Jerman, Bersekutu dengan AS dan Berbisnis dengan Cina
9 September 2021Cina telah menjadi mitra dagang terpenting Jerman sejak 2015. Setelah tujuh tahun negosiasi, Uni Eropa menandatangani Perjanjian Komprehensif tentang Investasi (CAI) dengan Cina pada Desember 2020, di bawah kepresidenan Dewan UE Jerman.
Hubungan Berlin dan Beijing berkembang selama 16 tahun kekanselir Angela Merkel dan kini memiliki status "kemitraan strategis yang komprehensif." Selama 10 tahun, kedua negara telah mengadakan konsultasi antar pemerintah secara rutin, yang terbaru terjadi pada April lalu secara virtual.
Namun, hubungan tersebut terganggu karena adanya represi besar-besaran terhadap minoritas Uighur di Xinjiang, penindasan demokrasi di Hong Kong, agresif Beijing di Laut Cina Selatan, hingga gangguan keamanan di Taiwan.
Konflik dengan Cina semakin meningkat, ditandai ketika Uni Eropa untuk pertama kalinya memberlakukan sanksi atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Uighur. Sebagai balasannya, Cina memberlakukan sanksi terhadap anggota parlemen, pejabat, dan akademisi Uni Eropa. Menanggapi hal tersebut, Parlemen Eropa membekukan ratifikasi CAI pada Mei lalu.
Otokrasi yang berhasil
Dalam pandangan strategisnya pada Maret 2019, Komisi Eropa menggambarkan Cina tidak hanya sebagai mitra kerja sama dan pesaing, tetapi juga sebagai pemain global utama dan kekuatan teknologi terkemuka.
"Itulah mengapa Cina terlihat sangat menarik sebagai model bagi banyak negara di dunia," kata Kepala Pusat Diplomasi di Universitas Andrassy Budapest, Heinrich Kreft kepada DW.
"Kami mencatat bahwa Cina sekarang menjadi aktor politik di panggung dunia," ditambah adanya Inisiatif Belt and Road (BRI) yang diumumkan oleh Presiden Xi Jinping pada September 2013. Diplomat itu menyimpulkan: "Pada dasarnya, semua hubungan internasional memiliki aspek Cina."
Memiliki aturan sendiri
Sebagai pemain global, Cina tidak lagi hanya beradaptasi dengan aturan yang dibuat oleh Barat. Pakar yang berbasis di Berlin, Eberhard Sandschneider, mengamati: "Cina membuat aturan mereka sendiri."
Hingga peringatan 100 tahun Republik Rakyat Cina pada 2049, Beijing bertekad menjadi kekuatan sosialis modern dengan kemampuan untuk menetapkan dan membentuk aturan secara ekonomi dan teknologi di peringkat puncak dunia. "Dengan itu, Cina ingin kembali menjadi pusat tatanan dunia", jelas peneliti Cina yang berbasis di Trier, Sebastian Heilmann dalam sebuah wawancara dengan DW. "Dan itu, tentu saja, bertentangan dengan kekuatan hegemonik sampai sekarang, yakni Amerika Serikat."
Konflik antara negara-negara besar
Wang Jisi, Presiden Institut Studi Internasional dan Strategis di Universitas Beijing, menggambarkan konflik antara negara-negara besar dalam jurnal Foreign Affairs edisi Juli/Agustus: "Amerika Serikat dan Cina terlibat dalam persaingan yang mungkin terbukti lebih bertahan lama, lebih luas, dan lebih intens daripada kompetisi internasional lainnya dalam sejarah modern, termasuk Perang Dingin."
Dilema yang dihadapi Berlin: Persaingan ini berkembang di antara sekutunya yang paling kuat, AS, dan mitra dagangnya yang paling penting, Cina. Jerman menghadapi ancaman terjebak di antara pertempuran ini, terutama dalam hal teknologi.
"AS ingin melakukan segala daya upaya untuk mencegah Cina menyalipnya di bidang teknologi utama," kata pakar AS Josef Braml kepada DW. "Yang mencemaskan, AS sekarang ingin menghalangi modernisasi ekonomi dan militer Cina. Itulah sebabnya mereka mengandalkan strategi pemisahan ekonomi, tanpa mempertimbangkan ongkosnya bagi Eropa."
AS atau Cina?
Dengan kebijakan yang mencoba untuk melayani kedua belah pihak, pakar AS, Braml menilai Berlin tidak akan dapat melepaskan diri dari masalah ini untuk selamanya: "Dalam pertempuran untuk memperebutkan pengaruh di bidang tekno-politik, AS akan meningkatkan tekanan pada negara-negara ketiga dan membuat mereka memilih, apakah akan melakukan bisnis dengan Amerika atau Cina."
Saling ketergantungan ekonomi dan pembagian kerja sama di seluruh dunia saat ini, dianggap sebagai risiko dalam pemikiran geo-ekonomi dari kekuatan dunia. Sebagai kekuatan ekonomi yang sangat bergantung pada ekspor, Jerman harus segera menemukan jawaban atas situasi baru ini.
ha/as