Harimau dan Manusia Dalam Fiksi Kita
4 Juli 2017Saat menghadiri rapat di suatu gedung kementerian, saya berjalan-jalan di sebuah mal yang sejuk. Ada satu stan yang menjual buku-buku berbahasa Inggris dengan harga miring. Saya memilih-milih buku dengan asyik lalu membeli beberapa. Salah satu di antaranya adalah sebuah buku yang kemudian saya hadiahkan kepada anak saya, Maura, yang sebentar lagi genap berumur 7 tahun.
Buku bergambar itu bercerita tentang seekor harimau yang bertingkah laku seperti manusia dan kelayapan ke rumah seorang gadis kecil. Mula-mula dia hanya ikut minum teh. Namun, karena masih lapar, dia lalu menyantap semua persediaan makanan di rumah itu hingga ludes. Buku itu mengingatkan saya pada sejumlah novel yang mengisahkan hubungan antara manusia dan harimau yang pernah saya baca.
Sosok harimau dan hubungan ajaib antara manusia dan harimau telah muncul dalam dunia fiksi kita jauh sebelum Eka Kurniawan menerbitkan Lelaki Harimau (2004) yang kini telah diterjemahkan ke sejumlah bahasa asing dan mendapat sambutan hangat di berbagai belahan dunia, bahkan meraih penghargaan internasional. Salah satunya bisa disebut serial 7 Manusia Harimau karya Motinggo Busye (1937-1999) yang lebih dikenal sebagai pengarang novel drama asmara pada 1960-an.
Bagai ungkapan populer "tak ada matinya”, novel horor laga 7 Manusia Harimau yang mula-mula terbit pada 1980-an belakangan diterbitkan ulang oleh penerbit Qanita. Di antara kisah-kisah magis tentang kaitan antara manusia dan harimau dalam khazanah fiksi kita, serial 7 Manusia Harimau memang bisa dibilang yang paling menonjol.
Jika Gabriel Garcia Marquez dan para penulis Amerika Latin yang muncul pada 1960-an dianggap sebagai perintis novel realisme magis dalam pentas sastra dunia, novel ini bisa disebut sebagai contoh novel realisme magis khas Indonesia yang membaurkan peristiwa fantastis dengan realitas sehari-hari.
Serial novel ini awalnya terbit dalam 10 jilid: Pantang Berdendam, Gadis Sakti, Murid Durhaka, Misteri Tirai Setanggi, Rahasia Kitab Tujuh, Aji Melati, Pendekar Wanita Buta, Amukan Pendekar Edan, Pendekar Ratu Kelabang, dan Pendekar Muka Aneh. Dalam terbitan Qanita, 4 jilid awal disatukan menjadi satu jilid tebal. Tampaknya, kesepuluh jilid itu akan diterbitkan sebagai 3 jilid tebal.
Antara Macondo dan Kumayan
Bila Marquez menciptakan kota fiktif bernama Macondo sebagai latar novel realisme magis Seratus Tahun Kesunyian (1967) yang legendaris itu, kisah 7 Manusia Harimau berlatar desa fiktif bernama Kumayan Jati di pedalaman Sumatra Selatan. Novel ini menceritakan sepak terjang sejumlah keturunan manusia harimau yang berkumpul di desa itu dengan segenap intrik, pertarungan, dan bumbu percintaan.
Seorang pemuda bernama Gumara datang ke Kumayan untuk menjadi guru selain mencari ayah kandungnya. Sejak hari pertama kedatangannya, ia sudah menghadapi hal-hal aneh. Kunjungannya ke Lebai Karat, tokoh setempat, membuat Gumara harus berhadapan dengan para harimau jejadian. Kemudian diketahui bahwa Gumara ternyata adalah anak di luar nikah Lebai Karat, salah satu manusia harimau, sehingga pantas saja dia pun memiliki ilmu harimau.
