Imbas Perang Rusia-Ukraina Bisa Guncang Ekonomi RI
25 Februari 2022Ketegangan antara Rusia dan Ukraina semakin memanas. Rentetan ledakan dilaporkan terdengar di Kiev, beberapa kota di dekat garis depan Ukraina timur, dan di sepanjang pantai negara itu. Konflik yang juga turut menyeret Amerika Serikat (AS) dan NATO itu diprediksi memberikan sejumlah dampak ekonomi kepada Indonesia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan akibat konflik itu komoditas minyak mentah harganya hampir menyentuh US$100 (Rp1,4 juta) per barel pada Kamis (24/02).
"Hal ini berarti bisa berdampak penyesuaian harga BBM, listrik, LPG dalam waktu dekat. Selain itu, juga akan membengkakkan belanja subsidi energi pemerintah," ujarnya, kepada detikcom.
Di sisi lain, lanjut Bhima, transmisi terhadap kenaikan harga komoditas energi bisa berdampak ke harga pangan. Sebab biaya logistik juga akan ikut naik. Jika harga pangan naik akan memicu terjadinya inflasi yang lebih tinggi sepanjang 2022 di Indonesia.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, Bhima menyarankan pemerintah menambah alokasi subsidi energi. Selain itu, diharapkan pemerintah mencegah Pertamina agar tidak terburu-buru melakukan kenaikan harga Pertamax dan Pertalite, setidaknya sampai semester I atau setelah Lebaran 2022.
Kemudian selain subsidi yang ditambah, pemerintah harus mengantisipasi dengan menambah stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional, salah satunya stimulus untuk bantuan sosial.
"Bantuan sembako itu harus terus dilanjutkan agar menjadi bantalan dari naiknya harga minyak yang semakin liar," tambah Bhima.
Solusi berikutnya, yakni menunjuk Bulog untuk segera melanjutkan stabilisasi harga dengan meningkatkan pasokan kebutuhan pangan yang sekarang mendesak, yakni kedelai. Apabila Bulog kemudian membutuhkan suplai anggaran untuk pengadaan gudang yang baru, itu pun menurut Bhima, harus diambil dari stimulus.
Pengaruhi ekspor Indonesia
"Ketegangan ini menimbulkan tekanan dari sisi ekspor. Karena wilayah yang dilanda konflik merupakan daerah alternatif pasar ekspor yang yang cukup potensial, yakni daerah Rusia dan Eropa bagian timur," jelas Bhima.
Sehingga Indonesia harus melakukan strategi pencegahan. Misalnya, mengalihkan produk-produk ekspor ke negara-negara lainnya atau negara yang masih relatif secara geopolitik tidak terdampak dari konflik.
"Hal ini juga sebenarnya peluang bagi investasi untuk masuk ke Indonesia. Artinya, harus dicari cara agar potensi investasi dari Rusia dan Ukraina maupun negara-negara terdampak di Eropa Timur itu bisa mengalihkan basis produksinya masuk ke Indonesia," tambah Bhima.
Harga komoditas tetap tinggi
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan dampak ekonomi dari ketegangan Rusia-Ukraina tergantung eskalasi dari konflik ini.
"Kalau masih yang seperti yang kemarin, cuma ketegangan saja, dampaknya mungkin tidak akan banyak dirasakan," jelasnya.
Meski begitu, diakuinya ketegangan itu memang menyebabkan harga komoditas tetap tinggi, tetapi Indonesia sekarang posisinya sudah tinggi. Jadi, dampaknya tidak terasa lagi.
"Kecuali kalau sebelumnya rendah terus naik tinggi, jadi tinggi itu terasa sama kita, terasa benar. Harga minyak sudah tinggi, harga batu bara sudah tinggi, harga CPO (Crude Palm Oil) sudah tinggi, dengan ketegangan ini dia tetap tinggi," ujarnya.
Namun, bila benar-benar terjadi peperangan dan eskalasinya juga naik, maka yang jadi masalah harganya tidak cuma tinggi tapi permintaan bisa jadi turun. Karena dengan adanya konflik maka akan mengganggu rantai pasok dan distribusi.
"Jadi justru dampaknya negatif ke kita, karena akan mengganggu lalu lintas barang. Ekspor kita juga bisa terganggu. Kelangkaan-kelangkaan akan terjadi, termasuk juga tidak hanya barang ekspor kita, barang impor juga akan terganggu," ujarnya. (Ed: ha/rap)
Baca selengkapnya di: Detik News