Jepang: Imigrasi dan Teknologi Solusi Kekurangan Penduduk
9 Februari 2024Sektor pertama yang mengeluhkan kelangkaan tenaga kerja adalah rumah sakit dan panti jompo. Masalah kemudian menyebar ke bidang konstruksi, jasa pengiriman barang, perusahaan taksi, kehutanan hingga masinis kereta api.
Kelangkaan juga dikeluhkan di bidang pendidikan, ketika Januari silam pemerintah pusat meminta semua dinas pendidikan daerah melaporkan jumlah kekurangan tenaga pengajar menjelang tahun akademik baru, April mendatang.
Survei tahun lalu menyebutkan, 29 dari 68 prefektur di Jepang kekurangan guru. Buntutnya, Kementerian Pendidikan mencanangkan program senilai USD3,3 juta untuk memancing minat lulusan universitas untuk bekerja sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah.
Namun para analis meyakini, pemerintah dan swasta di wilayah pedesaan tetap akan kesulitan menemukan tenaga kerja yang sesuai karena harus bersaing dengan kota-kota besar.
Solusi cepat datangkan tenaga kerja asing ke Jepang
Salah satu solusi yang telah diupayakan pemerintah Jepang adalah melonggarkan aturan masuk bagi tenaga kerja asing, meski untuk sementara. Pada tahun 2019, pemerintah mengizinkan masuknya tenaga kerja terampil selama lima tahun di sektor-sektor yang paling terdampak.
Pemerintah awalnya memperkirakan akan mencatatkan kedatangan 345.000 tenaga kerja baru melalui sistem ini. Kenyataannya, hanya 3.000 orang yang lolos setiap bulan pada tahun pertama. Gagalnya program pemerintah antara lain disebabkan pandemi COVID-19 yang membatasi perpindahan penduduk di dunia.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Meski begitu, pemerintah di Tokyo hari Senin (5/2) mengumumkan akan menambah empat kategori baru ke dalam golongan tenaga kerja terampil. Nantinya, kemudahan visa juga dijamin bagi pengemudi bus atau taksi, masinis kereta api atau buruh kayu di industri kehutanan.
"Namun demikian, imigrasi tetap bukan solusi berkelanjutan," ujar Hiroshi Yoshida, profesor di Pusar Penelitian Penuaan Ekonomi dan Masyarakat di Universitas Tohoku,
"Jepang tidak memiliki kebudayaan yang terbuka dan mampu menerima tenaga kerja asing, dan bahasa juga jadi masalah," kata dia. "Selain itu, mungkin tidak mudah untuk menarik minat tenaga kerja asing dari negara asia Timur lain, karena mereka juga menghadapi turunnya tingkat reproduksi."
Aplikasi teknologi sebagai solusi
Solusi lain yang ingin dikedepankan oleh pemerintah adalah memaksimalkan potensi aplikasi teknologi tinggi, seperti otomatisasi, robotika dan kecerdasan buatan. Jika digabungkan, ketiga teknologi akan mampu membantu Jepang mengatasi kelangkaan tenaga kerja.
Jepang sejak lama mencatatkan tingkat kepadatan robot industri dan manufaktur tertinggi di dunia, sebelum digeser Korea Selatan pada 2009 silam. Saat ini, robot-robot sudah mulai digunakan di sektor nonmanufaktur, seperti restoran, retail, pergudangan, komunikasi dan transportasi.
Martin Schulz, ekonomis kepala di Unit Intelijen Pasar Global Fujitsu, juga meramalkan peran besar kecerdasan buatan.
"Populasi Jepang menyusut dengan laju yang sama seperti misalnya kehilangan warga kota sebesar Frankfurt setiap tahunnya," kata dia, merujuk pada kota berpenduduk 750an ribu jiwa di Jerman.
"Mencari tenaga kerja menjadi masalah akut sekarang ini, tapi kita juga melihat perubahan besar di sini. Robot sekarang melayani di restoran dan tidak ada tanda-tanda penolakan dari masyarakat."
"Kecerdasan buatan generatif juga akan dipahami dan diterima, serta menjadi hal yang benar-benar dibutuhkan oleh bangsa yang secara demografis menua."
rzn/as