Haus Konspirasi
16 Januari 2017Menemukan akun-akun anonim di Twitter semudah membalik telapak tangan. Dan hal pertama yang biasa akan Anda temukan tak lain dari teori-teori konspirasi. Mereka akan memaksa Anda yakin bahwa Yahudi menguasai sekujur sendi pemerintahan Indonesia. Yahudi melakukannya semata dengan menggerakkan jemari mereka dan memorakmorandakan pasar saham.
Akun-akun tersebut dapat menjelaskan semua pengetahuan berbahaya yang dirahasiakan dari Anda dengan kefasihan, keluwesan dan, tentu saja, dengan satu problem kronis yang tak bisa ditanggalkannya. Anda tak akan menemukan rujukan kredibel untuk cerita-cerita fantastisnya. Anda bahkan tak akan bisa menemukan sosok yang bisa bertanggung jawab untuk kata-kata yang diecernya.
Tetapi, logika yang konspiratif demikian sebenarnya tak pernah asing dalam kehidupan kita yang lebih luas. Dunia politik Indonesia, bahkan kalau mau dikatakan, terobsesi secara tak sehat dengannya. Ketika kekisruhan mencuat, Anda akan menemukan perbendaharaan kata yang paling rutin diutarakan politisi dan pejabat tak lain dari "aktor," "dalang," "penggerak." Alih-alih mengidentifikasi mengapa ia terjadi, artinya, kita lebih gatal mengidentifikasi satu-dua pihak yang bisa dikambinghitamkan atasnya.
Contoh segarnya, tentu saja, adalah reaksi terhadap aksi bela Islam tempo hari. Pada titik ini, saya rasa kita bisa mengatakan, aksi yang digawangi oleh GNPF-MUI tersebut merupakan unjuk rasa religius terbesar dalam sejarah Indonesia. Namun, alih-alih terdorong untuk memahami seperti apa perubahan masyarakat yang memungkinkan gerakan tersebut, pertanyaan-pertanyaan pertama yang acap tercetus justru, "siapa penggeraknya?" "Dari siapa aliran dananya?" "Apa kepentingannya?"
Sedikit-sedikit "konspirasi Zionis"
Lantas, ingatkah Anda bahwa selepas tak menjabat, Suharto pernah blak-blakan menuding "konspirasi Zionis" sebagai biang kejatuhannya? Dalam wawancara dengan Tabloid Siar, April 1999, Suharto menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia lalai mempersiapkan diri dari manuver kelompok Zionis.
Kelompok Zionis, menurutnya, terancam dengan pertumbuhan Indonesia sepanjang 32 tahun yang menempatkannya sebagai negara yang makmur dan disegani secara politik. Agar negara ini tak berkembang lebih jauh menjadi pusat kebangkitan Islam, gerakan Zionis pun melakukan apa yang sewajarnya mereka lakukan. Mereka mengacaukan perekonomian Indonesia.
Apakah penjelasan Suharto tersebut masuk akal? Bagi sebagian orang nampaknya demikian. Dalam kurun beberapa tahun ke depan, pernyataan Suharto tersebut menyulut perbincangan marak tentang konspirasi Zionis di antara para penggetolnya. Mahathir, mantan PM Malaysia sekaligus kawan dekatnya, toh, sepakat bila kejatuhan Suharto dikatakan dirancang pihak-pihak tertentu. Namun, bagi sebagian lainnya yang sadar Suharto, keluarga, konco-konconya sudah menabung kemarahan rakyat sejak lama, cerita tersebut tak lebih dari dramatisasi menggelikan penguasa yang lengser lantaran keserakahannya.
Ada apa dengan dunia politik kita dan logika konspirasi, pertanyaannya?
Dari penjaja cuit politik hingga penguasa tertinggi, mengapa godaan untuk percaya bahwa kita hidup di tengah dunia yang rawan persekongkolan jahat memikat semua insan?
