Ini Bukan Salah Sepakbola
26 September 2018"Sepakbola adalah refleksi sebuah bangsa,” ujar Franz Beckenbauer suatu ketika di hari itu di Berlin. Hari itu tahun 2005 dan film pendek saya Hardline (2005) bersama 44 film lainnya dijadikan Official Element World Cup 2006 di Jerman. Saya terus mengingat kalimat itu, kalimat yang terus saja relevan dengan situasi bangsa saya saat itu dan hingga kini.
Haringga Sirila anak muda dari Cengkareng, ia mencintai Persija sebesar cintanya pada dirinya dan keluarganya. Sama seperti Antony Sutton mencintai Arsenal atau Rod Stewart dan Elton John pada Watford. Bedanya, Haringga belum pernah menulis buku atau merilis album sehingga tak banyak dari kita mengenal dirinya. Ia hanya seorang pemuda biasa yang bekerja di sebuah bengkel kecil di kawasan pinggir Jakarta.
Ia sadar adalah berbahaya untuk pergi ke Bandung menyaksikan timnya berlaga melawan tim kuat asal Bandung, Persib. Tetapi, cinta selalu memiliki cara untuk melumpuhkan nalar pelakunya, yang Haringga tahu, Persija pergi ke kandang lawan dan wajib baginya untuk melakukan apapun agar bisa menemani kecintaannya disana.
Kegilaan atas nama cinta yang juga pernah dilakukan ribuan Bonek yang meluruk ke Jakarta dengan modal uang tak lebih dari 20 ribu rupiah sekitar 17 dan 22 tahun lalu, John Bonetti dari Leeds yang bersepeda dari London ke Korea Selatan 16 tahun lalu dan banyak orang lain yang rela melakukan apapun demi Sepakbola.
Yang kemudian kita tak tahu, perjalanan ini adalah perjalanan terakhirnya. Kecintaannya pada Sepakbola telah memisahkan dirinya dari keluarga dan teman-temannya. Membawanya pulang menghadap sang penciptaNya di atas sana. Remaja ini tewas meregang nyawa setelah habis dipukuli seperti binatang oleh pendukung tim lawan yang memang senantiasa menganggap orang seperti dirinya adalah musuh yang harus dibasmi dan dimusnahkan.
Baca Juga:PSSI Bekukan Liga Indonesia
Semua orang sontak marah dan sedih ketika video bagaimana lelaki yang kemudian dimakamkan di Indramayu ini tewas beredar di media social. Orang seperti baru tersadar bahwa Indonesia adalah sebuah negara barbar yang orang-orangnya bisa dengan rela memukuli dengan sepenuh hati orang lain yang sudah tak berdaya, membiarkannya mati di pinggir jalan tanpa ada satupun keamanan yang sudah menerima biaya keamanan dari panitia penyelenggara tahu dan peduli pada situasi ini.
Budaya Kekerasan Indonesia Merasuki Sepakbola
Kita selalu menyebut situasi ini adalah situasi di luar kontrol dan kemudian menyalahkan sepakbola sebagai sumber kericuhan. Kita lupa, bahwa persoalan kekerasan adalah hal lumrah di negeri ini. Kekerasan tangan kosong atau bersenjata adalah hal biasa di negara kita. Orang bisa main pukul bahkan jika perlu beraksi di tengah keramaian tanpa peduli akan dilaporkan ke pihak keamanan. Kita juga seolah lupa, bahwa situasi "kekerasan” dan permusuhan sedang terjadi di universe lain, yaitu universe perbedaan pilihan pemimpin negara.
Baca Juga: Indonesia Ingin Jadi Tuan Rumah Piala Dunia 2034
Indonesia adalah sebuah negara yang mungkin bangsanya paling senang menyebut bahwa bangsa dan dirinya adalah orang-orang yang beradab, bangsa yang selalu berprestasi dan tentu saja berpikiran maju. Segala jargon terus dibunyikan, seolah fakta saja tak cukup untuk membuktikan bahwa "Indonesia itu bisa”
Faktanya, di negara ini penegakan hukum saja menjadi hal yang sulit. Bangsa Indonesia nyaris sama sekali tidak disiplin, janganklan tidak melakukan kekerasan atau menghina orang lain yang berbeda dengan dirinya, memahami bahwa zebra cross diperuntukkan untuk menyebrang saja orang kita sering tidak paham.
Orang kita terlalu sibuk pada situasi-situasi yang kasuistis, tak pernah kita berpikir bahwa segala hal terjadi karena adanya alasan. Kejadian ini menjadi ramai karena video yang beredar, peristiwa-peristiwa sebelumnya yang juga menghilangkan nyawa manusia terlupa untuk diingat. Kematian Haringga dan mereka yang mencintai Sepakbola bukanlah karena Sepakbola adalah olahraga penuh kekerasan, tragedi ini adalah bukti bahwa perbedaan masih dianggap hal tabu di negeri ini.
Aparat keamanan tidak bekerja sebagaimana mestinya dan tentu saja orang kita sangat bodoh juga primitive…..bangga pada apapun yang ia kerjakan dan refleks untuk menyebarkannya di media sosial dengan penuh kesadaran. Kekerasan pun bisa dilakukan dengan cara menindas, tak peduli ia hanya sendiri, pihak lebih kuat berusaha melumpuhkan dia termasuk nyawanya.
Pembekuan Tanpa Guna
Peristiwa ini memang kemudian ramai dibicarakan dan semua orang sibuk mencari penyebabnya, sembari menyalahkan Sepakbola sebagai permainan berbahaya yang layak dihentikan selama beberapa pekan. Saya sama sekali tak ingin memprotes penghentian pertandingan liga tersebut, karena dunia Sepakbola kita memang layak berduka. Tapi apalah arti penghentian sementara ini jika tak ada satupun sistem ataupun kelakuan dibenarkan.
Kerumunan pada pertandingan Sepakbola dan penonton dangdut pada dasarnya adalah sama, bedanya pada Sepakbola orang datang dengan fanatisme besar. Biasanya mereka terbelah pada pilihan dukungan yang lalu secara refleks membuat kedua pihak terbelah ini akan saling bermusuhan sepanjang pertandingan berlangsung. Perbedaan pada akhirnya adalah hal yang wajar, bahkan bentuk gigi manusia saja tak ada yang sama. Masalahnya, siapkah bangsa kita pada perbedaan?
Pertanyaan diatas tentu mudah dijawab karena sejak kecil aneka jargon sudah memberi kamuflase kebesaran bangsa ini. Tapi bagaimana jika saya coba mengganti pertanyaan saya menjadi "Bangsa kita ini cukup punya otak gak sih untuk paham perbedaan itu apa?”
Andibachtiar Yusuf
Pembuat film dan pemerhati sepakbola
@andibachtiar
Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.
*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Anda bisa sampaikan dalam kolom komentar di bawah ini.