Eksploitasi Imigran di Thailand
8 Juni 2013San Si (29) datang ke Thailand melalui jalur ilegal dengan membayar seorang makelar. Ia dibantu menyeberangi perbatasan Myanmar-Thailand dan mendapatkan kerja di sebuah pabrik pengalengan ikan di provinsi Samut Sakhon.
Dua tahun kemudian majikan San Si mendesaknya untuk mendapatkan izin kerja. Jika tidak ia akan deportasi, Makelar yang sama membantunya melewati proses legalisasi, dengan imbalan 12.000 Baht. Jumlah itu sama dengan 2 bulan gaji San Si.
"Kalau dibandingkan teman-teman saya, biaya legalisasi di sini cukup mahal. Teman-teman saya hanya membayar 5.000 Baht," katanya, seraya menambahkan bahwa sejak mendapatkan izin kerja ia harus membayar 3 persen dari gaji kepada makelar setiap bulan.
Makelar panen untung
Pekerja upah rendah dari Myanmar, Kamboja dan Laos membuat industri Thailand yang padat karya tetap kompetitif - termasuk produsen garmen, pertanian dan pabrik makanan beku.
Pemerintah Thailand menyadari sejumlah masalah yang dihadapi migran ilegal, dan amnesti berkali-kali ditawarkan dalam setahun terakhir bagi 2 juta migran ilegal. Tapi proses legalisasi tergolong rumit dan mahal. Alhasil para makelar - seperti yang digunakan San Si - yang memanfaatkan situasi dan meraup keuntungan.
Keuntungannya kemudian dibagi-bagi antara makelar dan pegawai pemerintah yang korup, begitu menurut media setempat.
Eksploitasi yang lebih luas
Proses legalisasi hanya salah satu kendala yang menghadang pekerja migran ilegal, yang kerap dieksploitasi majikan.
"Masalah yang lebih besar terkait pelanggaran hak pekerja - gaji atau kompensasi kecelakaan tidak dibayar, mobilitas terbatas karena gaji dan paspor ditahan," jelas Max Tunon dari Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Laporan menunjukkan pekerja migran ilegal kerap dipaksa kerja dengan jam yang berlebihan dan kondisi kerja yang menyedihkan.
San Si mengatakan meski mempunyai izin kerja, ia tidak jarang diperlakukan bagaikan warga kelas kedua. "Ada diskriminasi antara pekerja Thailand dan migran. Pekerja Thailand mendapatkan jaminan sosial, kami tidak. Mereka tidak harus bekerja seberat kami. Kalau mereka tidur di tengah jam kerja, tidak ada yang mengeluh. Gaji mereka juga lebih besar."
Lambatnya perubahan
Sejumlah analis menilai tingginya permintaan atas pekerja migran dan korupsi yang meluas berarti pemerintah Thailand tidak akan pernah berhasil melegalisasi semua pekerja asing.
Analis lainnya memprediksi karena perekonomian Myanmar, Kamboja dan Laos terus membaik, semakin banyak pekerja migran yang memilih pulang. Tapi Tunon beranggapan sebaliknya.
"Saat melihat gaji yang ditawarkan antara Thailand, Kamboja dan Myanmar, masih ada kesenjangan yang begitu besar. Di antara pekerja migran yang berbicara dengan kami baru-baru ini, mereka mengakui tidak ada niat untuk kembali ke Myanmar, paling tidak saat ini, karena mereka masih mendapatkan upah lebih tinggi di Thailand."