Jamur Pelawan Asli Bangka Kian Mahal Akibat Perubahan Iklim
22 Juli 2022Jika Prancis punya jamur truffle, Indonesia punya jamur pelawan asli Pulau Bangka sebagai jamur termahal. Namun, karena pemanasan global, warga lokal kini sulit memprediksi waktu tumbuh jamur yang konon "lahir akibat tersambar petir" ini.
Jamur pelawan (Heimioporus sp.) adalah jamur khas yang tumbuh di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, dan hidup di dekat pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis). Karena itulah jamur ini dinamai sama dengan pohon pelawan. Jamur pelawan segar berwarna pink merona, mirip seperti warna batang pohon pelawan.
Ciri fisiologis jamur pelawan segar antara lain berukuran sekitar lima sentimeter dan memiliki mahkota berwarna merah. Seperti jenis jamur lainnya, masa hidup jamur atau kulat pelawan relatif pendek antara 2-3 hari.
Meggi Rhomadona Purnama, pemandu wisata sekaligus pecinta lingkungan dari Belitung yang rajin berburu beragam jenis jamur lokal, mengatakan bahwa meski sekilas terlihat seperti berwarna pink, jamur pelawan segar memiliki tudung berwarna oranye kemerahan yang merona. Jamur ini juga memiliki warna kuning di bagian tudung bawahnya.
Menurut Meggi, jamur ini punya rasa khas. "Jamurnya ini seperti mengeluarkan kaldu, aromanya enak banget. Sulit dijelaskan dengan kata-kata," ucap Meggi sambil diiringi tawa.
Harganya bukan main
Ragil Imam Wibowo, selebriti chef dan pemilik restoran Nusa Indonesia Gastronomy di Jakarta mengatakan bahwa jamur atau kulat pelawan dianggap sebagai truffle khas Indonesia karena harganya yang mahal. Sebagai pembanding, di Jakarta jamur tiram dihargai sekitar Rp20 ribu per kilogramnya, tapi harga jamur pelawan kering bisa mencapai jutaan rupiah per kilogram.
"Kalau untuk harga normal karena jamurnya lagi banyak dan lagi musimnya, harganya Rp2 juta per kilo, kering (tidak segar). Kalau lagi susah, bukan musimnya, bisa Rp5-6 juta per kilo, kering," kata Chef Ragil kepada DW Indonesia.
Sementara itu, Jailani, Assistant Beverage Manager Pasola Restaurant The Ritz-Carlton Jakarta, mengungkapkan bahwa tingginya harga jamur pelawan tergantung dari proses pengeringannya.
Sayangnya, harga jamur pelawan di tingkat penjual lokal jauh di bawah harga jamur kering di Jakarta. "Kalau di tingkat lokal penjual langsung ke pengepul di Tanjung Pandan itu paling bisa beli Rp500 ribu sekilo kering. Itu pun dalam kondisi bagus, utuh, tidak dipotong," ujar Meggi kepada DW Indonesia.
Seperti apa rasanya?
Di dunia kuliner, kulat pelawan dikenal punya cita rasa berbeda dengan jamur lain. Chef Ragil mengungkapkan bahwa jamur pelawan punya rasa yang tercipta dari proses pengeringan.
"Karena sudah diasap memberikan lapisan rasa dari jamur lain, walau dia jamurnya kecil tapi rasanya spesifik," ungkap pria yang juga mengolah jamur ini menjadi sajiannya di restorannya, misalnya Ayam Lempah Kulat Pelawan yang dimasak selama 6 jam.
"Jamur ini memang makanan perayaan, misal saat ada tamu, misalnya di gulai. Gulainya itu makanan sehari-hari, tapi kalau ditambah kulat pelawan akan jadi lebih spesial," ujar Ragil.
Mengolah jamur pelawan diakui Ragil tidaklah mudah. Salah satu tantangannya adalah jamur yang tidak bisa dipakai mendadak. Sebelum diolah, jamur harus direndam semalaman agar lembut dan mengurangi rasa asap.
