Hawa Gréou, Usaha Akhiri Tradisi Sunat pada Perempuan
16 Februari 2009Bulan Februari 1999, Hawa Gréou, seorang perempuan Mali yang melakukan penyunatan secara tradisional, divonis tahanan delapan tahun di Paris, Prancis. Dia dituduh melakukan penyunatan sekurangnya terhadap 48 anak perempuan dengan cara mutilasi alat kelaminnya. Berdasarkan UU di Perancis perbuatan itu merupakan tindakan kriminal. Perkara pengadilan terhadap Hawa Gréou menimbulkan kehebohan, bukan hanya di Perancis, melainkan di seluruh dunia, terutama lagi di benua Afrika.
Untuk pertama kalinya, seorang perempuan muda asal Afrika, yang mengalami mutilasi lewat penyunatan pada masa kecilnya, menggugat tukang sunatnya, Hawa Gréou. Kini Hawa Gréou berusia 60 tahun, dan sudah mengakhiri masa tahanannya. Setelah bebas, dia menghubungi pengacara yang menjebloskannya ke penjara, Linda Weil-Curiel, yang sejak 25 tahun berjuang menentang mutilasi alat kelamin perempuan, lewat penyunatan. Kini keduanya bersama-sama menerbitkan buku, agar 'tradisi yang merusak' itu dapat dilenyapkan.
Hawa Gréou dan Linda Weil-Curiel sedang membahas sebuah rekaman video. Dalam rekaman itu seorang penyunat perempuan asal Senegal mengemukakan, mengapa dia tidak mau lagi melakukan penyunatan terhadap anak perempuan.
Hawa Gréou menyimak dengan seksama. Selama puluhan tahun dia sendiri melakukan penyunatan terhadap anak perempuan sesuai dengan tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh ibu dan neneknya. Hawa Gréou berasal dari kasta pandai besi yang dihormati di Afrika. Kasta itu dianggap memelihara api, menjaga tradisi dan meleraikan sengketa di desa. Hawa Gréou bangga, karena tidak ada seorang pun anak perempuan yang disunatnya, sampai meninggal dunia. Oleh sebab itu di Perancis pun dia terkenal di kalangan warga senegaranya. Tetapi penyunatan semakin banyak dilakukan pula oleh perempuan yang tidak mendapat inisiasi untuk itu.
Sekarang Hawa Gréou dan Linda Weil-Curiel bekerja sama untuk mengakhiri tradisi yang sangat merugikan itu. Kemudian timbul gagasan untuk membuat selebaran dengan fotonya. Di bawah tiap gambar tertulis: "Hawa Gréou bilang: menyunat anak perempuan, tidak baik". Di bawahnya tercantum nomor teleponnya. Pesan itu disampaikannya pula kepada siapa saja yang menelepon dia. Selebaran itu dibagikan oleh Hawa Gréou tiap hari Jumat di mesjid, pada acara pernikahan, atau kapan saja dia menjumpai warga asal Mali di Perancis.
Pesan Hawa Gréou untuk tidak lagi menyunat anak perempuan merasuk sampai ke pedesaan di Afrika. Perkara pengadilan terhadap dirinya 10 tahun lalu, diikuti dengan seksama di Mali. Vonis terhadap Hawa Gréou membawa perubahan di negeri yang merupakan kubu paling kuat bagi penyunatan terhadap anak perempuan. Pemerintah Mali sejak sepuluh tahun sudah punya rencana untuk melarang penyunatan anak perempuan. Sedangkan di negara-negara sekitarnya, peraturan itu sudah dilaksanakan dengan sukses. Di Senegal misalnya jumlah suku yang melakukan mutilasi terhadap anak perempuan sudah berkurang sepertiganya dalam satu dasa warsa. Di Mali pun semakin banyak desa yang tidak lagi menjalankan tradisi yang merugikan itu. Lewat teater keliling, badan bantuan anak-anak PBB, UNICEF menjalankan kampanye penyuluhan baru di Mali menentang mutilasi alat kelamin perempuan lewat penyunatan.
Tiap tahun, 150 juta anak perempuan di dunia jadi korban mutilasi alat kelamin. Sering disebut sebagai penyunatan. Praktek ini merupakan ancaman maut bagi perempuan dan gadis-gadis di 28 negara Afrika.
Selama bertahun-tahun Hawa Gréou mendekam di penjara. perlahan-lahan jelaslah baginya bahwa vonis terdapat dirinya bukan menentang berbagai tradisi Afrika secara umum. Hukum yang berlaku di Perancis menghukum penyunatan terhadap perempuan guna melindungi mereka. Sekarang Hawa Gréou menyadarinya. Sebagai seorang muslima yang taat, dia tetap berpendapat, bahwa perempuan harus berlaku sepantasnya. Tetapi tekanannya sekarang adalah pada pendidikan, dan bukan pada penyunatan.
Bagi Linda Weil-Curiel, perkara terhadap Hawa Gréou merupakan proses terpenting dalam upaya melawan mutilasi lewat penyunatan terhadap perempuan. Kini sepuluh tahun kemudian dia dapat menarik kesimpulan: "Perkara itu menyebar ke seluruh dunia. Dan memungkinkan gadis-gadis yang mengalami mutilasi atau menghadapi penyunatan untuk membahas dan membicarakan dengan orangtua mereka, masalah yang sebelumnya tabu untuk dibicarakan. Mereka menyadari keterancaman diri mereka. Tetapi mereka juga memahami bahwa di Perancis ada upaya untuk melindungi mereka. Peraturan itu melindungi keutuhan jasmani mereka. Dan masyarakat menawarkan bantuan, bila mereka memerlukannya. Itu merupakan hasil terpenting dari perkara pengadilan tersebut."
Tetapi hasil yang paling mengagumkan adalah persahabatan antara pengacara Perancis yang dulu menjadi penggugat dan tertuduh yang kemudian dipenjarakan. (dgl)