"Can't I have my own opinion?”, sergah presiden ketiga Republik Indonesia B.J. Habibie ketika kehendak untuk menyampaikan maaf atas terjadinya peristiwa perkosaan massal pada Tragedi Mei 1998 coba diinterupsi oleh Jendral Sintong Panjaitan yang menyatakan: "apakah tidak sebaiknya hal tersebut dibahas terlebih dahulu di kabinet?”
Presiden ketiga Republik Indonesia itu pun berketetapan hati untuk menyampaikan penyesalan dan permohonan maaf atas kekerasan yang (terutama) dialami kaum perempuan dalam Tragedi Mei 1998. Hal tersebut dilakukan seusai berjumpa dengan para aktivis perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan yang dipimpin Prof DR. Saparinah Sadli pada tanggal 15 Juli 1998.
Dalam buku berjudul "Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan” yang ditulis oleh Dewi Anggraeni pada tahun 2014, secara runtut digambarkan kronologi pertemuan B.J. Habibie dengan para aktivis perempuan yang menyampaikan bukti terjadinya perkosaan massal dan serangan seksual terutama pada etnis Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998.
B.J. Habibie, yang tumbuh dewasa dan matang di Jerman dimana sejarah kekejaman Nazi menjadi memori publik, tentu saja secara spontan terpukul dan marah atas peristiwa tragis tersebut. Kemarahan inilah yang kemudian mendorongnya agar ada kebijakan dan institusi yang bekerja efektif untuk upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan Indonesia. Momentum inilah yang menjadi inisiatif awal kelahiran Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Rasa marah B.J. Habibie pun sebenarnya belum tuntas dan menemukan jawabannya. 19 tahun kemudian, pada saat peringatan Tragedi Mei 1998 di tanggal 8 Mei 2017, B.J. Habibie pun menanyakan kembali kelambanan penyelesaian kasus Tragedi Mei 1998. B.J. Habibie kepada Komnas Perempuan bahkan meminta salinan dokumen-dokumen penyelidikan kasus Tragedi Mei 1998 untuk diserahkan langsung ke Presiden Jokowi. Entah apakah permintaan tersebut sudah dilakukan atau belum.
Langkah B.J. Habibie ini tentu bukan langkah politik yang tanpa resiko
Pihak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia merupakan pihak yang tak nyaman pada beberapa langkah mengejutkan yang diambil oleh B.J. Habibie. Selain itu, B.J. Habibie juga harus berhadapan dengan pendukungnya, terutama dari unsur Islam politik, yang kerap melakukan penyangkalan atas terjadinya perkosaan massal pada Tragedi Mei 1998.
Ternyata B.J. Habibie bukanlah fotokopi dari Soeharto seperti yang dicemaskan banyak pihak. Meski semasa menjadi Menristek dan wakil presiden, posisi B.J. Habibie seperti layaknya anak emas atau putra mahkota, namun ternyata ketika menjabat sebagai Presiden RI Ketiga hasil penunjukan langsung Soeharto yang lengser, putra kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan ini mampu melepaskan diri dari bayang-bayang Soeharto.
Tak berhenti dengan menyetujui pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Habibie juga berani untuk membuka diri dengan mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Radhika Coomaraswamy untuk menggali informasi mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan terhadap perempuan, bukan hanya yang terjadi dalam Tragedi Mei 1998 tetapi juga di daerah konflik seperti Aceh, Papua dan Timor Leste.
Langkah ini makin membuat pihak tentara tidak nyaman. Namun bagi Habibie langkah ini sebagai sesuatu yang tak terhindarkan karena dengan keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi, menutupi kejahatan serius yang menimbulkan korban massif sia-sia untuk ditutup-tutupi.
Menjadi teladan
Masih terkait dengan Tragedi Mei 1998, Habibie juga mulai berani mempreteli sejumlah instrumen politik yang melanggengkan diskriminasi politik dan memarginalisasi kelompok minoritas. Pada tanggal 5 Mei 1999, B.J. Habibie menerbitkan Inpres No. 26 Tahun 1999 yang melarang penggunaan istilah pribumi dan non pribumi yang memiliki potensi diskriminasi terutama untuk kaum minoritas.
Sebelumnya, melalui Inpres No. 5 Tahun 1999, Habibie mengizinkan kembali pengajaran bahasa Mandarin, setelah sepanjang masa Orde Baru ada pelarangan untuk penggunaan dan pengajaran bahasa ini. Langkah ini menjadi pijakan peta jalan menuju upaya penghapusan diskriminasi rasial.
Komitmen serius Habibie pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan ini harusnya menjadi teladan bagi para pemimpin politik Indonesia sekarang ini, baik yang ada di eksekutif maupun legislatif. Dibutuhkan sosok yang bisa sigap, bertindak cepat dan mau mengambil resiko seperti Habibie ketika sekarang ini di parlemen terjadi pelambatan proses pembahasan legislasi terkait perlindungan perempuan, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ataupun Perubahan UU Perkawinan untuk meningkatkan batas usia minimal perkawinan demi pencegahan praktik perkawinan anak.
Selamat jalan Presiden Republik Indonesia Ketiga, B.J. Habibie. Warisanmu akan terus dikenang dan selalu menjadi penyemangat untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan Indonesia.
Penulis:
@wahyususilo
Pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kami tunggu komentar Anda di sini.