Hubungan Jerman-AS: Merkel Perlu Strategi Baru
19 Januari 2018"Masa-masa di mana kita bisa mengandalkan mitra-mitra terpercaya kita, sudah mulai berakhir", kata Kanselir Jerman Angela Merkel bulan Mei 2017 pada Pertemuan Puncak G-7 di Italia. Ketika itu, Presiden AS Donald Trump baru saja mengumumkan bahwa dia akan meninggalkan Kesepakatan Iklim Paris yang dicapai dengan susah payah.
Kini, setelah satu tahun pemerintahan Donald Trump, hubungan AS-Jerman makin mendingin. Padahal poros AS-Jerman dulu adalah salah satu poros politik yang sangat stabil dan sangat penting bagi Berlin. Apakah situasinya akan membaik di tahun-tahun mendatang? Pengamat politik dari lembaga tangki pemikir Jerman untuk politik luar negeri Deutsche Gesellschaft für Auswärtige Politik (DAP) Josef Braml mengatakan, harapan bahwa Donald Trump bisa berubah adalah harapan kosong.
"Trump berpikir, tata dunia yang bebas saat ini tidak menguntungkan bagi kepentingan Amerika Serikat, melainkan hanya menguntungkan pihak-pihak lain seperti Jerman dan Cina", kata Braml. Itu sebabnya, tujuan Donald Trump adalah "menghancurkan tata dunia yang ada saat ini".
Peran NATO dan masa depan hubungan transatlantik
Tentu saja hal itu akan berdampak pada hubungan ttansatlantik, lanjut Braml. "AS harus menang, akibatnya harus ada yang kalah". Contohnya adalah bea khusus yang dikenakan kepada perusahaan-perusahaan Jerman yan menjual barangnya ke AS. Bahkan kesimpulan Kanselir Angela Merkel yang disampaikannya pada Pertemuan Puncak G7 di Italia menurut Braml datang terlambat. "Sebelum Donald Trump pun, AS sudah terlalu lemah untuk mempertahankan tata dunia yang bebas".
Tapi direktur lembaga tangki pemikir "Transatlantic Networks" Andrew Denison berpendapat lain. "Ini bukan situasi krisis, melainkan sebuah tantangan", katanya. Dia masih tetap berharap bahwa pemerintahan Donald Trump di masa depan akan memahami pentingnya hubungan transatlantik. "Amerika Serikat tidak mau Eropa terancam oleh Rusia. Pada saat yang sama, Eropa diharapkan bisa membantu Amerika Serikat menghadapi Cina dan menyelesaikan masalah di Timur Tengah", tandas Denison.
Andrew Denison bisa memahami mengapa Presiden Trump menuntut negara-negara Eropa memberikan kontribusi lebih besar untuk pakta pertahanan transatlantik NATO, yaitu sedikitnya dua persen dari Produk Domestik Bruttonya. "Orang Amerika berpendapat, selama ini Eropa dalam bidang pertahanan dan keamanan hanya memanfaatkan AS." Memang Washington tetap akan menunjang NATO, "namun menuntut pembagian beban yan lebih adil". AS misalnya sudah mengirim pasukan tambahan untuk ditempatkan di Polandia.
Sebuah strategi AS yang baru?
Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel menuntut strategi baru dalam hubungan transatlantik sehubungan dengan perubahan politik di AS. Jerman harus lebih tegas membela kepentingan Eropa dan jika perlu, misalnya dalam sengketaKesepakatan Nuklir Iran, lebih berani menarik garis merah.
Pengamat politik dari lembaga penelitian ASPEN Anna Kuchenbecke setuju dengan tuntutan itu. "Sementara AS di bawah Donald Trump menarik diri dari kancah diplomasi internasional, Jerman justru harus mengandalkan aliansi internasional, apalagi Jerman adalah negara pengekspor besar."
Pada tahun-tahun mendatang, hubungan transatlantik antara AS dan Eropa akan menghadapi tantangan besar, kata Andrew Denison dari Transatlantic Networks. "Trump selalu mencari kambing hitam, jadi di masa depan dia juga akan kritis terhadap Jerman." Pengamat politik Josef Braml dari DGAP memperkirakan, pemerintahan Donald Trump juga akan lebih sering menyerang Organisasi Perdagangan Dunia WTO dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jadi Jerman harus berusaha, "bersama mitra-mitra di Eropa membela tata dunia yang bebas, karena AS tidak lagi berperan sebagai pelindung kebebasan ini", tandas Braml.
Oliver Pieper (hp/vlz)