelompok itu memiliki markas di kota Ar-Raqqah.
Para pendukung ide itu berargumen bahwa Islamic State harus dihentikan karena mereka akan mendestabiliasi para sekutu AS di kawasan dan bahkan mengekspor teror ke Eropa dan Amerika. Sementara para pengkritik gagasan itu mendesak presiden Obama dengan keras agar tidak tesedot dalam perang di Timur Tengah lainnya, meyakini bahwa tahun-tahun intervensi AS di wilayah itu selama ini hanya berakhir dengan air mata. (Baca: AS Kirim 130 Ahli Militer ke Irak)
Berkembang pesat
Obama sendiri mengatakan bahwa AS “punya kepentingan strategis untuk mendorong mundur“ Islamic State, namun ia juga berkeras bahwa dirinya tidak akan mengirimkan tentara perang Amerika kembali ke Irak. Ia tidak menghindar dari penggunakan kekuatan militer di tempat lain seperti Pakistan, Yaman dan Somalia, ketika ia menganggap bahwa kelompok teroris di sana mengancam Amerika.
Para pejabat pemerintahannya mengatakan bahwa Gedung Putih terpecah sangat dalam setidaknya sejak awal 2014 tentang seberapa besar ancaman yang ditimbulkan Islamic State.
Akibatnyam AS membatasi respon dengan hanya menyediakan kepada tentara Irak, rudal-rudal Hellfire dan membantu melacak para militan dengan drone pengintai.
Sejak saa itu, jumlah tentara Islamic State membengkak dari hanya beberapa ribu militan menjadi sekitar 15.000 anggota, demikian menurut keterangan dua pejabat senior intelijen AS.
Banyak diantara para ekstrimis adalah bekas anggota pasukan elit Saddam Hussein yakni Garda Repulik yang berpengalaman menghadapi pertempuran berat dan sangat akrab dengan medan padang pasir Irak dan punya koneksi dengan berbagai kelompok suku.
ab/rn (afp,ap,rtr)