1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikLibya

Libya 10 Tahun Usai Intervensi NATO

19 Maret 2021

Sepuluh tahun lalu, NATO melancarkan serangan udara yang memaksa kejatuhan diktatur Muammar Gaddafi. Tapi harapan yang meluap cepat melayu akibat perang saudara berkepanjangan.

https://p.dw.com/p/3qo8n
Pasukan oposisi Libya merayakan kemenangan atas pasukan pemerintah di Benghazi
Pasukan oposisi Libya merayakan kemenangan atas pasukan pemerintah di Benghazi, menyusul bantuan serangan udara AS dan Inggris, Maret 2011.Foto: AP

Sepuluh tahun silam, nyala pemberontakan sejatinya membawa perubahan yang dinantikan. Pada Februari 2011, penduduk Libya tumpah ke jalan menjemput "Musim Semi Arab”, dan menyerukan kejatuhan bagi Muammar Gaddafi. 

Sang diktatur berkuasa sejak lebih dari 40 tahun, tepatnya sejak 1969. Padanya disematkan ragam kejahatan kemanusiaan paling brutal, dan sebabnya membibit dendam di banyak kalangan masyarakat. 

Tapi yang kemudian terjadi adalah kekacauan. Demonstran antipemerintah berhadapan dengan pendukung Gaddafi. Adapun militer ikut terpecah, ketika sebagian perwira tinggi menyebrang ke barisan oposisi.

Pada 17 Maret, gelombang pertumpahan darah di Libya mendorong Dewan Keamanan PBB memutuskan intervensi militer. Dua hari berselang, AS, Inggris dan Prancis mulai melancarkan serangan udara terhadap pasukan Gaddafi. Dan pada 31 Maret, NATO mengambilalih komando operasi.

Berkat serangan udara bertubi-tubi oleh NATO, pasukan oposisi Libya merebut kota kelahiran Gaddafi, Sirte, di bulan Oktober 2011. Pada tanggal 20, Gaddafi yang buron ditangkap dan dibunuh. Jasadnya diarak, sebelum dipajang di sebuah kamar pendingin untuk konsumsi publik.

Kematian Gaddafi awalnya diresapi sebagai sebuah babak baru bagi Libya. "Kami berharap, setelah kediktaturan selama berabad-abad, penduduk Libya bisa mengawali demokrasi yang damai untuk negerinya,” kata Menteri Luar Negeri Jerman, Guido Westerwelle, saat itu.

Namun optimisme itu berumur singkat. Ketika pasukan pemerintah takluk, Libya malah tenggelam dalam perang saudara. 

Dunia internasional, terlebih NATO, sebabnya dinilai "gagal menstabilkan Libya” dan memanfaatkan momentum untuk "membuat Libya menjadi negara demokratis,” kata Thomas Claes, Direktur Libya di Yayasan Friedricht-Ebert-Stiftung, di Tunisia.  "Tapi harus diakui, destabilisasi Libya disebabkan oleh kebijakan dan kejahatan pemerintah di era Gaddafi,” imbuhnya.

Damai lewat resolusi politik di Jenewa

Perang saudara yang meluluhlantakkan seisi negeri berakhir beberapa bulan silam lewat kesepakatan damai di Swiss. Semua pihak yang bertikai tidak hanya menyepakati gencatan senjata, tetapi juga membentuk pemerintahan transisi, dan mengalihkan pertikaian ke ranah politik

Dunia memahami, Libya selama perang menjadi medan proksi bagi kekuatan asing seperti juga Turki atau Rusia. Tanpa kesepakatan politik, negeri ini dikhawatirkan koyak layaknya Suriah. 

Peta jalan damai yang disepakati di Jenewa memberi batas waktu hingga Desember 2021 bagi pelaksanaan pemilu legislatif. Hingga saat itu, pemerintahan transisi harus merumuskan konstitusi baru dan menyepakati UU Pemilu. 

Meski disambut, terobosan damai di Libya membuahkan serangkaian masalah baru. Saat ini Perdana Menteri Abdel-Hamid Dbeibah, sedang dibalut tuduhan korupsi yang meruak sejak beberapa hari terakhir. Tudingan itu muncul dalam sebuah dokumen rahasia PBB. Di dalamnya dia dituliskan membeli suara delegasi dalam pemilihan di Jenewa. 

Dbeibah sendiri menepis dugaan tersebut. Tapi jika benar, kasus korupsi itu mengindikasikan bahwa sang perdana menteri ingin berkuasa melampaui masa jabatannya yang berakhir pada Desember, menurut Thomas Claes.

Negara kleptokrasi

Untuk pemerintahan transisi Libya, Dbeibah menyusun kabinet gemuk yang beranggotakan 30 menteri dan wakil menteri. Langkah itu diambil guna mengakomodasi kepentikan semua fraksi politik, duga Claes. 

Wilayah teritorial antara LNA, Pasukan Nasional Arab-Libya pimpinan Jendral Khalifa Haftar dan wilayah Pemerintah Persatuan Nasional (GNA) yang diakui PBB.
Wilayah teritorial antara LNA, Pasukan Nasional Arab-Libya pimpinan Jendral Khalifa Haftar dan wilayah Pemerintah Persatuan Nasional (GNA) yang diakui PBB.

"Kepentingannya bersumber pada uang. Setiap kelompok mendapat jatah kementerian yang menerima kucuran uang negara. Uang ini lalu disebar ke kalangan sendiri. Perkembangan ini menurut saya bisa menjadi visi yang realistis bagi Libya selama beberapa bulan atau beberapa tahun ke depan.”

Claes juga tidak menutup kemungkinan, bahwa anggota parlemen yang terpilih dalam pemilu 2014 akan berusaha mempertahankan mandatnya melampaui Desember 2021. Pun dalam hal ini dia mencurigai adanya niatan korupsi untuk membiayai kampanye, yang bisa membudaya di kalangan elit Libya.

"Jika ini terjadi, maka Libya akan berubah menjadi sebuah neara kleptokrasi, di mana korupsi menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan.”

Stabilitas dan perdamaian yang menjadi prioritas utama dalam membentuk masa depan Libya, bisa dijadikan sebagai pembenaran untuk menutup mata terhadap praktik korupsi. Tapi patut diingat, bahwa pemberontakan melawan Gaddafi dan intervensi NATO sepuluh tahun silam mengemban misi yang lebih tinggi. (rzn/vlz)