Film tentang Golda Meir, PM Perempuan Israel yang Ikonik
25 Agustus 2023"Golda" adalah film biografi baru tentang perdana menteri perempuan Israel yang pertama dan satu-satunya hingga saat ini. Dia dijuluki sebagai "Iron Lady of Israel" dan menjabat sebagai kepala pemerintahan antara tahun 1969 dan 1974.
Sosok Golda Meir diperankan oleh Helen Mirren. Film ini sudah tayang perdana di Festival Film Internasional Berlin "Berlinale" pada Februari 2023 dan saat ini sudah dirilis di bioskop-bioskop di seluruh dunia.
Film ini tidak menggambarkan keseluruhan hidup atau karier sang politisi, melainkan fokus pada peristiwa Perang Yom Kippur. Perang tersebut merupakan konflik mematikan antara Israel dan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, yang terjadi mulai 6 Oktober dan berakhir 24 Oktober 1973.
"Saya tidak berpikir cerita sejarah hidup bisa berfungsi baik untuk film bioskop. Dan agak sulit ketika Anda harus menggunakan pemeran yang berbeda untuk memerankan karakter pada usia yang berbeda," kata penulis skenario Nicholas Martin, yang mencetuskan ide tersebut.
Martin memutuskan untuk fokus pada Perang Yom Kippur karena dia merasa bahwa "semua pengalaman hidup Golda mengarah ke momen ini."
Keluarga Yahudi melarikan diri dari Kyiv ke AS
Lahir 3 Mei 1898 di Kyiv di bawah Kekaisaran Rusia, Golda Mabovitch dan keluarganya berimigrasi ke Wisconsin, Amerika Serikat, tahun 1906 untuk menghindari pembantaian kaum Yahudi yang saat itu sudah menggejala. Dalam otobiografinya, Golda Meir mengenang bahwa salah satu ingatannya yang paling awal adalah tentang ayahnya yang menutup rumah mereka di tengah kerusuhan anti-Yahudi.
Film ini juga mengacu pada pengalaman masa kecil itu. Selama panggilan telepon dengan Henry Kissinger (diperankan oleh Liev Schreiber), politisi Yahudi yang pada saat itu baru saja diangkat sebagai Menteri Luar Negeri AS oleh Richard Nixon, Golda Meir membahas syarat-syarat gencatan senjata.
Ketika Kissinger menyebutkan pengaruh kuat Uni Soviet dalam konflik tersebut, dia menjawab: "Izinkan saya memberi tahu Anda tentang orang Rusia, Henry. Ketika saya masih kecil di Ukraina, pada waktu Natal, ayah saya akan menutup jendela rumah kami dengan papan untuk melindungi kami dari orang yang akan mabuk dan menyerang orang Yahudi. Mereka akan memukuli orang Yahudi sampai mati di jalan, sekedar untuk bersenang-senang. Ayahku akan menyembunyikan kami di ruang bawah tanah. Dan kami akan tetap diam, berharap para pembunuh akan melewati kami. "
Golda Meir kemudian menegaskan, bahwa apa pun yang terjadi, dia tidak akan takut lagi pada Rusia: "Saya bukan gadis kecil yang bersembunyi di ruang bawah tanah," tegasnya.
"Salah satu kekuatan Golda adalah dia dibesarkan dengan pemahaman bahwa dunia adalah tempat yang tragis yang didorong oleh kekerasan," jelas Nicholas Martin.
Perang Yom Kippur, trauma besar Israel
Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak pada 6 Oktober 1973 bertepatan Hari Yom Kippur, yang merupakan hari paling suci dalam kalender Yahudi.
Pasukan Pertahanan Israel tidak siap dan kalah jumlah. Meskipun demikian, Israel akhirnya memenangkan perang, sebuah kemenangan yang harus dibayar mahal. Selama periode konflik bersenjata, sekitar 2.800 tentara Israel tewas dan sedikitnya 8.000 lainnya luka-luka. Bagi negara kecil dan muda itu, hal ini merupakan "trauma yang luar biasa,” kata Nicholas Martin.
Di dunia Barat, Golda Meir secara luas dikenang sebagai ikon abad ke-20: Seorang perempuan yang mendobrak batasan gender, pelopor perjuangan Zionis, dan pemimpin yang berdedikasi dengan selera humor yang tinggi. Namun, citranya di Israel diselimuti kontroversi. "Reputasi Golda, namanya, terjebak dengan trauma itu," jelas Nicholas Martin. Bahkan sampai bertahun-tahun kemudian, orang Israel akan mendatangi anggota keluarga Golda Meir yang masih hidup di ruang publik dan mulai mencela mereka tentang kegagalan Golda Meir selama lima tahun sebagai perdana menteri.
Tak lama setelah perang, sebuah penyelidikan yang disebut Komisi Penyelidikan Agranat dibentuk untuk menentukan secara lebih tepat siapa yang harus disalahkan atas kegagalan mengantisipasi dan bereaksi dengan baik terhadap serangan mendadak Mesir dan Suriah. Sepuluh hari setelah komisi menerbitkan laporannya, Golda Meir mengundurkan diri. Namun, sebagian besar detail penyelidikan itu tetap dirahasiakan selama bertahun-tahun.
(hp/yf)