Dubes RI di Jerman: "Kita Hanya Datangkan Tenaga Terampil"
4 April 2024Lebih dari 1.000 mahasiswa dari puluhan universitas di Indonesia dikirim ke Jerman dengan modus "magang", tetapi kenyataannya di Jerman, mereka kerja Ferienjob. Banyak di antaranya menjadi korban dugaan penipuan itu.
Berita tentang mahasiswa Ferienjob berkedok program magang itu pun ramai diberitakan berbagai media di Indonesia. Menanggapi kekisruhan tersebut, Duta Besar Republik Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, menyebutkan ada banyak misinformasi soal pemberangkatan para mahasiswa untuk bekerja di Jerman tersebut.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam hal penempatan pekerja Indonesia di Jerman, Havas juga berbagi perkembangan informasi tentang kerja sama antara Jerman dan Indonesia yang tengah dijajaki.
DW: Bagaimana duduk perkara kasus Ferienjob di Jerman yang baru-baru ini sempat bikin geger baik masyarakat di tanah air dan juga mungkin beberapa kalangan masyarakat Indonesia di Jerman?
Arif Havas Oegroseno: Ferien itu artinya liburan. Job itu artinya kerja. Jadi Ferienjob itu kerja di waktu liburan. Ini bukan program, ini bukan magang. Ini bukan program magang. Ini job market atau lapangan pekerjaan dan diatur secara jelas di Undang-undang Ketenagakerjaan Jerman. Ini adalah lapangan kerja untuk jenis pekerjaan kasar, seperti mengangkat koper, mengangkat boks, memetik buah, mengecat, pertukangan, pengangkutan barang, kemudian juga jaga malam kadang-kadang.
Nah, ini adalah pekerjaan untuk menggantikan buruh kasar yang sedang liburan di Jerman.
Awalnya itu hanya untuk warga Jerman, yang duduk di bangku SMA dan juga kuliah, kemudian ternyata dirasa oleh pemerintah Jerman kurang, akhirnya diperluas untuk mereka yang berdomisili di Jerman. Kemudian dibuat undang-undangnya yang jelas, diatur berapa gajinya, dan apa yang harus dilakukan secara detail. Ternyata masih kurang juga, lalu diperluas ke warga Uni Eropa untuk kerja kasar pada saat masa liburan di Jerman.
Masih kurang juga, karena di Eropa pun secara umum jumlah penduduknya berkurang, jadi pekerja juga makin sedikit. Kemudian diperluas, tidak hanya mencakup warga Jerman atau mereka yang berdomisili di Jerman dan tidak hanya Uni Eropa, tetapi juga non-Uni Eropa, warga non-UE yang kemudian mendaftar Ferienjob.
Kebanyakan mereka itu tahu dari negara asalnya, bahwa memang datang ke Jerman untuk bekerja, misal untuk memetik buah, untuk menjadi porter, untuk mengangkat boks, untuk melakukan pekerjaan membuat paket-paket rokok, bungkus rokok elektrik. Jadi ini manual job.
Di Indonesia (dalam kasus yang marak terakhir ini), itu diiklankan, dikampanyekan disosialisasikan sebagai suatu program magang intelektual. Dilakukannya di kampus-kampus. Dari paparan yang saya lihat, di situ disebutkan nanti bekerja di bidang logistik, analisa logistik, lalu akan melakukan riset, ada yang melakukan pekerjaan intelektual. Jadi ini kesannya adalah kerja magang intelektual.
Tapi sampai di situ kan seperti ada miskomunikasi, misinformasi dari kampus atau dari pihak agen...
Saya tidak tahu di lapangannya seperti apa. Tapi mungkin saya salah, perlu diverifikasi. Ini kan sudah masuk ranah pidana ya, jadi saya tidak mau membuat pernyataan yang bisa disalahartikan. Tapi dari dokumen yang saya dapatkan dari mahasiswa yang kemudian bermasalah di sini, itu memang pada saat mereka duduk di kampus melihat paparan dari agen itu, memang disampaikan bahwa yang akan mereka lakukan di Jerman adalah pekerjaan-pekerjaan yang berkesan intelektual. Nah, kemudian ini juga perlu verifikasi: Ada yang mendapatkan SKS, bahkan ada yang mendapatkan 20 SKS, ini perlu diverifikasi.
Tapi yang jelas yang saya tahu pada tahun 2022, bulan Oktober, masalahnya sudah muncul dan kita ditanya oleh (pemerintah) pusat, apa itu Ferienjob. Kita jawab, kita jelaskan, bahwa Ferienjob di sini, di Jerman itu hanya berlaku untuk libur musim panas.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Jadi Oktober 2022 sudah ditanya dari Jakarta, dan sudah dijawab, ya?
Ya. Sudah lebih dari setahun yang lalu kita sudah tahu, ini masalahnya sudah lama dan kita sampaikan bahwa Ferienjob adalah pekerjaan buruh kasar, bukan pekerjaan intelektual, bukan pekerjaan di kampus.