Sementara Jailani mengolah jamur Pelawan menjadi berbagai jenis makanan seperti Risotto Pelawan Mushroom, Pelawan Mushroom Salmon Gravelax juga menggunakan jamur pelawan sebagai penguat rasa asap untuk membuat saus jamur. Jailani juga setuju kalau jamur ini punya aroma yang kuat dan khas.
"Kulat pelawan segar memiliki tekstur kenyal perpaduan jamur kuping dan jamur merang, tidak sekenyal jamur kuping tapi tidak selembut jamur merang," ujar Jailani kepada DW Indonesia.
Lahir karena disambar petir?
Kulat pelawan juga diyakini punya syarat hidup yang unik. Masyarakat setempat yakin bahwa kulat pelawan 'lahir' usai ada sambaran petir. Tak heran, jamur ini juga sering disebut warga sebagai jamur petir.
Namun Dr. Iwan Saskiawan, peneliti di Pusat Mikrobiologi Terapan dan Jamur Budidaya BRIN, tidak bisa memastikan kebenaran mitos ini. Iwan menyebut kulat pelawan ini bersifat indigenious artinya, hidup spesifik di area tertentu, yaitu di Pulau Bangka dan Belitung. Sebenarnya, pohon pelawan tak cuma tumbuh di kedua tempat tersebut, tetapi juga ada di beberapa daerah lainnya di Indonesia seperti Kalimantan dan Sumatera. Namun, kulat pelawan tumbuh di Pulau Bangka dan Belitung.
Demikian pula ahli mikologi Institut Pertanian Bogor Profesor Lisdar A. Manaf. Ia mengatakan belum bisa menemukan bukti ilmiah bahwa petir bisa membantu 'melahirkan' jamur pelawan. "Masyarakat setempat sudah tahu sekali, begitu ada petir, jamurnya akan keluar. Akan tetapi, sebenarnya kalau soal tersambar petir ini belum bisa dibuktikan secara ilmiah," ucapnya kepada DW Indonesia.
Baik Iwan dan Profesor Lisdar meyakini bahwa sambaran petir akan memberikan lonjakan elektromagnetik yang kuat dan memberikan kondisi ekstrem bagi jamur untuk pembentukan tubuh buah (tangkai jamur).
"Tubuh buah jamur pelawan terbentuk dari hasil perkawinan seksual. Umumnya kalau seksual butuh kondisi syok atau kondisi ekstrem agar tubuh buah bisa keluar. Mungkin saja peran petir ada di sini. Kalau soal kondisi ekstrem untuk pembentukan tubuh buah itu sudah terbukti ilmiah, tapi kalau soal harus disambar petir dulu masih perlu penelitian lagi," ucap Lisdar.
Suhu makin hangat, waktu tumbuh "berantakan"
Menurut Lisdar, jamur pelawan saat ini masih sulit dibudidayakan. "Pelawan ini sama seperti truffle, bersimbiosis dengan pohon oak. Sudah pernah ditumbuhkan di laboratorium tapi belum bisa karena harus ada tanaman inangnya," ujar Lisdar.
Tantangan lain yang dihadapi adalah soal pemanasan global. Lisdar mengungkapkan bahwa peningkatan suhu mengancam kelangsungan tumbuhnya jamur pelawan.
"Naik satu derajat saja itu sudah tinggi sekali. Akan menyebabkan tubuh buah jamur tidak tumbuh. Bukan hanya jamur pelawan, pemanasan global ini pada akhirnya akan mengancam keanekaragaman jamur."
Sebagai pria yang sudah lama gemar mengumpulkan jamur lokal, Meggi Purnama merasakan betul dampak ini. Ia mengeluhkan pemanasan global yang membuat waktu tumbuh kulat pelawan berantakan dan sulit ditebak.
"Dulu, 10 tahun ke belakang, panen jamur pelawan itu masih ketahuan kapan tumbuhnya, dari akhir Maret sampai awal April, dan akhir September sampai awal Oktober."
"Dulu 2 kali setahun dan selalu di bulan itu. Nah kalau sekarang susah ditebak. Tahun lalu bisa jadi 4 kali tumbuh setahun, waktunya sudah random. Selain itu, area persebaran pertumbuhan kulatnya juga tidak merata," ujar Meggi menyayangkan. (ae)