Pelanggaran HAM 65 Harus Diungkap Tuntas
30 September 2015Pemerintah Indonesia dinilai tetap mengabaikan penderitaan para korban peristiwa pelanggaran HAM pada 1965 yang disebut G 30 S. Lima dekade setelah pembantaian massal gerakan anti komunis yang menewaskan antara 500.000 hingga satu juta jiwa, para korban harus mendapat keadilan. Demikian tuntutan lembaga HAM Amnesty International memperingati peristiwa 30 September 1965 dalam siaran persnya.
"Limapuluh tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk menunggu keadilan bagi peristiwa genosida terburuk dalam sejarah Indonesia," ujar Papang Hidayat periset Indonesia pada Amnesty International. "Di seluruh Indonesia korban peristiwa 1965 dan 1966 bahkan keluarga mereka harus menelan penderitaan sendirian. Sementara banyak tersangka pelaku tindak kriminal itu melenggang bebas," ujar aktivis HAM itu.
Seperti diketahui, kampanye berdarah itu dipicu upaya kudeta gagal Partai Komunis Indonesia yang kemudian berbuntut pada aksi anti komunis yang dikomandani militer dan didukung negara adidaya Barat. Selain ratusan ribu korban tewas, tidak jelas berapa korban penyiksaan, penahanan politik atau bahkan keduanya. Jenderal Suharto tampil sebagai pahlawan yang menumpas PKI sekaligus kekuasaan Sukarno dan berkuasa dengan Orde Barunya selama 32 tahun.
Suara tuntutan untuk mengungkap tuntas episode paling gelap dalam sejarah Indonesia itu makin kencang, setelah tumbangnya kekuasaan rezim Orede Baru pada 1998. Namun kelompok pembela HAM; menilai, terlalu sedikit yang dilakukan pemerintah pasca Orde Baru dalam tema ini.
Presiden Jokowi bulan Mei silam mengumumkan akan membentuk komite untuk menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu itu. Tapi Amnestsy juga mengritik, komisi ini tidak punya kekuasaan untuk melakukan tindakan hukum. Dikhawatirkan komisi ini akan jadi lembaga pengusut kebenaran dan rekosnisliasi yang hanya berhenti pada permintaan maaf serta ajakan untuk perujukan.
Selain itu Amnesty juga mengecam aksi intimidasi dan ancaman kepada para aktivis yang vokal menggugat tema tersebut."Pemerintah harus mulai mendengar dan bekerjasama dengan organisasi hak asasi, bukannya menekan mereka," ujar Papang menambahkan.
as/yf(afp,rdpa, twitter, AI)