Hubungan Khusus Jerman-Rusia yang Sering Membingungkan
8 Februari 2022Kanselir Jerman Olaf Scholz minggu lalu mengatakan, dia akan melakukan perjalanan ke Moskow "dalam waktu dekat" untuk mengadakan pembicaraan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. "Itu direncanakan segera," kata Scholz kepada televisi Jerman ZDF Rabu lalu (2/2).
Pernyataan itu muncul saat kritik makin gencar terhadap Jerman datang dari Ukraina dan beberapa sekutu NATO, karena Berlin dituding "bersikap lunak" terhadap Rusia. Olaf Scholz memang selama ini kelihatan menahan diri dan tidak banyak berkomunikasi dengan Vladimir Putin. Menurut keterangan dari Berlin, Scholz baru satu kali melakukan panggilan telepon dengan pemimpin Rusia, yakni pada akhir Desember lalu.
Sikap "diam" Jerman ini berbeda jauh misalnya dengan apa yang dilakukan pemimpin Prancis Emmanuel Macron, yang sudah berbicara langsung dengan Putin di Moskow, setelah sebelumnya beberapa kali melakukan pembicaraan lewat telepon. Perdana Menteri Italia Mario Draghi dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson juga berbicara dengan presiden Rusia untuk membahas pengerahan militer negaranya di sepanjang perbatasan dengan Ukraina.
Jerman membutuhan "Ostpolitik baru"
Jerman sejak dulu memang punya hubungan khusus dengan Rusia, yang juga terlihat jelas pada pemerintahan Angela Merkel. Antara lain karena sejarah kekejaman Jerman ketika menyerang Rusia selama Perang Dunia Kedua. Namun saat ini, hubungan Jerman-Rusia justru sering membingungkan mitra-mitranya di NATO.
Bahkan bukan rahasia lagi, posisi Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock dari Partai Hijau jauh lebih tegas menghadapi Rusia daripada posisi Kanselir Olaf Scholz dari SPD. Terutama menyangkut proyek jaringan pipa gas Nordstream 2. Annalena Baerbock secara tegas menolak proyek itu karena Rusia bisa menggunakannya sebagai instrumen politik, sementara Olaf Scholz bersikeras bahwa Nordstream 2 adalah murni "proyek bisnis".
Selama ini, Partai Sosial Demokrat SPD memang berusaha membangun hubungan baik dengan Rusia, berakar dari deklarasi tahun 1971 yang diikrarkan pemimpin Jerman saat itu, Willy Brandt. Pada puncak Perang Dingin, Willy Brandt, mencanangkan politik baru ke Eropa Timur, yang dikenal sebagai "Ostpolitik" (Politik Timur). Bagi Willy Brandt, perubahan di Eropa Timur hanya mungkin terjadi dengan "pemulihan hubungan" ke negara-negara blok Timur. Untuk kiprahnya, Willy Brantd tahun 1971 dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian. Selama puluhan tahun kemudian, posisi SPD terhadap Rusia dipengaruhi oleh haluan politik ini.
Olaf Scholz sendiri tampaknya menyadari, bahwa Jerman membutuhkan strategi baru setelah era perang dingin berakhir. Dalam sebuah wawancara dengan DW selama kampanye pemilihan umum tahun 2021, dia mengatakan: "Yang kita butuhkan adalah Ostpolitik yang baru."
Mencari format baru dialog yang konstruktif
Tidak bisa dibantah, hubungan khusus Jerman-Rusia telah membuahkan banyak terobosan. Yang terpenting adalah reunifikasi Jerman, yang tidak mungkin terwujud tanpa persetujuan Rusia. Runtuhnya Jerman Timur dalam sebuah "revolusi damai" juga hanya mungkin terjadi, karena Rusia tidak campur tangan dan ketika itu menahan serdadunya yang ditempatkan di Jerman Timur untuk tetap berada di dalam barak-barak mereka.
Olaf Scholz tampaknya tetap ingin mengedepankan dialog dan hubungan baik dengan Rusia. Namun sepak terjang Vladimir Putin makin lama makin menyulitkan posisi ini.
"Masyarakat dunia harus bersatu. Itu berarti melanjutkan pembicaraan, bahkan dengan pemerintah yang sangat berbeda dari kita," kata Olaf Scholz dalam wawancara dengan televisi Kanal Dua Jerman - ZDF tak lama setelah dia dilantik. Dalam wawancara sebelumnya, Scholz mengatakan dia akan bekerja keras untuk meyakinkan "Rusia dan lainnya untuk menerima bahwa integrasi Eropa akan tetap menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan."
Dalam perjanjian koalisi SPD-Partai Hijau-FDP tercantum frasa: "Kami menyadari pentingnya hubungan yang substansial dan stabil dan akan terus mengejar kemitraan semacam itu. Kami mencari dialog yang konstruktif." Situasi krisis di Ukraina saat ini akan menjadi ujian besar, apakah pemerintah Jerman bisa mempertahankan posisinya.
(hp/as)