Islamis Kuasai Mali Utara
17 Juli 2012Beberapa pekan lalu, bendera Mali masih berkibar di kantor administrasi propinsi di kota Timbuktu. Sekarang, polisi Islam menduduki kantor itu, dan di atas gedung berkibar bendera berwarna hitam milik gerakan Ansar Dine. Di jalan utama, kelompok yang menyebut diri penjaga iman itu menempatkan plakat berukuran besar, yang bertuliskan: Timbuktu berdasarkan Islam. Hukum Islam syariah berlaku di sini.
Juru bicara Oumar Ould Hamaha menjelaskan, "Kami ingin melaksanakan hukum syariah di seluruh Mali dan Afrika, mulai dari matahari terbit sampai terbenam! Kita semua harus hidup dan bertindak sesuai sikap orang Islam yang baik, dan mati sebagai martir. Sebagian besar warga Mali sudah beragama Islam, tetapi mereka perlu kepemimpinan. Kami akan memerintahkan kepada mereka, bagaimana mereka harus hidup."
Hukum Syariah
Tetapi hidup di bawah kekuasaan Ansar Dine ibaratnya mimpi buruk bagi warga di bagian utara Mali. Perempuan, yang tidak menutup muka dengan cadar, dipecut di muka umum. Bahan pangan sangat kurang dan penyakit mulai menyebar. Organisai bantuan melaporkan adanya pemerkosaan, dan anak-anak direkrut menjadi tentara.
Penghancuran makam bersejarah di Timbuktu juga terus berjalan. Orang-orang ekstrimis Islam itu menganggap kepercayaan akan orang suci tidak sesuai dengan Islam. Abdrahmane Ben Essayouti, imam mesjid Sankoré bertutur, "Timbuktu hampir kehilangan jiwanya. Timbuktu dilanda vandalisme yang tak terkira. Para pembunuh berdarah dingin menempatkan pisau di leher warga Timbuktu!"
Dorong Perlawanan
Perdana Menteri sementara Mali, Cheick Modibo Diarra kini mendorong diadakannya perlawanan besar untuk menghalau kelompok radikal Islam dari bagian utara negara itu, dan merebut kembali daerah Tuareg, Azawad. Persatuan Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) terus melancarkan tekanan terhadap PBB. Masyarakat internasional harus segera mengeluarkan resolusi. Mali perlu lampu hijau, agar dapat mengirimkan pasukan berjumlah 3.300 orang, yang dipimpin Nigeria, ke Mali utara.
Florent Geel, petugas urusan daerah Sahel (kawasan yang membatasi daerah Gurun Sahara dan selatan Sahara) dari Liga Hak Asasi Internasional berpendapat, intervensi militer berbahaya, selama ibukota Mali, Bamako, masih berada di tangan orang yang menggulingkan kekuasaan. "Kami tidak mengarapkannya," demikian Geel sambil menambahkan, "Penempatan militer tidak bertanggungjawab, selama di bagian selatan Mali tidak ada stabilitas politik." Menurutnya, orang harus terus berunding dengan penguasa bagian utara. Jika itu tidak berhasil, walaupun disesalkan, inervensi militer menjadi alternatif berikutnya.
Bantuan dari Luar Dibutuhkan
Perundingan antara utara dan selatan tidak berhasil. Tampaknya, Mali tidak mampu mengatasi sendiri. Walaupun negara itu berhasil membentuk pemerintahan baru, mengatasi masalah dengan kelompok ekstrimis di utara tidak mudah tanpa bantuan dari luar. Pertama, pasukan ECOWAS tidak punya pengalaman berperang melawan kelompok radikal Islam di gurun pasir. Kedua, Perancis yang dulu menjadi penjajah kemungkinan besar tidak mau campur tangan. Di Mali Perancis juga tidak dianggap pihak yang jujur.
Ketiga, Aljazair jelas tidak ingin perang terjadi di dekatnya. Di samping itu, sepertinya dinas rahasia Aljazair menjadikan kepala Ansar Dine, Iyad Ag Ghali, sebagai mitra diskusi. Yaitu untuk mengimbangi pemimpin Al Qaeda yang tidak disukai di daerah Maghreb, serta kelompok jihad MUJAO (The Unity Movement for Jihad in West Africa).
Skenario Buruk
Pakar terorisme Yves Trotignon mengatakan, "Jika orang mengulur waktu, itu akan menguntungkan kaum radikal Islam. ECOWAS hampir tidak punya kemampuan untuk mendesak jalan keluar perundingan. Sementara itu Perancis menghadapi blokade, karena hubungan diplomatisnya dengan Aljazair yang sulit dari segi sejarah." Selain itu, tidak ada yang tahu, seberapa kuat Ansar Dine dan berapa jumlah pengikut MUJAO. Juga berapa lama mereka dapat menahan serangan barat atau pasukan ECOWAS. Demikian ditambahkan Trotignon.
Kekacauan nampaknya sempurna, sementara situasi politik dalam dan luar negeri mengalami jalan buntu. Tidak ada orang yang menginginkan terbentuknya daerah Sahel yang radikal Islam di bagian utara Mali. Tidak ada yang ingin berlangsungnya perang tidak menentu dan tak kunjung berakhir di padang pasir. Tetapi skenario ini tampaknya semakin akan menjadi kenyataan, selama jalan keluar diplomatis tidak tercapai.
Alexander Göbel / Marjory Linardy
Editor: Hendra Pasuhuk