Haruskah Jerman Terima Bekas Tahanan Guantanamo?
27 Januari 2009Sebuah pertikaian yang tidak tepat pada waktunya dan yang mengenyampingkan masalah kemanusiaan, demikian menurut jurnalis DW, Felix Steiner dalam komentarnya mengenai isu ini:
Tugas politisi adalah menyelesaikan permasalahan. Jika tidak dapat melaksanakannya, mereka dianggap sebagai tidak mampu. Kadang-kadang politisi menyelesaikan problem yang sesungguhnya sama sekali tidak ada. Atau mereka mendiskusikan hal-hal yang kemungkinan muncul. Ini terjadi acap kali dalam masa kampanye pemilu. Agenda Jerman tahun ini dipenuhi dengan sejumlah pemilu negara-bagian dan pemilu parlemen tingkat federal. Jadi masyarakat Jerman saat ini dijadikan saksi mata dari diskusi yang sesungguhnya belum ada.
Mau dikemanakan bekas tahanan Guantanamo? Demikian bunyi pertanyaan yang pada hari-hari belakangan ini menjadi obyek persengketaan antara Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri Jerman. Menlu Frank-Walter Steinmeier dari Partai Demokratik Sosial (SPD) menunjukkan sikap demokrat sosialnya dengan mengatakan, Jerman harus membuktikan "solidaritasnya dengan orang-orang yang tidak memiliki hak". Ini adalah prinsip yang dipegang sejak 140 tahun dan itulah yang dituntut oleh Steinmeier. Jerman harus menerima bekas tahanan Guantanamo. Sedangkan Menteri Dalam Negeri Wolfgang Schäuble dari Uni Demokratik Kristen (CDU) menanggapi isu ini dengan sikap pengawas keamanan sayap kanan partainya. Karena ia menyadari, tema keamanan dalam negeri merupakan isu penting bagi pemilih-pemilih CDU, ia dalam hal ini menolak setiap sikap membantu Amerika Serikat. Dikatakannya, dengan menampung bekas tahanan Guantanamo, Jerman berisiko untuk mengundang teroris islam radikal. Soal itu harus diselesaikan oleh pihak yang menyebabkan permasalahan, ujar Schäuble.
Permasalahan apa sebenarnya yang dimaksudkan? Hingga saat ini yang dikenal hanyalah keputusan Presiden Barack Obama untuk menutup kamp Guantanamo dalam kurun waktu setahun. Hal itu tentu disambut baik oleh Jerman, Eropa dan banyak lagi negara lain di dunia. Karena keberadaan kamp itu melanggar setiap standar negara hukum internasional. Saat ini, sekitar 250 tahanan dari berbagai negara masih berada di Guantanamo. Amerika Serikat sendiri sekarang juga mengakui bahwa 60 di antaranya, ditangkap tanpa ada alasan apa pun juga. Tak ada dugaan apa pun dapat dibuktikan terhadap ke-60 tahanan itu. Sedangkan pada tahanan lainnya dikhawatirkan bahwa kebencian kini semakin menumpuk atau jika sebelumnya tidak ada, setidaknya mereka sekarang rentan terhadap pemikiran ekstrimis.
Tahanan yang dibebaskan, tentunya ingin kembali ke tanah airnya. Sekitar 50 tahanan tidak dapat begitu saja kembali pulang karena mereka di negerinya terancam masuk penjara dan disiksa. Baik Menteri Luar Negeri maupun Menteri Dalam Negeri Jerman diperkirakan tidak tahu, tahanan mana tergolong ke dalam kelompok mana. Tapi, justru informasi mengenai hal itu merupakan hal yang menentukan agar dapat menilai argumentasi perdebatan. Selain itu patut disinggung bahwa pemerintah Amerika Serikat sama sekali belum meminta bantuan kepada siapa pun, artinya belum memohon untuk menerima bekas tahanan Guantanamo. Dan kalau diminta berterus terang: negara adi daya AS harus mampu menerima 50 orang yang tidak dapat kembali ke tanah airnya. Tidak ada negara lain selain AS yang harus memberikan perspektif baru kepada bekas tahan Guantanamo, jika memang hal itu diinginkan oleh para tahanan.
Menlu dan Mendagri Jerman sebaiknya melemparkan pandangannya ke pulau lain di Laut Tengah, yakni Lampedusa. Sejak berhari-hari belakangan ini, dan ini tidak terjadi untuk pertama kalinya, lebih dari
1. 200 pengungsi dari Afrika ditampung berjejal-jejal di kamp di pulau itu. Keadaan di sana sangat memprihatinkan, terutama karena pemerintah Italia dalam hal ini ingin membuatnya sebagai suatu kasus percontohan. Para pengungsi sama sekali tidak akan dipindahkan ke penampungan yang lebih besar di daratan Italia, melainkan dipulangkan langsung ke Afrika. Rasa kemanusiaan di sini sama sekali tidak diperhatikan.
Masalah ini nyata dan berada dalam wewenang Uni Eropa. Perlu diingatkan kembali pernyataan Menlu Steinmeier bahwa demokratis sosial Jerman selalu solidaris. Mendagri Jerman sebaiknya mengetahui bahwa pengungsi dari Afrika tidak mempertaruhkan nyawanya di laut yang berbahaya karena rasa kebencian dan pemikiran ekstrimis, melainkan hanya karena harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik di Eropa. Orang-orang itu tidak merupakan risiko bagi keamanan. Hanya sayangnya, mereka tidak membantu untuk menang dalam pemilu di Eropa, jika dibiarkan masuk. (cs)