Irak - Invasi, Pembebasan atau Pendudukan?
8 April 20139 April 2003, warga Irak merobohkan patung besar Saddam Hussein di Lapangan Firdaus. Simbol kekuasaan diktator bagi penentang penguasa Irak saat itu. Sepuluh tahun kemudian, warga Irak masih belum sependapat, apakah invasi pasukan Amerika Serikat dan jatuhnya Saddam Hussein adalah sebuah pembebasan, invasi atau pendudukan?
Krisis politik yang berlanjut
„Bagi saya itu adalah "invasi dengan tujuan baik, tetapi bukan pembebasan", ujar Amal Ibrahim. Perubahan di Irak membawa dampak yang sangat positif bagi perempuan Syiah usia 43 tahun itu. Ayahnya, seorang dokter pembangkang, dibunuh oleh orang-orang Saddam. Kini dia memiliki posisi penting di Sekretariat Dewan Menteri Irak. Akar dari masalah yang dihadapi Irak saat ini dilihatnya pada peraturan dan undang-undang yang disahkan oleh Administrator AS Paul Bremer saat pendudukan.
Rakyat dituding sudah diisolasi oleh kelompok elit dalam proses penunjukan Dewan Pemerintah pertama. Gaji politisi dianggap terlalu tinggi dan mereka punya terlalu banyak privilese. Yang diutamakan tidak lagi kepentingan Irak, melainkan kepentingan mereka sendiri. Yang pasti, sejak penarikan pasukan AS akhir 2011, Irak mengalami krisis politik yang berlanjut.
Masa lalu yang sangat sulit
Irak memang telah menjalani masa yang sangat sulit. Tiga dasawarsa diktator, tiga perang, pemberontakan yang tak terhitung jumlahnya serta embargo yang berlangsung hampir sepuluh tahun telah mencekik kehidupan rakyat. Melalui invasi AS tahun 2003, Saddam Hussein memang berhasil dijatuhkan, tapi kekacauan muncul, penjarahan dan pertempuran baru memperebutkan kekuasaan.
Organisasi Al Qaida melancarkan aksi terornya. Mulai pertengahan 2006 ekstremis religius dan politis menambah kekacauan dengan amukan kekerasannya. Syiah dan Sunni saling bantai. Warga Kristen dibunuh, gereja dibakar. Saat puncak kekerasan, PBB memperkirakan, hingga 3000 orang Irak tewas setiap hari. Areal yang dulunya merupakan kawasan etnis berubah menjadi kawasan terpisah menurut etnis dan kepercayaan. Setelah itu, pertempuran perlahan-lahan berkurang dan serangan teroris menurun.
Tekanan terhadap pemerintah
Pada dua tahun terakhir jumlah pos-pos pengamanan di seputar dan di dalam kawasan pemerintah yang disebut "Zona Hijau" ditingkatkan. Perdana Menteri Nuri al-Maliki juga merangkap menteri dalam negeri. Tak seorang pun tampaknya mau bekerja sama dengannya. Hampir tiap hari diajukan permohonan mengundurkan diri dari posisi penting pemerintah yang berantakan. Al Qaida dan organisasi teror "Irak Negara Islamis" serta sekitar selusin kelompok ekstremis religus lainnya, kembali beraksi. Pengamat mengkhawatirkan pecahnya perang saudara baru.
Kaum muda nikmati kebebasan
Sementara itu, warga Baghdad sendiri kelihatannya tidak peduli dengan hal ini. Kawasan tertentu misalnya, Lapangan Firdaus, Karrada yang dulu sepi pada sore hari, kini ramai dipenuhi orang-orang sampai larut malam. Juga jalan sepanjang sungai penuh dengan pejalan kaki. Teater, konser dan restoran tidak kurang pengunjung. Kaum muda Baghdad tampaknya menghargai kebebasan sejak sepuluh tahun ini dan menomorduakan masalah keamanan. Bagi mereka, yang juga penting adalah internet sebagai jendela ke dunia luar dan kebebasan bepergian. Sebuah jajak pendapat dari Dewan Menteri menyebutkan, kaum muda Irak di bawah usia 25 tahun melihat invasi AS dan Inggris sepuluh tahun silam sebagai pembebasan.