Mengapa Pilot Lebih Sulit Mengendalikan Boeing 737 MAX?
12 Maret 2019Pesawat model 737 MAX adalah andalan baru perusahaan Boeing untuk menggantikan model Boeing 737 yang paling sukses dalam sejarah penerbangan komersial. Pesawat baru ini memang laku keras. Sampai sekarang sudah ada lebih 5000 pesanan yang masuk ke Boeing, 350 pesawat sudah dikirim ke maskapai-maskapai pembeli.
Setelah terjadi dua kecelakaan dalam selang waktu tidak sampai setengah tahun dengan model 737 MAX, Boeing kini berada dalam sorotan dan pengawasan ketat. Setelah pesawat Ethiopian Airlines jatuh dekat Addis Abeba, harga saham Boeing sempat anjlok lebih dari 10 persen.
Kecelakaan pesawat hari Minggu (10/3) adalah kecelakaan kedua yang melibatkan model pesawat yang sama, Boeing 737 MAX 8, setelah kecelakaan Lion Air di Laut Jawa Oktober 2018, yang menewaskan seluruh 189 penumpang dan awak pesawat.
Persaingan ketat dan masalah aerodinamika Boeing 737
Sekitar 10 tahun lalu, Boeing memutuskan untuk membuat pesawat baru menggantikan model 737 yang merupakan pesawat paling laris dalam sejarah penerbangan komersial. Persaingan bisnis pesawat memang makin ketat, dengan munculnya perusahaan dirgantara Eropa Airbus yang menyasar pasar di segmen yang sama. Airbus cukup berhasil memasarkan model A 320 yang laku keras untuk penerbangan jarak dekat. Boeing pun berusaha membalas langkah Airbus dengan model pesawat baru.
Secara teknis, A320 mampu mengakomodasi mesin yang lebih besar di bawah sayapnya, sedangkan model Boeing 737 tidak bisa melakukan itu dengan mudah, karena sayapnya lebih dekat ke tanah dibanding model Airbus. Padahal, permintaan untuk jenis pesawat jarak dekat terus meningkat. Untuk mengembangkan model pesawat yang sama sekali baru, Boeing perlu investasi besar. Tetapi perusahaan itu masih bersaing keras di segmen penerbangan jarak jauh dengan model 787, sebagai saingan model Airbus A350.
Boeing kemudian memutuskan tidak membuat rancangan baru, tetapi memperbaiki model 737. Untuk memasang mesin baru pas di bawah sayap, modul roda pendaratan harus dibuat lebih tinggi, memastikan jarak yang cukup ke tanah. Selain itu, mesin-mesin baru harus dipasang terpisah lebih jauh dari biasanya.
Perubahan-perubahan ini mengubah aerodinamika pesawat. Dan pada gilirannya bisa menyebabkan pesawat cenderung "mengangkat hidungnya" ketika berada di udara. Dalam situasi terburuk, kondisi ini bisa berdampak pada modul kompresor dan membuatnya tidak berfungsi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kecelakaan pesawat.
Masalah teknologi otomatis dan komunikasi?
Untuk mengatasi kemungkinan dampak ini, Boeing lalu menggunakan teknologi khusus yang disebut Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), yang secara otomatis menurunkan hidung pesawat. Namun Boeing gagal mengomunikasikan pembaruan software ini secara komprehensif kepada maskapai maupun pilot dan tidak memasukkan materi itu ke dalam program pelatihan regulernya.
Menurut para ahli, kegagalan komunikasi ini bisa menyebabkan kecelakaan, karena software cenderung mengangkat hidung pesawat secara otomatis, ketika pilot dalam situasi tertentu justru sengaja ingin menurunkannya. Kondisi ini membuat pesawat suatu saat berada dalam formasi "stall", yaitu kehilangan gaya angkat aerodinamik karena "hidung pesawat terangkat terlalu tinggi" sementara kecepatan terlalu rendah (biasanya jika pesawat berada dalam kemiringan lebih dari 15 derajat untuk waktu cukup lama).
Asosiasi pilot di Amerika Serikat sempat mengeritik Boeing karena komunikasi yang tidak memadai.
Memang belum jelas apakah kecelakaan hari Minggu disebabkan oleh masalah teknis yang serupa atau terkait dengan karakteristik Boeing 737 MAX. Namun politik informasi Boeing bisa berakibat fatal bagi perusahaan maupun bagi nyawa penumpang dan awak pesawat.
Hari Senin (11/3) setelah kecelakaan Ethiopian Airlines Boeing menyatakan akan memperbaiki sesegera mungkin softwarenya untuk model 737 MAX 8 "dalam beberapa bulan ke depan.. untuk membuat pesawat yang sudah aman ini menjadi lebih aman lagi".
hp/na (afp, rtr, dpa)