Dua bulan terakhir tahun ini menjadi saksi tentang antrean panjang menuju kekuasaan. Pertama adalah bulan November, yang ditandai dengan kembalinya Habib Rizieq Shihab (HRS), yang disambut gegap gempita segenap pendukungnya. Mirip sambutan bagi Presiden Soekarno saat menginjakkan kaki kembali di Jakarta pada Januari 1950, setelah sekitar empat tahun tinggal di Yogya.
Kedua adalah bulan Desember, terkait diselenggarakannya pilkada serentak di sejumlah kota. Metafora yang paling pas untuk menggambarkan Indonesia hari ini adalah suasana Stasiun Gambir saat menjelang lebaran,ketika belum dikenal transaksi tiket secara online, antrean calon pemudik sampai mengular di halaman stasiun.
Figur HRS sebenarnya hanya bergema di sekitaran Jabodetabek, dan sebagian Jabar, itu sebabnya kita belum melihat, apakah kehadirannya berdampak signifikan bagi sejumlah kontestan dalam pilkada serentak awal Desember ini. Selintas memang tidak ada hubungan kasualitas, antara HRS dengan para calon pimpinan daerah itu, namun mereka sedang mendayung pada muara yang sama, yakni mahligai kekuasaan.
Berjarak dengan kekuasaan
Bagi orang yang belum pernah berkuasa, bisa jadi memang kurang bisa memahami, mengapa ada tipe manusia yang begitu bernafsu pada kekuasaan. Ada beberapa komunitas yang sejak awal memiliki keberanian mengambil jarak dengan kekuasaan, seperti komunitas seniman Malioboro (Yogyakarta) pada dekade 1970-an, dan untuk masa sekarang bisa disebut Komunitas Lima Gunung (Jateng), atau generasi milenial yang rutinmengikuti aksi Kamisan di sejumlah kota.
Dalam konteks masyarakat sekarang, komunitas seperti itu bisa jadi tekesan anomali, namun setidaknya telah memberi pelajaran, bahwa kekuasaan (dan harta) bukanlah segalanya, menjadi rakyat biasa adalah keniscayaan. Mengapa harus malu menjadi rakyat biasa, ketika banyak penguasa di negeri ini, termasuk anggota parlemen, hanya menjadi sasaran bullying publik di media sosial.
Begitu juga sebaliknya, bagi yang pernah merasakan (kekuasaan) tentu ingin merasakannya kembali. Benar, kekuasaan ibarat candu, yang menimbulkan ketergantungan. Kita menjadi paham sekarang, mengapa elemen Orde Baru masih berupaya untuk kembali berkuasa, terutama anak-anak mantan Presiden Soeharto. Resistensi publik bukanlah halangan bagi mereka untuk terus berikhtiar (berkuasa) kembali.
Bagi kawasan dengan potensi pertambangan besar, seperti di Morowali (Sulteng), Konawe (Sultra), Halmahera (Malut), dan seterusnya, menjadi kepala daerah (bupati) memang sangat menggiurkan dalam aspek kesejahteraan. Sementara menjadi bupati atau wali kota di Jawa, daya tariknya lebih pada aspek seremonial dan gaya hidup, karena para calon yang maju (termasuk petahana), umumnya hidupnya sudah mapan secara ekonomi.
Itu sebabnya bagi mereka yang bertarung di pilkada (khususnya) di Jawa, motivasi untuk maju kadang terkesan agak unik, yaitu agar bisa menikmati perjalanan dengan pengawalan voorijder, disertai raungan sirene yang bikin kaget ibu-ibu bakul di pasar. Bagi yang sering pergi ke daerah pasti sempat melihat, di tengah jalanan yang sepi, para penguasa daerah itu tetapminta dikawal, bahkan tetap menerobos saat lampu merah menyala. Tindakan “aneh” seperti itu dilakukan dengan sadar, karena privelese seperti itulah, yang mendorong untuk terus berkuasa selama mungkin.
Mungkin inilah yang disebut anakronisme sejarah, ketika ada pertemuan dua nilai dari dua rezim yang berbeda, yaitu nilai otoritarian rezim Orde Baru, bertemu dengan mental orang bawahan (inferior) warisan rezim kolonial. Rezim Orde Baru mewarisi megalomania bagi para pemimpin kiwari, sementara bawahan mengadopsi mental inferior dari rezim kolonial. Menjadi hal biasa, bila para pemimpin senang disanjung-sanjung secara berlebihan, sementara bawahan tetap terpaku dalam mentalitas bersimpuh di hadapan atasan. Kira-kira dua nilai inilah yang menjadi titik persinggungan antara figur HRS dan para kontestan yang maju pilkada.
