Jangan Remehkan Masalah Kesehatan Mental Ibu
28 Maret 2022Kemiskinan, latar belakang ekonomi, serta tekanan dari orang-orang terdekat kerap kali membuat orang merasa stres dan bahkan melakukan tindak kekerasan yang berujung mengakhiri hidupnya sendiri atau orang-orang di sekitarnya. Tekanan ini juga sering dialami para ibu muda yang bebannya kian bertambah sejak pandemi COVID-19.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menilai sebab tindak kekerasan yang dilakukan ibu kepada anaknya biasanya karena adanya indikasi persoalan dengan dampak kejiwaan yang dihadapi sang ibu.
Tak hanya itu, ia memprediksi banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak akibat dampak dari pandemi COVID-19 yang berkepanjangan.
Beban ibu bertambah
Studi awal Komnas Perempuan menunjukkan salah satu dampak dari pandemi terkait pembatasan mobilitas dan kapasitas ekonomi menyebabkan banyak orang merasa stres dan tertekan, relasi di dalam keluarga lebih tegang, intensitas kekerasan bertambah, serta himpitan ekonomi karena kehilangan atau berkurangnya sumber penghasilan.
"Pada perempuan, tekanan ini menjadi parah karena semua aktivitas berporos di rumah, menyebabkan ibu memiliki berkali lipat beban pengerjaan domestik dan juga ditambah pengasuhan anak di jam sekolah," ujar Andy Yentriyani dalam pernyataan tertulis kepada DW Indonesia.
Hal tersebut dapat menyebabkan stres bahkan lejar, yang bisa berujung tindakan-tindakan ekstrem jika tidak segera dideteksi, diurai, dan disokong pemulihannya.
Rosdiana Setyaningrum, psikolog dan Direktur di MS School & Wellbeing Center dan Discovery Zone Therapy Centre banyak orang menganggap perempuan hanya punya kodrat hamil, melahirkan dan mengerjakan semua pekerjaan rumah. Padahal masalah yang dihadapi saat di rumah itu banyak sekali.
Belum lagi ditambah kekerasan yang dialami masa kecil dan tekanan ekonomi sehingga banyak ibu merasa tidak ada artinya hidup, masa depan suram dan bisa berhalusinasi. "Yang dia rasakan itu tidak berdaya, tidak ada yang menolong dan merasa bukan sebagai ibu yang baik sehingga takut anak-anaknya menderita sehingga mengakhiri hidup dianggap jalan keluar," ujar Rosdiana.
Berempatilah dan ajak bicara
Rosdiana mengatakan menghadapi orang yang diduga mengalami depresi tak boleh dengan hujatan, melainkan dengan dukungan dari orang terdekat seperti keluarga dan teman. "Sebaiknya kalau belum bisa membantu tak usah berkomentar, jangan dihujat, jangan julid, diam saja, itu lebih baik ketimbang berkomentar julid," kata dia.
Menurutnya, cara membantu orang depresi bermacam-macam. Jika dirasa sudah parah, maka sebagai rekan kita harus mengajak untuk berobat ke psikiater. Namun apabila masih dalam tahap tingkat awal maka bisa memberikan dukungan dan mengajak ngobrol.
"Bantu menjaga anaknya agar ibu bisa sedikit bernapas, kalau mereka cerita didengerin, tidak perlu dibandingkan dengan kehidupan orang lain, minimal sediakan telinga untuk orang lain karena belum tentu orang lain kuat menghadapi masalah yang sama," katanya.
Ia menyebut gejala-gejala orang depresi terlihat dari wajahnya yang tiba-tiba murung, padahal tadinya senang dan ceria, rambut nampak acak-acakan, sering mengeluh tidak bisa tidur, dan menuliskan kata-kata galau di media sosial.
Masalah kesehatan mental bukan aib
Rosdiana menilai salah satu cara untuk mengurangi angka depresi pada perempuan adalah sosialisasi untuk berkonsultasi pada ahli karena sering kali orang menganggap pergi ke psikiater adalah hal tabu.
"Depresi itu bukan aib, kita bisa cari bantuan kalau kita merasa kesulitan. Yang gratis pun sudah ada di RSUD dan Puskesmas. Depresi itu tidak boleh diremehkan. Kalau ibunya saja sudah tidak sehat mentalnya bagaimana dirinya bisa mengurus anak dengan baik," kata dia.
Hal senada disampaikan oleh Nirmala Ika Kusumaningrum, psikolog klinis dari Enlightmind.id. Menurut dia, edukasi masalah kesehatan mental di Indonesia itu sangat lemah karena kerap dianggap remeh oleh masyarakat.
"Seperti dulu ngurus anak 5 sendiri tidak apa-apa, atau IRT stres apa di rumah. Di Indonesia semua itu dianggap remeh, kita cenderung meremehkan kesehatan mental," katanya.
Menurut dia, seharusnya edukasi kesehatan mental itu sama dengan penyakit lain seperti sakit kepala, sakit gigi karena kesehatan manusia diukur dari mind, body and soul. "Periksa kesehatan mental itu bukan aib. Ini masalah riil bukan karena tidak punya daya juang," lanjutnya.
Ia menyayangkan pelayanan kesehatan mental yang belum optimal di Indonesia, padahal jika kesehatan mental dibiarkan akan menimbulkan efek domino. Misalnya, seorang ayah yang mengalami stres di kantor maka akan marah di rumah kepada istri. Istri akan marah ke anak. Akhirnya anak menjadi anak yang tertekan atau bisa mem-bully teman-temannya.
Kendala lainnya, kata dia, tenaga kesehatan mental juga terbatas di Indonesia. "Pemerintah harus perbanyak tenaga kesehatan mental ke seluruh Indonesia. Puskesmas juga harus punya relawan yang menerangkan kesehatan mental dari desa ke desa. Sosialisasinya harus sama dengan penyakit lainnya," ujar dia. (ae)
Jika Anda menderita ketegangan emosional serius atau berpikiran untuk bunuh diri, jangan ragu mencari bantuan profesional. Temukan informasi untuk meminta bantuan dan pertolongan di mana pun Anda berada di: befrienders.org