Fatou Bensouda – Ketua Jaksa Baru di Den Haag
15 Juni 2012Ia dikenal sebagai perempuan yang kuat: Fatou Bensouda, berusia 51 tahun, asal Gambia. Tidak ada yang lebih mengenal ICC dengan lebih baik darinya. Sejak tahun 2004, ia merupakan wakil Luis Moreno Ocampo di Den Haag, Belanda. Bensouda dianggap sangat tegas, kompeten dan memiliki pengalaman yang luas dengan pengadilan kejahatan perang PBB:
Percaya pada Persamaan dan Perdamaian
Setelah menyelesaikan kuliah hukum di Nigeria, Fatou Bensouda memulai karirnya pada tahun 1987 sebagai jaksa di Gambia. Kemudian ia menjadi jaksa senior di Dinas Kehakiman Gambia. Di Malta, ia menerima gelar Master di bidang hukum maritim, menjadikannya sebagai pakar internasional di bidang ini. Sebelum mulai berkarir di ICC, ia sempat memimpin pengadilan kejahatan perang PBB di Arusha, Tanzania. Di sana, Bensouda turut berperan mengungkapkan kekejaman genosida.
Menurutnya, tugas ICC dapat membantu mencegah kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya di Afrika. “Para penanda tangan Statuta Roma* dengan jelas menyatakan bahwa terdapat hubungan mendasar antara keadilan dan perdamaian,“ dikatakan Bensouda. Semua pelaku kejahatan berat kini tidak lagi dapat lolos tanpa hukuman, sehingga tidak ada seorangpun lagi yang berani melakukan tindakan seperti ini. Demikian ditambahkan Bensouda.
Mampu Berbuat Lebih Banyak
Karena berasal dari Afrika, Fatou Besouda dianggap sebagai orang yang paling cocok menjadi penerus Ocampi. Terutama karena sampai sekarang, sebagian besar pengadilan ICC diigelar terhadap tersangka dari Afrika. Profesor Kai Ambos, kepala bagian Hukum Pidana Luar Negeri dan Internasioanl di Universitas Göttingen, Jerman, mengenal secara pribadi ketua jaksa ICC baru ini. Kai Ambos mengagumi kemampuan Bensouda dalam menghadapi orang. Sebagai perempuan dan yang berasal dari Afrika, Bensouda memiliki arti penting bagi legitimasi ICC dan cara bijaksana yang dimilikinya mendatangkan hormat baginya. Demikian dikatakan Kai Ambos.
Menurut Kai Ambos, Bensouda akan mampu bertugas dengan baik sebagai ketua jaksa. Sebagai wakil Ocampo, Bensouda mengenal dengan baik para jaksa penuntut dan juga mengetauhi langkah salah apa yang pernah diambil Ocampo. “Bensouda mendapat informasi yang baik mengenai masalah yang dihadapi jaksa penuntut. Oleh karenan ia akan mampu berbuat lebih baik daripada Ocampo. Meskipun banyaknya kritik terhadap kinerja ICC, namun reputasi Bensouda tetap bersih. Ini juga menjadi alasan, kenapa negara-negara anggota ICC menyetujui pada bulan Desember 2011 untuk memilih Bensouda sebagai pengganti Ocampo.
Di bawah pimpinan Ocampo, ICC banyak mendapat kritikan: mengapa mantan pemimpin pemberontak Kongo Thomas Lubangga dan mantan Presiden Lieberia Charles Taylor baru tahun ini dijatuhi hukuman. Bukan mengenai hal itu saja Ocampo dikritik. Menurut Kai Ambos, gaya kepemimpinan Ocampo yang kontroversial telah menyebababkan pengunduran diri orang-orang penting di ICC. Juga kelemahan Ocampo dalam mengambil keputusan sering mendapat kecaman.
Pengadilan Putih terhadap Afrika
Negara-negara Afrika anggota ICC menyambut dengan gembira bahwa ICC kini dipimpin oleh seorang pengacara berpengalaman yang sangat mengenal Afrika. Karena hampir semua kasus yang diproses ICC berhubungan dengan Afrika: termasuk kasus Presiden Sudan Omar al-Bashir, mantan Wakil Presiden Kongo Jena-Piere Bemba dan mantan diktator Libya yang telah tewas Muammar al-Gaddafi. Namun banyak pihak yang mempertanyakan kenapa hanya pelaku kejahatan dari Afrika saja yang duduk di bangku terdakwa. Banyak pihak menganggap bahwa Pengadilan Kejahatan Internasional didirikan sebagai “Pengadilan Putih” untuk melakukan perhitungan dengan orang Afrika. Fatou Bensouda menepis anggapan ini: Perang melawan impunitas bukanlah kepentingan pasca-kolonial. “Perang ini mendapat dukungan dari negara-negara Afrika, dan juga melibatkan Afrika.“
Sampai sekarang lebih dari 30 negara Afrika telah menjadi anggota ICC. Hampir sepertiga dari hakim ICC berasal dari Afrika. Ini mencerminkan tanggung jawab besar yang dipikul Afrika. Tidak ada benua lain yang harus menyaksikan banyaknya korban jiwa jatuh akibat tidak adanya lembaga pengadilan dan akibat impunitas. Tidak ada tempat lain di dunia yang dalam beberapa dekade terakhir dilanda begitu banyaknya perangan dan kekerasan, yang menyebabkan begitu banyaknya korban tewas dan pengungsi.
“Satuta Roma: satu perjanjian yang menetapkan pendirian Pengadilan Kejahatan Internasional ICC. Perjanjian ini diputuskan di Roma, Italia, pada tanggal 17 Juli 1998 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli 2002.