1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Yordania-AS: Sekutu Ini Terlalu Penting untuk Gagal

19 Juli 2021

Raja Yordania Abdullah II bertemu dengan Presiden AS Joe Biden pada hari Senin (19/07) di Washington. Krisis ekonomi, kekeringan parah, dan upaya kudeta membuat pertemuan dua sekutu ini makin penting dari sebelumnya.

https://p.dw.com/p/3wgms
Dua perempuan melintas di depan poster Raja Abdullah II dari Yordania
Legitimasi Raja Abdullah II dari Yordania sempat dipertanyakan beberapa pihakFoto: Khalil Mazraawi/AFP/Getty Images

Raja Abdullah II dari Yordania menjadi kepala negara Arab pertama yang bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Keduanya bertemu Senin (19/07) di Gedung Putih, Washington. Kunjungan ini adalah bagian dari tur panjang tiga minggu raja Yordania bersama istrinya Ratu Rania dan Putra Mahkota Hussein di Amerika Serikat.

Kunjungan itu "akan menjadi kesempatan untuk membahas banyak tantangan yang dihadapi Timur Tengah dan menunjukkan peran kepemimpinan Yordania dalam mempromosikan perdamaian dan stabilitas di kawasan itu," kata Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki pada awal Juli.

"Pertemuan ini sangat penting bagi Yordania," ujar Edmund Ratka, kepala biro Amman dari Yayasan Konrad Adenauer di Jerman, kepada DW. "Ada dimensi internasional yang penting dan dimensi domestik yang vital."

Dua sekutu lama

"Mengingat berbagai krisis yang dihadapi Yordania baru-baru ini, (pertemuan) itu sangat penting secara simbolis," kata Ratka, merujuk pada drama politik yang baru-baru ini terjadi dalam keluarga kerajaan Yordania, krisis ekonomi dan air yang sedang berlangsung di negara itu, serta dampak pandemi COVID-19.

Hubungan persahabatan Washington dengan Yordania dimulai sejak akhir Perang Dunia II. Namun baru pada tahun 1950-an kerajaan itu menjadi benar-benar penting bagi pemerintah Amerika yang melihat Yordania sebagai negara yang aman dan moderat serta sebagai benteng melawan komunisme dan nasionalisme Arab di kawasan itu. 

Peta Yordania
Yordania berharap bisa kembali memainkan peran kunci di Timur Tengah.

Selama beberapa dekade, Yordania telah memainkan peran jangka panjang dalam negosiasi antara Israel dan Palestina. Ini adalah negara Arab kedua yang berdamai dengan Israel pada tahun 1994, namun tetap punya hubungan yang erat dengan rakyat Palestina. Banyak orang Yordania memiliki latar belakang Palestina.

Hubungan AS-Yordania di 'titik terendah' pada masa Trump

Meski demikian, sejarah panjang hubungan kedua negara tidak mencegah presiden AS sebelumnya, Donald Trump, untuk mengesampingkan Yordania. Trump tampaknya lebih menyukai para pemimpin kuat dari negara-negara lain seperti Arab Saudi dan Mesir daripada Raja Abdullah dari Yordania.

"Dia [Trump] sama sekali tidak peduli dengan kepentingan Yordania," kata Ratka. "Sangat sulit bagi Yordania di bawah Trump. Hubungan keduanya benar-benar berada di titik terendah."

Mendinginnya hubungan ini juga sebagian karena dampak pandemi COVID-19, kondisi di negara yang miskin sumber daya alam dan sumber air ini pun memburuk. Menurut Bank Dunia, ekonomi Yordania menyusut 1,6% selama tahun lalu sementara pengangguran meningkat hampir 25%. Yordania juga sering kesulitan air dan tengah mengalami kekeringan yang parah. Akibatnya, negara ini sangat bergantung pada bantuan asing.

Militer Yordania juga mendapat bantuan dari Washington yang memungkinkan kerajaan iniuntuk membeli dan memelihara peralatan militer seperti jet tempur F-16. Saat ini juga ada sekitar 3.000 tentara Amerika yang ditempatkan di negara itu. Meskipun pendanaan terus mengalir selama masa kepresidenan Trump, negara itu tidak terlalu dianggap penting oleh Amerika.

Biden mengubah segalanya

Setelah Desember 2017, ketika AS secara kontroversial mengumumkan akan memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem, kontak di tingkat kepemimpinan kedua negara berhenti. Ini adalah sesuatu yang menurut pengamat tidak biasa dalam aliansi panjang tersebut.

Yordania selalu menjadi pendukung solusi dua negara, di mana Israel dan Palestina akan memiliki negara sendiri. Keputusan untuk merelokasi Kedutaan Besar AS tampaknya tidak sesuai dengan gagasan itu. Yordania juga selalu bertindak sebagai "penjaga" Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, salah satu situs paling suci dalam Islam. 

Namun dinginnya hubungan AS-Yordania berubah ketika Joe Biden terpilih sebagai presiden. Biden dan Raja Abdullah telah bertemu berkali-kali, karena presiden AS ini sebelumnya telah sering melakukan perjalanan ke Yordania, baik sebagai senator maupun sebagai wakil presiden. Raja Abdullah adalah pemimpin dunia pertama yang memberi selamat kepada Biden atas pemilihannya pada November 2020, dan juga pemimpin Arab pertama yang berbicara dengan Biden di telepon pada bulan yang sama.

Masih dipandang sebagai negara yang signifikan

"Raja Yordania berharap persahabatannya yang lama dengan Biden akan menghasilkan keuntungan, yang tidak hanya akan memberikan dorongan yang sangat dibutuhkan bagi perekonomian, tetapi juga akan menunjukkan kepada warga Yordania, terutama mereka yang mayoritas keturunan Palestina, bahwa dia akan melakukannya. menggunakan pengaruhnya terhadap presiden AS untuk memperkuat dukungan AS terhadap hak-hak Palestina," tulis Gregory Aftandilian dari Arab Center Washington pada minggu ini.

Selama pertemuan hari Senin, Yordania diperkirakan akan melobi AS untuk perpanjangan paket bantuan lima tahunan senilai $6,4 miliar atau nyaris senilai Rp 93 triliun yang akan berakhir tahun depan, kata para ahli.

Meskipun hasil nyata dari pembicaraan tidak akan segera terlihat, sinyal yang dikirim akan signifikan.

"Untungnya bagi kerajaan, aktor regional dan internasional masih melihat negara itu terlalu penting untuk sampai jatuh," kata Aftandilian.

ae/hp