Prahara di Surga Maladewa
9 Maret 2016Dengan hampir semua pimpinan oposisi mendekam di penjara atau mengasingkan diri di luar negeri, demonstrasi diharamkan dan pengadilan menjadi surga ketimpangan, Maladewa bergerak mundur ke delapan tahun silam, dan kembali menjadi negara otokratis yang membungkam suara-suara kritis.
Sejak berkuasa 2013 silam, Presiden Yamin Abdul Gayoom sibuk membetoni kekuasaannya dengan memberangus oposisi. Bekas Presiden Muhammad Nashid yang juga bekas aktivis demokrasi divonis 13 tahun penjara dengan tudingan terorisme. Nasib serupa dialami lusinan elit politik lain yang bersebrangan dengan penguasa.
Nyatanya saudara tiri bekas diktatur Maumun Abdul Gayoom itu banyak berbuat untuk mengembalikan model kekuasaan otokratis yang pernah memenjara Maladewa selama 30 tahun masa kekuasaan saudaranya itu.
"Jika pemerintah tidak membiarkan oposisi berfungsi, demokrasi menjadi cacat. Itulah realita di Maladewa," tutur Abbas Faiz, pengamat politik di Amnesty International.
Islamisasi Lewat Jalur Politik
Namun gejolak di Male juga membuahkan ancaman lain yang dilewatkan para elit politik. Sejak beberapa tahun terakhir ideologi radikal Islam tumbuh subur dan dimanfaatkan oleh kelompok teror Islamic State, Al-Qaida dan Front al-Nusra untuk merekrut pejuang-pejuang baru.
Hingga kini sekitar 100 warga Maladewa tercatat telah bergabung dengan berbagai kelompok teror di Suriah dan Irak. Pemerintah Maladewa pun banyak mendulang kritik jiran seperti India lantaran dinilai membiarkan gelombang radikalisasi tanpa berusaha membendungnya.
Penguasa negeri 1000 Atol tersebut bukan tak berperan mendorong radikalisme Islam. Sejak era kediktaturan Maumun Abdul Gayoom, Islam digunakan sebagai komoditas politik. Serupa dengan Yamin. Sang presiden gemar menggunakan isu agama untuk "membumbui retorika anti barat yang sebenarnya diarahkan kepada kelompok oposisi", tulis pengamat politik Victor Brechenmacher dari Brown University, Amerika Serikat.
Radikalisasi di Jalan dan Penjara
Geliat Islam radikal di Maladewa juga berpangkal pada wajah kelam lain politik Maladewa. Hampir semua elit politik atau partai memelihara geng jalanan atau kelompok preman. Terutama politisi konservatif sering menggunakan preman buat menyerang aktivis demokrasi atau jurnalis yang dinilai liberal.
Tahun 2012 silam seorang anggota parlemen dan ulama moderat Maladewa dibunuh di depan rumahnya sendiri. Agustus tahun lalu seorang bloger yang mengkampanyekan toleransi untuk kaum LGBT. Rilwan Abdullah dipukuli oleh sebuah geng kriminal hingga babak belur.
"Para politisi itu membutuhkan kami buat mengintimidasi musuh atau menghentikan demonstrasi. Hampir semua gang berhubungan dengan elit politik," ujar Ibrahim Nafeez, pemimpin geng Buru di ibukota Male kepada Guardian.
Didera kemiskinan dan pengangguran, geng jalanan di Male menjadi santapan empuk kelompok radikal Islam. Belum lama ini harian Inggris Guardian melaporkan belasan anggota geng Kuda Henveiru yang terkait terhadap pembunuhan Rilwan Abdullah, dinyatakan telah bergabung dengan Islamic State di Suriah.
Menurut Ibrahim Nafeez, radikalisasi tidak cuma terjadi di jalanan, tetapi ironisnya juga di penjara. "Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali membaca Al-Quran atau buku-buku agama. Di penjara juga ada banyak tahanan yang berideologi militan dan mengayomi yang muda," tuturnya.
rzn/ap (ap,bpr,guardian,timesofindia, haaverudaily)