Menanti Implementasi Larangan Penjualan Rokok Batangan
30 Desember 2022Pemerintah berencana melarang penjualan rokok secara batangan mulai tahun 2023. Rencana tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.
Dalam Keppres itu disebutkan, pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Kementerian Kesehatan menjadi pemrakarsa perubahan peraturan ini, dan pelarangan penjualan rokok batangan dimuat di poin 4 dari total 7 poin pokok materi muatan yang tertulis dalam keputusan tersebut.
Demi kesehatan masyarakat
Presiden Joko Widodo sudah menegaskan, larangan penjualan rokok batangan dilakukan semata-mata untuk menjaga kesehatan masyarakat. Tapi Kementerian Kesehatan sebagai pemrakarsa perubahan peraturan ini tampaknya punya target yang lebih jauh: menekan angka penjualan rokok terhadap kelompok anak dan remaja (usia 10-18 tahun) yang belakangan ini terus meningkat.
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, sekitar 78% penjualan rokok di kawasan dekat sekolah mencantumkan harga ketengan (batangan) sehingga harganya lebih terjangkau. Inilah yang menurutnya menjadi pemicu prevalensi merokok dalam kelompok anak dan remaja terus meningkat dan diperkirakan akan tumbuh sekitar 15% pada 2024.
Keterjangkauan rokok terhadap anak dan remaja juga menjadi salah satu pertimbangan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10% pada tahun 2023 dan 2024.
Saat penetapan kenaikan CHT ini pada awal November lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7% yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Pertimbangan lain menurut Sri Mulyani saat itu adalah karena melihat konsumsi rokok menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.
Pengawasannya bagaimana dan sanksinya apa?
Mudahnya kelompok anak dan remaja mengakses rokok batangan diakui oleh Dea, salah satu pemilik warung kecil di Semarang, Jawa Tengah.
"Kalau di tempat saya kan perumahan ya. Jadi itu rata-rata warga perumahan dari orang tua, kebetulan dekat dengan pesantren juga, jadi konsumsi [rokok batangan] banyak dari anak pesantren, anak sekolahan juga,” katanya saat diwawancara DW.
Dea juga tidak menampik bahwa keuntungan yang ia terima dari penjualan rokok eceran lebih banyak dibanding penjualan rokok bungkusan.
"Kalau yang bungkusan biasanya untungnya paling cuman 1.500 rupiah. Tapi kalau mau ecer rokok itu saya beli rokok yang kalengan yang isinya 50 biji. Biasanya satu kaleng itu harganya 79 ribuan, saya ecer per bijinya 2 ribuan, berarti lebih banyak untungnya,” ujarnya.
Meski mengaku siap jika larangan penjualaan rokok batangan berlaku efektif tahun depan, Dea masih meragukan implementasinya di lapangan.
"Untuk pengawasan penjual rokok eceran itu seperti apa di lapangannya? Yang kedua sanksinya apa? Kalau pendapat saya sih kurang matang [kebijakannya],” pungkasnya.
Dea juga merasa larangan penjualan rokok batangan ini kurang efektif menekan angka perokok anak dan remaja, mengingat masih banyak rokok-rokok bungkusan yang harganya sangat murah.
"Saya jual rokok itu banyak rokok bungkusan yang harganya sangat murah, seperti ada rokok itu satu bungkusnya saya jual di sekitaran harga 10 ribu 9 ribu. Jadi ketika rokok ketengan dilarang, pasti mereka juga bakalan beli rokok yang harganya lebih murah, di harga 9 ribu itu, isinya 16 batang,” ujarnya.
Kebijakan harus dijalankan optimal
Usulan Kementerian Kesehatan untuk melarang penjualan rokok batangan mendapat apresiasi dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI). Larangan tersebut dinilai mampu membantu menurunkan konsumsi rokok di masyarakat meski "mungkin tidak signifikan.”
Tapi yang kemudian penting menjadi perhatian menurut CISDI adalah implementasinya di lapangan. Banyak kebijakan soal rokok yang sebelumnya sudah ada sejak lama tapi tidak berjalan dengan baik.
"Sebenarnya di PP No. 109 Tahun 2012 juga sudah ada pembatasan umur untuk pembelian rokok tapi tidak berjalan sama sekali dan tidak ada penegakannya. Jadi kalau misal nanti sudah masuk aturan tapi tidak dijalankan dan ditegakkan kan sama saja?” kata Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda saat diwawancara DW, Kamis (29/12).
Jika pemerintah benar-benar ingin menurunkan konsumsi rokok di masyarakat, khususnya kelompok anak dan remaja, maka setiap kebijakan yang diambil harus dijalankan secara optimal. "Jangan separuh-separuh,” kata Herlinda.
"Ketika bilang cukai ya cukainya naiknya lebih signifikan, lalu ketika ada kebijakan larangan rokok batangan dan juga pembatasan umur itu juga penegakannya harus dengan baik, kalau tidak ya nanti dibilang kebijakannya sudah ada tapi ternyata tidak berjalan,” tambahnya.
Herlinda mencatat bahwa masih ada celah dalam kebijakan pemerintah yang perlu mendapat perhatian, salah satunya terkait peredaran rokok murah di pasaran. Pemerintah juga menurutnya harus memiliki kejelasan terkait pengawasan dan sanksi apabila larangan penjualan rokok batangan nantinya benar-benar dijalankan.
"Jadi memang tahapannya masih akan panjang saya rasa, tapi yang akan sangat penting nanti peran dari pemerintah daearah sih, termasuk apakah nanti RT/RW misalnya diberi wewenang untuk melapor ke Satpol PP atau misalnya menindak penjual nanti ketika implementasi,” pungkasnya.
gtp/as (dari berbagai sumber)