1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sejarah Kelam Kolonialisme Jerman Kembali Dibahas

24 Juni 2020

Warisan kolonial kekaisaran Jerman telah lama diabaikan oleh pemerintah dan publik. Namun di tengah gelombang aksi protes anti-rasisme, orang kembali membahas simbol-simbol kolonial Jerman yang masih tersisa.

https://p.dw.com/p/3eDZZ
Deutsche Kolonialbeamte in Lome Togo
Foto: picture-alliance/akg-images

Dibandingkan dengan kekuasaan kolonial Eropa lainnya, sejarah kolonial Jerman memang relatif singkat. Meskipun beberapa negara bagian Jerman dan beberapa perusahaan swasta telah lebih dulu menjalankan proyek-proyek kolonial di luar negeri, secara resmi masa kolonial Kekaisaran Jerman baru dimulai pada tahun 1884. Pada Konferensi Berlin tahun 1884-1885, perwakilan dari 14 negara dan Kekaisaran Jerman bertemu atas undangan Otto van Bismarck untuk membagi-bagi daerah kolonial mereka di Afrika.

Masa kolonial Kekaisaran Jerman hanya berlangsung sampai akhir Perang Dunia I, ketika Jerman menyerahkan kendali atas koloninya di Afrika, Oceania dan Asia Timur kepada pihak yang menang perang. Sekalipun singkat, masih banyak jejak era kolonialisme Jerman yang sekarang bisa ditemukan, baik di Jerman maupun di luar negeri.

Perhitungan dengan ''tokoh-tokoh sejarah"

Banyak jalan dan lapangan utama di Jerman yang menyandang nama para pemimpin era kolonial, misalnya Carl Peters, Adolf Lüderitz, Gustav Nachtigal dan Jenderal Paul von Lettow-Vorbeck. Yang disebut terakhir adalah komandan daerah Afrika Timur Jerman. Sampai beberapa tahun lalu, namanya menjadi nama beberapa kamp-kamp militer dan lembaga pendidikan.

Bad Segeberg | Lettow-Vorbeck-Kaserne
Asrama militer Lettow-Vorbeck dekat HamburgFoto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini

Di kota kecil Bad Lauterberg di Jerman tengah juga ada patung peringatan Hermann von Wissmann, mantan gubernur Afrika Timur Jerman. Di kota Stendal ada patung Gustav Nachtigal, yang menjabat sebagai komisioner untuk protektorat Afrika Barat Jerman, sekarang wilayah Kamerun dan Togo.

Di tengah gelombang aksi anti rasisme yang meluas di Amerika Serikat dan Eropa, kini muncul lagi diskusi, bagaimana Jerman harus memperlakukan masa lalu kolonialnya. Apa yang harus dilakukan dengan semua patung-patung itu? Bagaimana dengan nama-nama jalan? Apa yang harus dibuat dengan seni rampasan kolonial yang tersebar di banyak museum Jerman?

Yang hingga kini dianggap sebagai kejahatan kolonial terbesar Jerman adalah pembantaian etnis Herero, yang dikenal sebagai peristiwa genosida Herero di Afrika Barat Daya, dan peristiwa pemberontakan Maji Maji di Afrika Timur. Pertanyaannya, haruskah Jerman sekarang menyatakan permohonan maaf secara resmi, dan perlukah melakukan pembayaran reparasi sebagai bagian dari kompensasi?

Saatnya Jerman membahas masa lalu kolonialnya

Salah satu contoh bagaimana sejarah dapat dikaburkan adalah kuburan Lothar von Trotha di kota Bonn. Sebagai komandan pasukan Jerman di Afrika Barat Daya, dia tahun 1904 mengeluarkan apa yang disebutnya sendiri sebagai "perintah pemusnahan". Sasarannya adalah ''para pemberontak Herero" di wilayah yang sekarang menjadi negara Namibia. Aksi militer itu berujung pada aksi penghancuran dan pembunuhan mengerikan. Namun makam Lothar von Trotha di Bonn sama sekali tidak menyebutkan masa lalunya dan operasi pembantaian massal yang diperintahkannya.

Namibia Windhuk | Denkmal zur Erinnerung an den Völkermord an den Herero und Nama
Monumen peringatan pembantaian Herero di Winhoek, namibiaFoto: picture-alliance/dpa/J. Bätz

Banyak sejarawan menyebut pembantaian Herero sebagai genosida pertama abad ke-20, walaupun pemerintah Jerman menolak menyebutnya demikian. Awal Juni lalu, Presiden Namibia Hage Geingob mengatakan di Windhoek, dia yakin bahwa Jerman sekarang akan bersedia mengeluarkan permohonan maaf resmi. Sejauh ini, pemerintah Jerman menolak prospek pembayaran reparasi, dan mengatakan bahwa Namibia selama ini telah mendapat banyak bantuan pembangunan dari Jerman.

Namun partai-partai politik mulai melakukan ''pendekatan kritis" terhadap masa lalu kolonial Jerman, dengan satu pengecualian: partai ultra kanan AfD. Partai AfD mengatakan, selama ini sudah terlalu banyak ''pengkultusan dosa-dosa" Jerman yang sering dimanfaatkan pihak lain untuk menekan negara dan bangsa Jerman.

Komisaris Budaya Gereja Protestan Jerman, Johann Hinrich Claussen, menyambut ''semangat protes" anti-rasisme dan suara-suara kritis yang mempertanyaan kembali sejarah kolonialisme Jerman. Dia mengakui, memang tidak mungkin membandingkan debat di Jerman dengan debat serupa di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, namun inilah saat yang tepat bagi masyarakat Jerman "menghadapi masa lalu kolonialnya". Tapi dia juga mengingatkan, masih ada jalan panjang yang harus ditempuh.

(hp/pkp)