Ketika Bersama DW
27 September 2013-I-
Suatu hari di bulan September 1976, saya mengunjungi Parlemen Eropa di Strassburg, Perancis. Sidangnya waktu itu dihadiri oleh sejumlah kepala negara dan pemerintahan di Eropa Barat, di antaranya Perdana Menteri Portugal Mario Soares. Saya pikir ini kesempatan baik untuk dapat mewawancarainya, karena masih hangatnya kasus invasi Indonesia di Timor Timur, bulan Desember 1975.
Saya berhasil mewawancarainya. Sejumlah wartawan, di antaranya berasal dari Portugal, menanyakan hasil wawancaranya. Saya berkilah, dan “ngacir” dengan berkata “no comment”. Salah seorang dari kerumunan wartawan itu berteriak, ”Hei kamu wartawan, atau agen Indonesia?” Tak diduga, akhirnya malah saya bersahabat dengan sang wartawan itu, dengan saling berkorespondensi dan bertukar informasi.
20 tahun kemudian, bulan Desember tahun 1996, saya berjumpa lagi dengannya. Kali ini di ibukota Norwegia Oslo, ketika Uskup Belo dan Jose Ramos Horta dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian. Ketika ia sedang “berkasak kusuk” untuk mencari informasi, apakah ada wakil pemerintah Indonesia yang hadir dalam acara penyerahan hadiah Nobel Perdamaian itu, saya menepuk bahunya dan berkata,”Hei wartawan apa agen Portugal?”Ia membalikkan badannya, kaget dan mengenali saya. Ia tertawa terbahak-bahak dan memeluk saya dengan erat. Lantas mengajak makan siang di sebuah restoran Cina di pusat kota Oslo.
-II-
Di antara tugas jurnalistik yang sangat “berkesan” bagi saya, adalah menyaksikan pesta penyatuan kembali Jerman malam menjelang tanggal 3 Oktober 1990, di depan Gedung Reichstag di Berlin. Dan robohnya tembok Berlin tanggal 9 November 1989. Kedua peristiwa itu saya anggap sebagai kejadian penting dan bersejarah, di abad ke 20. Robohnya tembok Berlin, ibarat membalikkan telapak tangan. 24 jam sejak penguasa Jerman Timur memberikan ijin bepergian, sekitar 2 juta warga Jerman Timur memasuki kota perbatasan di Jerman Barat, dengan naik mobil,kereta api atau berjalan kaki.
Para wartawan Deutsche Welle juga berhamburan meliput peristiwa perjumpaan penuh haru dengan warga Jerman Timur. Inilah suasana persaudaraan yang memungkinkan orang-orang tak kenalpun saling berpelukan penuh luapan kegembiraan. Dengan spontan dinyanyikan lagu, So ein Tag, so wunderschön wie heute (hari yang indah dan bahagia). Tapi proses penyatuan Jerman setelah robohnya tembok Berlin, tidaklah “semulus” yang diimpikan. Warga dari bagian Timur Jerman nyeletuk, “Kucari dirimu, kutemukan diriku”.
-III-
Sejak sore hari tanggal 2 Oktober 1990, halaman gedung Reichstag di Berlin semakin dipadati warga. Mereka secara langsung hendak menantikan dan merayakan penyatuan kembali Jerman, tepat jam 00.00, tanggal 3 Oktober 1990. Terbersit di pikiran saya untuk mengetahui bagaimana “nasib”, Kedutaan dan Duta Besar Indonesia di Berlin Timur, dengan bersatunya kembali Jerman. Saya mencoba untuk menghubunginya, dan berhasil.
Yang agak jadi masalah, bagaimana untuk pergi kesana? Meskipun tidak ketat, petugas keamanan Jerman Timur masih terlihat di jalanan. Untungnya ada “orang” dari kedutaan yang menolong untuk membawa saya ke kedutaan Indonesia di Berlin Timur dengan kendaraannya, lewat ”jalan tikus”. Ia juga membawa pesan Duta Besar Indonesia di Berlin Timur, agar saya sampai menjelang jam 00.00. Soalnya sampai jam tersebut, Jerman Timur masih ada, dan iapun masih jadi Duta Besar. Saya lega, karena tiba beberapa jam menjelang jam yang ditentukan. Setelah menyampaikan suka duka menjadi Duta Besar di Jerman Timur dan tanggapannya mengenai penyatuan Jerman, Duta Besar I Gusti Ngurah Gde seolah “mengeluh” dengan berkata, ”Saya mungkin satu-satunya Duta Besar yang bernasib seperti ini. Yakni harus ”pergi” bukan karena dipanggil pulang atau dipersona-non-gratakan, melainkan karena negara tempat saya bertugas sudah tidak ada."