Jadi sudah kita ingatkan dan juga kita ingatkan bahwa liburannya itu adalah liburan resmi, summer vacation, dan Ferienjob itu tidak hanya untuk mahasiswa, bahkan di sini kan anak SMA juga bisa, misalnya dia di kerja di restoran, dia jadi kasir atau cuci piring itu normal di sini, biasa itu di sini, tapi mereka sadar bahwa memang mereka akan melakukan pekerjaan kasar.
Nah, yang terjadi di Indonesia adalah mereka tidak tahu bahwa di sini akan melakukan pekerjaan kasar. Itu yang pertama. Jadi ada masalah di sana. Kedua, sesuai undang-undang Jerman, kontrak kerja harus dalam bahasa yang dipahami oleh pemberi kerja dan penerima kerja, dan yang saya tahu kontrak kerja (dalam kasus ini) dalam bahasa Jerman. Dan kontrak kerja itu, menurut rekomendasi dari Zentrale Auslands-und Fachvermittlung (ZAV) Bundesagentur für Arbeit (Pusat Penyaluran Tenaga Terampil di Kementerian Tenaga Kerja Jerman) harus diberikan di negara asal. Itu ternyata diberikannya di Jerman dan dalam bahasa Jerman. Anak-anak itu tidak punya pilihan, lalu menandatangani. Jadi banyak hal-hal yang memang tidak sesuai.
Itulah karenanya kita mengingatkan persoalan ini, tetapi rupanya jalan terus dan dengan pola yang sama. Yang terjadi adalah mereka di sini kemudian menghadapi pekerjaan yang sangat tidak sesuai dengan harapan dan tidak sesuai dengan ceritanya di Indonesia sehingga banyak yang tidak kuat, kemudian sakit, masuk rumah sakit, kemudian stop bekerja, merasa tertekan, begitu. Itu yang terjadi karena memang tidak ada ekspektasi yang sama.
Lain hal kalau misalnya dari Jakarta sudah diberitahu: Anda akan ke Jerman untuk mengecat jendela, Anda ke Jerman untuk jadi porter, jaga malam, mengepak rokok, dll., misalnya angkat boks 30 kg, ada yang kerjanya jam 01.00 pagi sampai jam 06.00 pagi, kalau itu dia sudah sadari, dia jadi tahu harus bertanya seperti apa, begitu.
Kemudian ZAV sendiri dalam pamfletnya mengatakan bahwa sebaiknya yang ingin ikut Ferienjob itu langsung ketemu employer dan itu dilakukan oleh orang-orang di sini selama ini. Misalnya kalau mau kerja delivery langsung ke Wolt (perusahaan antar-kirim barang), delivery naik sepeda. Kalau mau kerja di bandara jadi porter, langsung hubungi bandara, jadi tidak lewat agen. Pada saat para mahasiswa Indonesia dalam kasus itu akan berangkat ke Jerman, mereka tidak tahu bahwa mereka akan bekerja kasar seperti itu.
Anda tadi mengatakan sudah tahu sejak tahun 2022 tentang pengiriman mahasiswa untuk Ferienjob, kemudian juga kita baca di media ada informasi dari KBRI Berlin bulan Mei 2023 tentang masalah ini, apa ada responsnya dari Indonesia?
Pada saat itu mereka meminta klarifikasi pada kita, ya kita jawab, kemudian ternyata kejadiannya kan universitas tampaknya tetap mengirimkan dengan agen. Kita kan di sini tidak punya monitoring untuk setiap kampus, tapi sudah kita jelaskan persoalan seperti ini yang akan dihadapi. Jadi kita melihatnya dari sisi perlindungan warga negara Indonesia.
Jerman saat ini sedang membuka pasar kerjanya. KBRI Berlin sendiri juga sedang menjajaki kemungkinan bagaimana untuk bisa menempatkan pekerja dari Indonesia ke Jerman...
Ya, kalau yang terampil dan profesional, iya. Kita membuat nota kesepahaman, MoU, dengan pemerintah Jerman, namanya Triple Win. Itu khusus kesepakatan Indonesia dan Jerman untuk skilled workers dan syaratnya adalah pertama, perguruan tinggi atau akademinya diakui oleh Jerman, jadi ada kedatangan pejabat dari Jerman misalnya ke Akademi Perawat, melihat kurikulum Akademi Perawat, kemudian mereka mengakui dan memberikan solusi untuk penyetaraan nilai bagi lulusan Akademi Perawat Indonesia dan Jerman. Lalu yang kedua, tuntutan pengetahuan bahasa Jerman. Mereka harus datang ke sini dengan level B1 (bahasa Jerman level menengah), nanti setelah enam bulan diharapkan sudah masuk ke level B1-B2.
Sekarang KBRI Berlin sedang menjajaki kemungkinan tenaga terampil perhotelan dan nanti kita akan kembangkan tenaga terampil yang lain, misalnya tukang las atau tukang las bawah air. Di Jerman sudah tidak ada lagi tukang las bawah air. Kita juga sedang mengarahkan orang-orang Indonesia untuk juga bisa bekerja di sekolah-sekolah, di program Ausbildung (vokasi), misalnya di bidang semikonduktor.
