Diaspora Tibet Pilih Pemerintahan Baru
4 Januari 2021Ratusan warga berkumpul di salah satu Tempat Pemilihan Umum, pada Minggu (3/1), di kota Dharmsala, di utara India, untuk melalkukan pencoblosan memilih pemerintahan baru. Masa jabatan pemerintahan eksil Tibet saat ini berlangsung selama lima tahun dan akan berakhir Mei mendatang.
Warga mengenakan masker, membersihkan tangan dan menjaga jarak ketika mengantre untuk mencoblos. Pada putaran pertama ini, pemilih menentukan dua orang kandidat untuk menduduki kursi kepresidenan, dan 90 calon anggota parlemen. Pemilihan kedua untuk menentukan siapa yang lolos, baru akan digelar pada bulan April.
"Dengan pemilu ini kami mengirimkan sinyal kuat ke Beijing bahwa Tibet berada di bawah pendudukan, tapi warga Tibet di pengasingan masih bebas. Dan jika diberikan waktu dan kesempatan, kami lebih memilih demokrasi," kata Lobsang Sangay, Presiden Otoritas Pusat Tibet (CTA) yang akan mengakhiri masa jabatan keduanya sebagai Sikyong. Lobsay Sangay sendiri merupakan putera seorang rahib yang menempuh pendidikan di Amerika Serikat.
"Terlepas dari apapun yang kalian lakukan, kebanggaan dan rasa kebangsaan warga Tibet adalah untuk menjadi sebuah negara demokratis," imbuhnya lagi.
Menurut Buku Hijau Otoritas Pusat Tibet, sekitar 100.000 warga Tibet dewasa ini hidup di pengasingan di India, sementara sisanya mendapat suaka di Amerika Serikat, Kanada, Brasil, Costa Rica, Meksiko, Mongolia, Inggris dan Uni Eropa. Saat ini kekuatan politik pemerintah Tibet banyak bergantung dari dukungan AS yang baru saja mengesahkan UU Kebijakan dan Dukungan Tibet (TPSA) pada akhir 2020 lalu.
Masa depan tanpa Dalai Lama
Dibentuk pada 1959, pemerintahan eksil Tibet baru menggelar pemilihan umum kepresidenan sejak 2011 silam. Sebagaimana negara demokratis yang lain, CTA memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun dalam operasinya, pemerintahan eksil Tibet dinilai lebih menyerupai sebuah lembaga pengelola donor, ketimbang sebuah pemerintahan resmi.
Selama ini Cina bersikeras, Tibet telah menjadi bagian dari wilayahnya sejak pertengahan abad ke13. Namun warga di pengasingan berkeyakinan, kemerdekaan Tibet berusia lebih lama ketimbang pendudukan Cina. Pada 1951, Partai Komunis Cina menganeksasi kerajaan langit itu dan membentuk pemerintahan lokal sendiri yang dinamakan Daerah Otonomi Tibet.
Sejak pemberontakan yang gagal pada 1959, sebagian warga Tibet hidup di pengasingan di Dharmsala, termasuk pemimpin spiritualnya, Lhamo Thondup, Dalai Lama ke14. Cina berusaha memperlemah otoritas spiritual pemimpin Tibet dengan memilih sendiri Dalai Lama yang baru, dan menculik Panchen Lama, sosok yang sudah ditunjuk oleh Dalai Lama untuk mencari penggantinya.
Perspektif muram tersebut diyakini menggerakkan kaum muda Tibet untuk terjun ke politik dan ikut memeriahkan pesta demokrasi lima tahunan di Dharmsala. Ketika Dalai Lama kian menua dan penggantinya menghilang, pemerintahan baru Tibet dinilai memiliki tugas krusial menyiapkan warga untuk menghadapi perubahan di masa depan.
"Sebagai seorang yang mempelajari teknologi informasi, saya yakin saya bisa berusaha membuat komunikasi parlementer lebih aman. Saya bisa mengisi kekosongan di bank data informasi," kata Lobsang Sither, 48, seorang professional yang ikut mencalonkan diri dalam pemilu legislatif.
Dia meyakini pemerintahan terdahulu terlalu fokus pada kaum diaspora, dan tidak banyak memberdayakan warga yang hidup di bawah kekuasaan Cina di Tibet. "Hal ini harus berubah," imbuhnya. "Kecuali kita memiliki informasi yang bisa dipercaya terkait situasi di dalam Tibet, kita tidak bisa menyusun kebijakan yang tepat untuk membantu warga Tibet di sini."
Beijing tidak mengakui pemerintahan eksil Tibet dan menutup pintu dialog dengan perwakilan Dalai Lama sejak 2010. Ironisnya, India yang menampung pengungsi Tibet secara resmi mengakui Tibet sebagai bagian dari wilayah Cina.
rzn/as (ap, rtr)