Israel Sahkan RUU Reformasi Pengadilan, Batasi Kekuasaan MA
25 Juli 2023Jika seperempat juta orang turun ke jalan selama berbulan-bulan, pasti ada banyak hal yang dipertaruhkan. Terutama jika negara itu hanya berpenduduk 9,3 juta orang.
Sejak Januari, Israel menghadapi aksi unjuk rasa terbesar dalam sejarahnya. Reformasi peradilan yang diprakarsai oleh pemerintah dapat mengubah negara ini secara signifikan. Meskipun mendapat protes besar-besaran, Knesset, parlemen Israel, saat ini telah meloloskan elemen inti lain dari reformasi tersebut.
Reformasi peradilan Israel
Pemerintah koalisi sayap kanan dan religius Israel, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, ingin mengatur ulang beberapa aspek pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Israel tidak memiliki konstitusi, sehingga interaksi lembaga-lembaga ini diatur oleh undang-undang tersendiri.
Secara tradisional, Mahkamah Agung Israel memiliki posisi yang relatif kuat karena tidak ada badan kedua di parlemen yang dapat mengawasi legislasi Knesset.
Fokus utama saat ini adalah pada apa yang disebut klausul kecukupan. Hingga saat ini, Mahkamah Agung menyatakan keputusan pemerintah "tidak tepat" dan oleh karena itu, membuatnya batal demi hukum. Pemerintah Netanyahu ingin mengakhiri klausul ini.
Setelah pemungutan suara pertama pada pertengahan Juli lalu, pemungutan suara yang menentukan dilakukan pada hari Senin (24/07). Dari total 120 anggota Knesset, semua 64 anggota parlemen pemerintah memilih ya, yang berarti Rancangan Undang-Undang tersebut telah disahkan.
Langkah selanjutnya dari reformasi yudisial ini akan kembali dilakukan pemungutan suara di Knesset pada awal musim gugur, yang jika disahkan menjadi Undang-undang, maka akan memberikan pemerintah lebih banyak kekuasaan atas penunjukan hakim. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, Netanyahu telah mengindikasikan bahwa ia mungkin bersedia untuk mengalah dalam hal ini.
Pendapat pihak yang mendukung
Tidak seperti 120 anggota Knesset, para hakim tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Itulah sebabnya pemerintah dan para pendukungnya berargumen bahwa reformasi peradilan yang mereka usulkan akan memperkuat demokrasi Israel. Dari sudut pandang mereka, lembaga peradilan memiliki kekuasaan yang terlalu besar dan reformasi yang diusulkan justru akan meningkatkan keseimbangan antar lembaga.
Belum lama ini, para pendukung reformasi juga turun ke jalan untuk melakukan protes tandingan. Menurut laporan media, ada sekitar 50.000 orang di Tel Aviv pada Minggu (23/07) malam, termasuk banyak penduduk dari daerah lain di negara itu dan para pemukim dari Tepi Barat yang diduduki Israel.
Reformasi peradilan didukung oleh partai-partai nasionalis dan religius dalam koalisi pemerintahan. Menteri Keamanan Israel Itamar Ben-Gvir belum lama ini menyatakan bahwa partainya "Kekuatan Yahudi" akan menolak "pelunakan" rancangan undang-undang tersebut sebagai "pengebirian". Ia meminta koalisi untuk mengesahkan undang-undang tersebut dalam bentuknya yang sekarang dan melanjutkan bagian selanjutnya dari reformasi tersebut.
Kritik reformasi peradilan
Bagi para pengkritik reformasi, bagaimanapun juga, pemerintah merencanakan tidak lebih dari "penghancuran demokrasi", sebuah slogan yang tertera pada banyak poster dan spanduk. Para pengunjuk rasa juga membuat perbandingan dengan Polandia dan Hungaria, yang pemerintahnya juga dituduh mencoba merestrukturisasi peradilan.
Para kritikus berpendapat bahwa reformasi peradilan di Israel dapat menyebabkan perpecahan yang lebih dalam di masyarakat. Di masa lalu, Mahkamah Agung telah berulang kali membela nilai-nilai seperti kesetaraan gender dan perlindungan minoritas seksual terhadap pembatasan agama yang ketat. Banyak warga Israel yang menganggap diri mereka sekuler, sayap kiri atau liberal, khawatir restrukturisasi ini akan memperkuat sayap ultra-Ortodoks.
Apa selanjutnya?
Pihak berwenang sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi lebih banyak lagi aksi protes: Menurut polisi, para petugas bersiap-siap jika mereka harus mencegah para pengunjuk rasa memasuki Knesset.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil seperti "Gerakan untuk Pemerintahan yang Berkualitas" mengatakan setelah pemungutan suara bahwa mereka akan membawa klausul kecukupan yang telah direvisi tersebut ke Mahkamah Agung.
Para hakim nantinya harus memeriksa apakah pelemahan parsial yang mereka lakukan merupakan tindakan yang konstitusional. Jika mereka menghalangi reformasi, Israel mungkin akan berada di ambang krisis nasional. Untuk menghindari hal ini, pemerintah kemungkinan besar harus menarik kembali reformasi, sebuah skenario yang diperkirakan oleh banyak pengamat akan menyebabkan runtuhnya koalisi.
(ha/pkp)