Dunia Berada di Ambang Kembalinya Energi Batu Bara?
21 Desember 2012"Batu bara dan gas terlibat perang, dan gas sedang menjalani kekalahan dalam perang ini." Demikian dituturkan Maria van der Hoeven, Pimpinan Badan Energi Internasional IEA, yang menjadi pasar dunia bagi bahan baku energi. Ia menarik kesimpulan ini berdasarkan sebuah studi, yang dipublikasikan IEA. Dalam studi tersebut dilaporkan, terjadinya "renaissance" (perubahan) di tingkat dunia untuk batu bara, dan juga mengritik Jerman sebagai pengguna lignit atau batu bara coklat terbesar di dunia.
Batu bara adalah pemasok energi yang paling merusak iklim," dijelaskan Karsten Smid dari Greenpeace Jerman dalam wawancara dengan Deutsche Welle (DW). Dalam pembakaran batu bara dilepaskan karbondioksida dalam jumlah besar ke udara. Pada tahun 2011 menurut keterangan IEA batu bara menjadi pemasok energi nomor dua terpenting setelah minyak bumi. 28 persen kebutuhan energi dunia menurut studi badan energi internasional itu saat ini bersumber dari batu bara.
"Pasar Eropa Dibanjiri dengan Batu Bara"
Menurut perhitungan IEA, yang sejak krisis minyak pada tahun 1970-an mewakili kepentingan negara-negara industri besar, sampai tahun 2017 penggunaan batu bara akan terus meningkat, yakni sekitar 500 ribu ton per tahun.
Alasannya: "Harga gas bumi yang cukup tinggi serta rendahnya harga batu bara, dan bila kita jujur, harga CO2 yang hampir tidak diperhatikan di Eropa." Demikian dikatakan van der Hoeven mengenai pasar energi kepada DW. Karena di Amerika Serikat dalam jumlah besar dapat ditambang gas alam non konvensional atau shale gas dengan murah. Shale gas adalah "sumber energi gas di bawah tanah, yang dengan metode baru diambil dari tanah," kata Smid. Industri batu bara Amerika Serikat tidak dapat menyaingi gas alam non konvensional atau shale gas ini. Oleh karena itu batu bara dikirim ke Eropa dan membanjiri pasar di sana. "Jadi di sana gas terdesak dari pasaran. Itu justru kebalikan dari apa yang terjadi di Amerika Serikat," dijelaskan van der Hoeven.
Sekaligus harga yang harus dibayar oleh industri bagi setiap ton karbonidoksida yang dilepaskannya, relatif sedikit. Menurut pakar iklim dan energi Smid, "instrumen perlindungan iklim yang terpenting di Eropa tidak berfungsi.“ Eropa tidak mampu menstabilisasikan perdagangan emisi. Perkembangan harga memberikan konfirmasi bagi ucapannya. Dulu harga perdagangan emisi CO2 sekitar 30 Euro per ton, kini harga itu hanya mencapai 6 sampai 7 Euro. “Oleh karena itu industri energi juga mengijinkan peningkatan penggunaan batu bara yang mencemari dalam lingkup besar ini,” dijelaskan Smid.
“Cina adalah Batu Bara“
Selain itu meningkatnya kebutuhan akan energi di negara-negara ambang industri terutama di Cina dan India dipenuhi dengan batu bara, dikatakan van der Hoeven. „Jadi hal yang amat penting dipikirkan, bahwa keputusan-keputusan yang diambil di Beijing atau New Delhi, jika menyangkut jenis energi atau dari mana energi itu berasal, memiliki pengaruh-pengaruh besar terhadap kehidupan kita semua.“ Dalam laporan Badan Energi Internasional IEA disebutkan „Cina adalah batu bara, batu bara adalah Cina.“
Tapi hal itu akan segera berubah, ini setidaknya keyakinan Smid. “Di Cina saat ini setiap dua jam dibangun pembangkit listrik tenaga angin baru.“ Dalam energi angin tapi juga dalam photovoltaic, yakni perubahan dari tenaga surya menjadi energi, terutama dipakai teknologi Jerman dalam penyelesaiannya. “Itu sangat membuat saya optimis,” demikian pakar iklim dan energi Smid.
Renaissance dari Listrik Nuklir
Juga ketua IEA van der Hoeven yakin, bahwa monopoli gas dapat terputus. Dan itu melalui kombinasi dari teknologi efisien dan ramah lingkungan di instalasi batu bara, makin banyak diandalkannya gas dan energi terbarukan. “Dan kita tidak boleh melupakan energi atom.” Walaupun pilihan yang terakhir tentu saja tergantung dari preferensi di masing-masing negara, tambah van der Hoeven dengan memandang keluarnya Jerman dari penggunaan energi atom.
LINK: http://www.dw-world.de/dw/article/0,,16466385,00.html