Gumara ingin menguji kesaktian harimau jejadian. Lima manusia harimau tua menyerang Gumara yang dibela oleh ayahnya. Ketujuh manusia harimau ini pun terlibat pertarungan seru. Konflik berlanjut seiring berjalannya alur cerita.
Kisah ini makin rumit karena Harwati, putri Lebai Karat, jatuh cinta kepada Gumara yang notabene saudara tirinya. Situasi menjadi lebih rumit karena murid Harwati yang terpandai, Pita Loka, juga naksir kepada Gumara yang ganteng dan jago silat.
Novel ini difilmkan pada 1986 dengan sutradara Imam Tantowi. Lalu, pada 2014, novel ini diadaptasi menjadi sinetron serial yang ternyata sangat diminati khalayak.
Mitos Manusia Harimau
Mitos perihal manusia harimau bukanlah hal asing bagi masyarakat Nusantara. Di Jambi, misalnya ada legenda tentang cindaku, yakni manusia keturunan harimau yang memiliki kekuatan gaib. Di Jawa Barat ada mitos tentang harimau putih (maung bodas) yang berkaitan dengan sejarah proses Islamisasi di Tanah Pasundan. Dalam cerita rakyat Sunda dikatakan bahwa Prabu Siliwangi (raja terakhir Pajajaran) pada akhir usianya malih rupa menjadi seekor harimau putih.
Peristiwa itu merupakan puncak dari perseteruan antara Prabu Siliwangi dengan putranya, Kian Santang, yang berupaya membuat ayahnya masuk Islam. Nama Siliwangi kemudian dijadikan nama Komando Daerah Militer (Kodam) III yang meliputi wilayah Jawa Barat dan Banten dan memiliki lambang kepala harimau dan sempat melahirkan kontroversi sosok patung harimau ketawa tempo hari.
Melihat semua itu, tak heran jika muncul banyak kisah tentang manusia harimau dalam sejumlah novel kita. Selain 7 Manusia Harimau, novel yang bercerita tentang manusia harimau atau harimau gaib piaraan di antaranya adalah serial novel Manusia Harimau karya S.B. Chandra dan novel Harimau Putih karya Mpu Wesi Geni. Sementara, dalam serial novel Misteri dari Gunung Merapi: Harimau Siluman (2001) karya Asmadi Sjafar yang sandiwara radionya sempat sangat populer pada 1980-an dikisahkan pula sosok harimau siluman, yakni tokoh antagonis Mardian. Dalam cerita yang lagi-lagi berlatar di Sumatra ini, Mardian dikutuk menjadi manusia harimau karena dia membunuh induk harimau secara telengas.
Di Barat, novel bertema dunia gaib dan manusia jejadian seperti 7 Manusia Harimau lazimnya digolongkan sebagai cerita gotik (gothic fiction). Unsur kengerian dan kekerasan menjadi cirinya. Contoh karya klasik novel macam ini adalah kisah tentang manusia serigala yang kerap malih rupa saat bulan purnama serupa The Wolf Leader (1857) karya pengarang legendaris Prancis Alexandre Dumas dan The Werewolf of Paris (1933) karya pengarang Amerika Serikat Guy Endore.
Terlepas dari kengerian yang bisa dibayangkan dari sosok manusia yang bisa berubah menjadi harimau dan memangsa manusia, saya kira yang lebih mengerikan adalah harimau dalam hati dan mulut tiap-tiap manusia. Ia bisa begitu kejam memangsa manusia dengan kata-kata berbisa dan fitnah keji. Ia juga bisa sangat tega mencabik-cabik sesamanya demi kepentingan sesaat. Itu pula yang tergambar dari novel Mochtar Lubis, Harimau! Harimau!, yang tak ada urusan dengan harimau sungguhan atau harimau gaib, tapi dengan harimau ganas yang bertakhta di hati manusia.
Penulis:
Anton Kurnia, (ap/hp) , penulis dan pembaca. Buku terbarunya Buah Terlarang dan Cinta Morina: Catatan dari Dunia Komik (2017).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis