India Juara Pemutusan Akses Internet Dunia
16 Maret 2023Tahun lalu, di seluruh dunia, pemerintah di 35 negara mematikan internet setidaknya 187 kali. Menurut laporan teranyar grup advokasi hak digital Amerika Serikat, Access Now, untuk koalisi #KeepItOn, India menyumbang sekitar 58% dari semua pemblokiran akses internet yang terdokumentasi secara global.
Tahun 2002 lalu, tejadi 84 pemutusan akses internet di negara Asia Selatan itu, jauh lebih banyak dibanding negara lain mana pun di dunia.
Laporan berjudul "Weapons of control, shields of impunity: Internet shutdowns in 2022" itu mengutip berbagai alasan otoritas India untuk mematikan internet, termasuk protes, pemilu, konflik, dan ujian sekolah.
"Untuk negara yang memimpin G20 dan menjelang pemilihan umum 2024 yang sangat penting, gangguan ini membahayakan ambisi masa depan ekonomi teknologi India dan ambisi penghidupan digital – benar-benar memalukan secara global,” kata Raman Jit Singh Chima, Kebijakan Direktur Asia-Pasifik Access Now.
Pemutusan internet melumpuhkan kehidupan sehari-hari karena orang tidak dapat lagi mengakses layanan medis, pendidikan, dan keuangan.
Sebagian besar kasus shutdowon di Jammu dan Kashmir
Di negara bagian Rajasthan di utara, penutupan akses internet diberlakukan belasan kali. Sementara di negara bagian West Bengal di India timur, otoritas memerintahkan pemutusan tujuh kali.
Kawasan konflik Jammu dan Kashmir menjadi wilayah yang mengalami penutupan internet paling banyak, yaitu 49 kali.
"Ini adalah normal baru," kata Anuradha Bhasin, editor harian Kashmir Times, kepada DW. "Kami melihat apa yang terjadi ketika pemerintah mencabut status khusus Kashmir pada 2019: Wilayah itu mengalami pemadaman internet terlama, yang berlangsung beberapa bulan. Tidak lagi menjadi berita dan orang-orang terpaksa terbiasa dengan situasi ini."
Penerapan shutdown yang sewenang-wenang dan berlebihan
Menurut Internet Freedom Foundation (IFF), yang mengadvokasi hak dan kebebasan digital di India, sejumlah faktor yang tumpang tindih bertanggung jawab bagi pemutusan internet tersebut secara terus-menerus.
"Pembatasan ini sering diberlakukan oleh pemerintah daerah atas dasar 'darurat publik' dan 'keselamatan publik', tanpa adanya alasan yang jelas atas pemutusan internet, atau tidak adanya kriteria untuk menentukan efektifitasnya, yang mengarah pada penerapan yang sewenang-wenang dan berlebihan," ujar Prateek Waghre, Direktur Kebijakan IFF kepada DW.
Pembatasan sering diberlakukan selama aksi protes terjadi, misalnya untuk mencegah pengunjuk rasa berkoordinasi, tetapi ada juga penutupan sementara untuk mencegah kecurangan dalam ujian.
Waghre mengatakan, beberapa faktor digabungkan "untuk menjadikan pembatasan internet sebagai intervensi tahap awal dalam perangkat respons negara bagian dan bukannya sebagai tindakan pamungkas."
"Shutdown atau gangguan kadang-kadang diperlukan untuk menghentikan aliran informasi yang salah pada saat situasi krisis dan perselisihan yang hanya dapat memperburuk situasi," kata seorang pejabat senior kepada DW tanpa menyebut nama.
Kerugian besar untuk ekonomi
"Tingkat transparansi juga rendah, karena perintah penangguhan dan perintah komite peninjau sering tidak dipublikasikan atau diumumkan, meskipun Mahkamah Agung telah menerbitkan tata cara rinci untuk tindakan penangguhan internet tiga tahun silam, dan telah memerintahkan agar acuan ini disebarluaskan ke seluruh negeri,” kata penasihat hukum Tanmay Singh dari IFF kepada DW.
"Sampai masalah mendasar ini diatasi, kecil kemungkinan kita akan melihat India mengubah statusnya sebagai juara penutupan akses internet global," tambahnya.
Menurut IFF, pembatasan akses internet merugikan ekonomi India sebesar $582,8 juta pada tahun 2021. Tahun sebelumnya, ekonomi India mengalami kerugian sekitar $2,8 miliar2, atau jauh lebih banyak daripada negara lain mana pun, setelah mematikan internet yang jika ditotal selama 8.927 jam pada tahun 2020.
(ha/as)