Figur HRS sendiri bisa diperiksa melalui respons Kapolri dan Pangdam Jaya ( representasi TNI). Pengorbanan Polri terlalu mahal ketika harus memecat dua kapolda-nya. Salah satu kapolda (Kapolda Jabar), adalah mantan Kepala Korps Brimob, berarti adalah jenderal pilihan. Bagaimana mungkin seorang mantan komandan satuan legendaris, harus dikorbankan hanya untuk seorang HRS, yang rekam jejaknya sendiri sebagai pimpinan ormas masih “abu-abu”. Menilik fakta sejarah, ormas FPI(Front Pembela Islam) dulu berdiri juga atas prakarsa elite militer dan polisi, di masa transisi pergantian rezim tahun 1999.
Sementara tindakan Pangdam Jaya, dengan cara menurunkan poster, dan memberi peringatan keras pada FPI, lebih bisa diterima nalar, terlepas perdebatan soal regulasinya. Melalui tindakan Pangdam Jaya, publik sedikit dibantu dalam cara memandang HRS. Sejatinya HRS sama saja dengan tokoh spiritual yang lain, seperti Rhoma Irama atau Aa Gym, namun masalahnya HRS sudah terlalu jauh masuk ke ranah politik.
Belajar dari Harmoko
Para pemburu kekuasaan hari ini, ada baiknya belajar dari Harmoko, terutama dalam hal kesabaran. Politisi sekarang umumnya ingin segera cepat-cepat meraih kekuasaan.Tidak masalah pula bila prosesnya berjalan secara instan, serta mengabaikan segala etika dalam berpolitik. Soal bagaimana performa mereka nanti, sungguh di luar imajinasi, yang penting berkuasa dulu. Kekuasaan benar-benar menjadi obsesi.
Salah satu tokoh nasional yang bisa diteladani dalam hal kesabaran berpolitik adalah Harmoko, mantan Menteri Penerangan (1983-1998). Dari Harmoko kita bisa belajar, bagaimana kekuasaan atau jabatan adalah soal garis tangan, sehingga tidak perlu diburu dengan tergopoh-gopoh.
Di masa Orde Baru dulu, Harmoko acapkali dipandang rendah (underestimate) oleh para intelektual oposan Orde Baru, termasuk para jurnalis terkemuka saat itu. Walau begitu, kiranya tetap ada yang bisa kita pelajari dari Harmoko. Tentu ada yang spesial dari dirinya, kalau tidak mana mungkin bisa menjadi Menpen tiga periode, kemudian dilanjutkan sebagai Ketum Golkar dan Ketua MPR.
Sekadar perbandingan, bisa kita sebut nama seperti Adi Sasono (almarhum) atau Rizal Ramli, tokoh oposan Orde Baru, dan jelas lebih kokoh secara intelektual, namun ketika tiba saatnya menjadi menteri, durasinya hanya seumur jagung. Dalam hal ini termasuk juga Letjen Soejono (Akmil 1965), yang tinggal selangkah lagi menuju KSAD, masih bisa meleset juga pada menit-menit terakhir, sementara Harmoko berhasil “lolos” terus.
Kita boleh saja menganggap, figur semacam Harmoko ada kekurangan secara intelektual, namun kesabaran dan kematangannya sebagai politisi patut diacungi jempol. Kesabaran dan kematangan seperti itulah yang tidak dimiliki politisi kiwari, terutama dari generasi yang lebih baru. Politisi generasi baru seperti Puan Maharani, apakah sudah cukup siap memimpin negeri, ketika publik melihat saat menjadi Ketua DPR saja, masih sempat-sempatnya sibuk mengurus mike.
Saya pribadi khawatir, Puan akan mengulangi pengalaman Mbak Tutut di masa rezim Soeharto dulu, yang terlalu dipaksakan untuk berkuasa, sementara kompetensi yang bersangkutan belum tentu memadai. Puan hanyalah salah satu contoh, masih banyak figur politisi muda lain yang karier politiknya dipacu secara instan, karena faktor status orang tua.
Untuk memburu kematangan dan berlatih kesabaran, para politisi muda yang digadang-gadang orang tuanya tersebut, bisa menepi sejenak (sabbatical) dari keramaian politik negeri ini. Salah satu cara yang bisa dipilih adalah dengan menjadi fellow atau studi lanjut pada universitas ternama di luar negeri. Lebih bagus lagi bila mengambil kajian humaniora. Saya kira biaya tidak jadi masalah. Dengan cara seperti itu, rasanya mereka akan lebih siap secara mental dan lebih matang dalam kepribadian, ketika tiba saatnya untuk menerima estafet kekuasaan dari orang tua masing-masing.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.