Kalau kita mau merujuk pada penjelasan teori psikologi kognitif, kita dapat mengatakan, inilah mekanisme yang dikembangkan manusia dalam evolusinya untuk memperbesar peluang keselamatan dirinya. Namanya, kepekaan hiperagensi. Kita memiliki kecenderungan melekatkan ancaman dengan satu kekuatan tertentu, bahkan sebelum kita memperoleh wujud nyatanya, agar kita dapat mengantisipasi bahaya sedini yang kita mampu.
Namun, Suharto tidak menyelamatkan apa pun atau siapa pun dengan saga rekaannya itu. Waktunya berkuasa sudah habis, dan tak ada jalan yang bisa diretasnya untuk kembali ke puncak kekuasaan.
Dan apakah penalaran semacam membantu mengantisipasi marabahaya?
Dalam konteks silang sengkarut politik modern setidaknya, alih-alih mendeteksi ancaman ia menciptakan ancaman. Mantan capres pesaing Joko Widodo itu, misalnya, pada hari-hari akhir kekuasaan Orde Baru berusaha menggalang dukungan kelompok religius dengan mengedarkan dokumen yang menggambarkan krisis ekonomi Indonesia merupakan bagian dari konspirasi mengandaskan Indonesia. Gerakan pro-demokrasi ditunggangi IMF, Amerika Serikat, Israel, dan kelompok non pribumi untuk menyingkirkan pemimpin kuat Indonesia—Suharto.
Prabowo tak berhasil merangkul kelompok Islam untuk mendukung kembali Suharto waktu itu. Tetapi, bila diberikan kesempatan lain, siapa yang bisa menduga berapa banyak yang dapat digugahnya dengan mengecer musuh-musuh khayali tersebut?
Saya kira, alasan kita menggetoli ‘narasi konspirasi‘ sebenarnya sederhana. Sesederhana ia menjadi seru. Ia mengaruniakan drama kepada hidup kita yang fana, kering kerontang, sepele dan menjadikannya istimewa, bermakna, menarik untuk dijalani.
Anda bisa memilih untuk percaya bahwa Suharto lengser lantaran fondasi ekonomi Indonesia yang keropos. Persoalannya, mengapa memilih skenario menjemukan tersebut bila Anda bisa mempercayai presiden kita dijatuhkan karena menantang tatanan dunia yang sewenang-wenang?
Teori konspirasi laris bak kacang goreng
Skenario pertama adalah bahan analisis ekonomi membosankan yang akan dilongkapi banyak orang di koran-koran. Tetapi, Anda tahu, skenario kedua adalah bahan untuk novel spionase mendebarkan atau teori konspirasi yang akan laris bak kacang goreng di toko buku.
Anda pun, seperti Prabowo, dapat mencoba untuk menjalin persekutuan strategis dengan menjajakan narasi kedua tersebut. Anda bisa mendatangi kelompok penekan dan memohon mereka agar secara tulus mengulurkan dukungannya untuk presiden berkuasa yang pernah dan sering mengecewakan mereka. Tetapi, mana yang akan Anda pilih bila di sisi lain Anda bisa membujuk mereka melakukannya dengan bumbu cerita negara tengah dalam ancaman darurat kekuatan asing dan aseng?
Toh, Anda tahu potret Indonesia mana yang akan tersebar seperti rambatan api di media-media sosial kita hari ini. Bisa dipastikan, ia bukanlah potret Indonesia yang permai-permai saja dibanding potret di mana kelompok minoritas diam-diam mengangkangi mayoritas rakyat Indonesia, menguasai setiap seluk kehidupannya, dan menjadikan presiden boneka marionetnya.
Kita, toh, sudah terbukti, haus dengan drama. Dan kalau kita tak bisa mendapatinya di kenyataan yang kita hidupi, kita tahu, kenyataan bisa dibuat. Maka, mengapa tidak?
Penulis:
Geger Riyanto (ap/yf)
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.