Bagaimana pengalaman ketika Presiden Suharto berkunjung ke Jerman?
-IV-
Mungkin ini satu-satunya pesawat Garuda Indonesia yang mendarat tepat pada jam dan menit yang ditentukan. Soalnya, pesawat Garuda Indonesia yang mendarat di bagian militer bandar udara Köln-Bonn pada tanggal 3 Juli 1991 itu, membawa rombongan Presiden Suharto yang mengadakan kunjungan kenegaraan ke Jerman. Saya meliput kunjungannya, termasuk menyampaikan laporan langsung, mulai dari mendarat sampai berkunjung ke tempat lain di Jerman.
Selama mengikuti rombongan Presiden Suharto, sayapun mendengar sindiran dan keluhan. Mulai dari korupsi di kalangan penguasa dan kroninya, sampai kepada orang kaya di Indonesia yang menyepuh logo mobil Mercedesnya dengan emas. Sementara di kalangan rombongan beberapa mengeluh, karena musim panas ketika itu cukup menyengat. Dan bertanya, apakah di Jerman semua mobil pakai AC.
Di balik acara seremonial, kunjungan kenegaraan yang mendapat pengamanan yang sangat ketat itu, juga diwarnai aksi protes anti Suharto,yang waktu itu “tabu” disiarkan oleh media di Indonesia. Di Bonn, Berlin, maupun ketika hendak berlayar di sungai Rhein, muncul aksi protes, menentang penekanan, dibungkamnya pers, kerusakan lingkungan dan korupsi di Indonesia. Di dekat gerbang Brandenburg di Berlin, sejumlah aktivis membentangkan spanduk yang bertuliskan “selamat datang baginda yang kaya raya dari negeri yang miskin itu”.
Seorang petugas pengamanan dari Indonesia nampak risih dengan tulisan di spanduk tersebut. Ia mendekati saya, dan berkata, ”Tolong dik, beritahu polisi itu dalam bahasa Jerman, agar spanduk itu “digulung” saja." Saya menyampaikannya. Polisi itu seperti acuh tak acuh menjawab “Apa......? Kalau digulung, nanti saya yang akan digulung. Beritahu teman Anda itu. Mereka melakukan aksinya dengan damai. Kalau nanti mereka mengganggu atau melakukan perusakan, baru saya bertindak”.
-V-
Tiba-tiba di anjungan Indonesia di Pekan Raya Industri Hannover, Presiden Suharto meraih mikrofon dan langsung menyanyikan lagu “selamat ulang tahun” yang ditujukannya kepada Kanselir Jerman Helmut Kohl yang berdiri disampingnya. Hari itu tanggal 3 April 1995, tepat ulang tahun Kanselir Helmut Kohl yang ke-65. Presiden Suharto hadir untuk meresmikan Indonesia sebagai negara mitra dari Pekan Raya Industri Hannover, berkaitan dengan 50 tahun Indonesia merdeka.
Dalam lawatan kali ini, Presiden Suharto juga sempat berkunjung ke kota Dresden dan Leipzig di bagian timur Jerman. Seperti halnya di arena pekan raya dan Hannover, di kota Dresden juga terjadi demonstrasi anti Suharto. Mereka antara lain memprotes pembungkaman kebebasan, pelanggaran hak asasi, serta kasus Timor Timur. Aksi protes di kota Dresden yang dapat dikatakan berlangsung seharian, diawali ketika Presiden Suharto dan rombongan mengunjungi sebuah museum lukisan di kota itu.
Dalam jumlah besar, para demonstran yang berteriak gaduh hanya berjarak sekitar 2 meter dari rombongan presiden, tanpa polisi berhasil menghalaunya. Pihak Indonesia menyebutnya sebagai demonstrasi yang brutal dan beringas. Presiden Suharto mengatakan orang-orang yang memberikan “bahan“ kepada para demonstran sebagai orang yang tidak rasional, edan dan sinting. Dan menjual bangsa.
Sayapun setelah kejadian itu, mendapat telepon dari seseorang. Ia dengan nada yang agak “keras” mengatakan, ”Kok Deutsche Welle membesarkan-besarkan aksi demonstrasi itu? Bukanlah lebih baik menonjolkan hasil pembicaraan untuk meningkatkan kerjasama Jerman-Indonesia. Rasa cinta tanah air jangan sampai tergadai, Mas.”