Kami sama sekali tidak mempromosikan untuk lapangan kerja kasar. Kami tidak menginginkan warga negara Indonesia di Jerman bermasalah seperti, maaf, di Malaysia atau di Timur Tengah. Yang datang ke Jerman harus yang high-skilled.
Tadi Anda menjelaskan, ketika ada sekitar 1.000 anak siswa datang ke sini tentu saja dengan menggunakan visa. Apakah ada semacam komunikasi juga dari Kedutaan Besar Jerman di Indonesia, bahwa ini ada seribuan anak datang ke Jerman dengan visa ini?
Tidak ada komunikasi dengan kita, karena mekanismenya kan yang mengeluarkan rekomendasi itu biasanya Kementerian Teknis di sini, atau pemerintah daerah (negara bagian). Misalnya ada yang akan sekolah S1, S2, S3 di Technical University (TU) München, yang memberikan rekomendasi kan Pemda Bayern bukan Kemlu Jerman, bukan Kantor Imigrasi Jerman.
Misalnya anak-anak yang sekolah di Technical University Berlin atau Humboldt University (HU) Berlin, yang mengeluarkan visa adalah pemda di sini. Lain sistemnya dengan Indonesia. Di Indonesia, yang mengeluarkan visa imigrasi, kemudian Kementerian Luar Negeri. Itu sama juga dengan Ferienjob, yang mengeluarkan visa ya memang teknisnya adalah kedutaan, tapi yang memberikan rekomendasi adalah pemerintahan daerah dan perusahaan dan kementerian terkait di lokasi dia bekerja. Jadi kedutaan besar Jerman di Jakarta sifatnya administratif saja.
Jadi mereka tidak tahu-menahu prosesnya seperti apa. Misalnya, untuk perawat Indonesia yang datang ke Jerman, itu yang meminta visanya rumah sakit tempat mereka akan bekerja, dan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat.
Jadi untuk skilled workers, persoalannya bukan visa, melainkan pada peningkatan penguasaan Bahasa Jerman, dari mungkin tingkat A1, A2 (sertifikat bahasa Jerman Tingkat dasar), ke B1 (sertifikat bahasa Jerman tingkat menengah), dan bagaimana mereka bisa meningkatkan kapasitas dari B1 ke B2. Karena memang untuk high-skilled, Jerman kekurangan dan membutuhkan.
Jadi untuk warga Indonesia, baik mahasiswa mapun tenaga terampil yang ingin bekerja di Jerman, apa yang sebaiknya mereka lakukan, agar kasus serupa ini tidak terulang lagi?
Kalau Ferienjob itu kan kerja paruh waktu, ya. Jadi memang pemerintah tidak ada keinginan untuk mendatangkan secara resmi, karena kerja paruh waktu itu juga tidak masuk dalam jenis kategori kerja yang diatur dan direkomendasikan.
Jadi kita hanya mengatur kedatangan tenaga terampil dari Indonesia ke Jerman, itu saja. Sesuai dengan payung hukumnya. Misalnya teman-teman mahasiswa dari perhotelan, tinggal nanti mereka melihat di websitenya pemerintah Jerman, juga melihat di websitenya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP2MI), lalu melamar di sana.
Nanti akan ada proses-proses wawancara di BP2MI dan juga wawancara oleh pemerintah Jerman. Atau kalau memang mereka ingin datang lewat agen misalnya, harus agen yang resmi, yang KBRI juga mengetahui di mana mereka berada, dan kita bisa melakukan cek fisik, misalnya rumah sakitnya akan melakukan perekrutan, kita kirim staf ke rumah sakit tersebut, ada atau tidak rumah sakitnya.
Kalau seandainya mereka datangnya lewat agen, kita cek agennya ada atau tidak di Jerman. Kalau perawat yang datang, kita jemput di airport, oleh KBRI, KJRI, jadi kita maksimal begitu, karena kita ingin mendatangkan high-skilled workers.
BP2MI akan datang ke sini, Menteri Tenaga Kerja RI akan ke sini. Kita memang punya mekanisme yang jelas untuk mendatangkan skilled workers. Perawat yang baru masuk itu start gajinya saja mulai dari 2.300 Euro per bulan, dan kalau mereka sudah bisa lulus sekolah bahasa dan sertifikasi profesi, bisa sampai ke 3.400 Euro. Itu artinya, gajinya memang tinggi karena memang diperlukan kemampuan yang tinggi. Perawat Indonesia yang ke Jerman itu tidak hanya untuk bekerja di panti jompo untuk orang tua, tapi juga di rumah sakit utama, bahkan di rumah sakit spesialis. (ap/hp)
*Wawancara untuk DW dengan Dubes RI di Jerman Arif Havas Oegroseno dilakukan oleh Ayu Purwaningsih