Donald Trump dan Geliat Islamofobia
8 Desember 2015
Apa jadinya Donald Trump tanpa kaum Muslim? Mungkin popularitasnya bakal merosot drastis. Taipan media yang akrab dengan dunia hiburan itu belakangan aktif memanfaatkan serangan teror di Paris dan penembakan massal di San Bernardino buat menjaring dukungan yang belakangan mulai melesu.
Trump mengumbar bakal "menutup" perbatasan buat semua kaum Muslim yang ingin ke Amerika Serikat. "Sampai kita mampu mengukur dan memahami ancaman yang mereka timbulkan, negara kita tidak bisa menjadi korban serangan mereka yang cuma meyakini Jihad dan tidak mau menghormati nyawa manusia."
Oleh para penggemarnya, celotehan bakal calon presiden dari Partai Republik itu dirayakan bak ucapan juru selamat. "Trump adalah satu-satunya kandidat yang berani memberikan pernyataan serupa terhadap kaum Muslim," tulis koresponden Christian Broadcasting Network David Brody. "Saya suka kejujurannya," ujar seorang simpatisan berusia 18 tahun kepada media Inggris, Guardian.
Pidato Trump menjadi bukti terakhir menguatnya Islamofobia di Barat lewat jalur politik. "Islamic State berupaya mengubur kebebasan beragama," ujar Nihad Awad, Presiden Dewan Islam Amerika seperti dikutip mingguan Jerman, Der Spiegel. "Dan ironisnya banyak politisi yang memakan umpan tersebut demi kemenangan pemilu."
Kebangkitan Islamofobia di ranah politk tidak cuma terjadi di Amerika Serikat. Negara-negara di Eropa misalnya satu persatu jatuh ke tangan kaum ekstrim kanan: Mulai dari lonjakan suara buat partai Perussuomalaiset di Finlandia, Partai Kebebasan pimpinan Gert Wilders di Belanda, Ukip di Inggris atau FPÖ di Austria.
Tidak jauh berbeda dengan situasi di Jerman. Partai Alternatif untuk Jerman, AFD, untuk pertamakalinya mencatat perolehan suara dua angka dalam jajak pendapat nasional.
Geliat kaum ekstrim kanan di Eropa diperkuat dengan kemenangan partai ekstrim kanan, Front National pimpinan Marine Le Pen di Perancis yang meraup 27,7 persen suara dalam pemilihan regional. Partai yang gemar mengkampanyekan gerakan anti imigrasi itu bahkan menduduki posisi pertama di enam dari 13 daerah pemilihan. Le Pen kini dianggap sebagai kandidat serius buat Pemilihan Umum Kepresidenan 2017.
Serupa seperti Trump, Le Pen membidik kaum terpinggirkan dan diliput amarah terhadap kelompok elit nasional dan politik dan khawatir gelombang imigrasi akan mengancam eksistensi mereka.
Di AS, ucapan Trump memicu perdebatan hangat ihwal bagaimana sebuah negara demokrasi berhadapan dengan kaum ekstremis Islam. Dalam hal ini Presiden Barack Obama mengingatkan kewajiban semua Muslim buat "menangkal radikalisasi," ujarnya.
"Tapi sebagaimana kaum Muslim bertanggungjawab meredam radikalisasi, juga menjadi tanggungjawab semua warga Amerika Serikat, semua keyakinan dan agama, untuk menghentikan diskriminasi," tukasnya.
rzn/yf (dari berbagai sumber)