Filipina dan UE Bahas Hubungan Ekonomi dan Isu Keamanan
2 Maret 2023Kunjungan subkomite parlemen Eropa tentang hak asasi manusia ke Manila, Filipina, tampaknya merupakan langkah menuju pemulihan hubungan Uni Eropa-Filipina, sebagai awal untuk memulai kembali pembicaraan yang macet menuju perjanjian perdagangan bebas.
Hubungan Uni Eropa (UE) dan Filipina memang memburuk dalam beberapa tahun terakhir di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, yang sering mengkritik Brussel karena UE dengan tegas mengecam "perang narkoba"-nya.
Selama pemerintahan Duterte, pemerintah Filipina mengatakan sekitar 6.000 orang tewas dalam "perang narkoba", tetapi kelompok-kelompok hak asasi manusia melaporkan jumlah korban tewas yang jauh lebih tinggi. Uni Eropa juga menuduh Duterte melemahkan hak-hak politik dan hak asasi manusia secara keseluruhan. Sedangkan pembicaraan perdagangan bebas UE-Filipina dimulai pada akhir 2015, tetapi negosiasi terhenti pada Februari 2017.
Sekarang Presiden Ferdinand Marcos Jr. berjanji untuk memulihkan hubungan baik dengan negara-negara demokratis. Dengan AS, Filipina membuat kesepakatan keamanan dan akan mengadopsi kebijakan luar negeri yang tegas dalam perselisihan dengan Cina tentang Laut Cina Selatan.
Kepada Uni Eropa, Marcos Jr. berjanji untuk memperbaiki citra negaranya tentang hak asasi manusia, dan memahami bahwa perbaikan itu adalah prasyarat untuk meningkatkan hubungan ekonomi. Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar ke-empat bagi Filipina.
Tanda-tanda perbaikan hubungan
Situasi hak asasi manusia "tidak seburuk pada masa pemerintahan Duterte.... Tapi tantangannya sekarang adalah untuk memastikan akuntabilitas dan menyelidiki semua pelanggaran sebelumnya," kata Carlos H. Conde, peneliti senior di Human Rights Watch (HRW) divisi Asia.
Hannah Neumann, wakil ketua subkomite Parlemen Eropa dan anggota delegasi yang berkunjung ke Manila, juga mengatakan kepada media lokal bahwa di bawah Marcos Jr. situasi hak asasi manusia "lebih baik daripada di bawah Presiden Duterte."
Kepada DW dia menjelaskan, kunjungan delegasi UE "dilakukan pada saat yang tepat untuk menilai sikap yang lebih konstruktif dari pemerintahan baru, dan untuk mengirimkan pesan yang jelas bahwa kami mengharapkan implementasi dari banyak janji yang dibuat.”
"Tangan (kami) terulur untuk pembicaraan perdagangan," kata Hannah Neumann. "Tetapi perdagangan dengan UE bertumpu pada dua pilar: akses pasar dan penerapan standar sosial, hak asasi manusia, dan lingkungan. Dan yang satu selalu terkait dengan yang lain. Ini tidak akan berubah di bawah skema baru apa pun," tegasnya.
Yang lebih mendesak bagi Manila adalah posisi negara itu dalam apa yang disebut Generalized Scheme of Preferences Plus (GSP+) Uni Eropa. Akses GSP+ Filipina akan berakhir tahun ini, tetapi Menteri Perdagangan Filipina Alfredo Pascual mengatakan kepada wartawan akhir pekan lalu, dia optimis statusnya akan diperbarui, karena para pejabat Eropa "menerima" bahwa pemerintah Manila sekarang menunjukkan peningkatan hak asasi manusia dan liberalisasi ekonomi.
Momentum perdagangan dan isu keamanan
Sebagian besar analis berpendapat, UE akan memperbarui status GSP+ Filipina, dan kemungkinan juga akan memulai lagi pembicaraan menuju perjanjian perdagangan bebas. Negosiasi perjanjian serupa dengan Thailand sudah disetujui awal Februari dan bulan Januari lalu perundingan Uni Eropa dengan Indonesia sudah memasuki putaran ke-13.
Presiden Kamar Dagang Eropa di Filipina Lars Wittig mengatakan Manila juga baru-baru ini telah memberlakukan "reformasi ekonomi besar", termasuk amandemen Undang-Undang Liberalisasi Perdagangan Ritel dan Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Ini "menunjukkan bahwa Filipina terbuka dan siap untuk (menerima) investasi yang lebih banyak."
Presiden Marcos Jr. juga ingin menghidupkan kembali aliansi keamanan negaranya dengan Eropa, terutama karena sekarang dia bermaksud mengambil sikap lebih tegas terhadap Cina daripada pendahulunya Duterte, yang dulu mendekati Beijing dan berharap akan mendapat keuntungan ekonomi dari langkah itu.
Agenda keamanan UE sendiri di Asia Tenggara dan kawasan Indo-Pasifik masih belum jelas. Meskipun Brussel ingin mengambil peran yang lebih aktif, UE sendiri tidak memiliki kekuatan militer terpadu. Dua anggotanya, Jerman dan Prancis, sudah menyatakan ambisi keamanan mereka di Indo-Pasifik, namun banyak pembicaraan kini terhenti akibat perang di Ukraina.
"Bagi Filipina, dukungan politik yang kredibel dari UE dan Jerman dalam forum internasional untuk masalah Laut Cina Selatan sangat penting. Ini memperkuat posisi hukum Manila melawan Beijing,” kata Alfred Gerstl, pakar hubungan internasional Indo-Pasifik di Universitas Wina, Austria. (hp/yf)