1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jerman Dorong Upaya Kemitraan Penanganan Migran

13 Februari 2024

Jerman baru-baru ini menjalin kemitraan migrasi dengan berbagai negara. Tujuannya untuk mengurangi migrasi ilegal – dan pada saat bersamaan mengupayakan migrasi legal. Bisakah ini berhasil?

https://p.dw.com/p/4cJb3
Gambar ilustrasi pencari suaka
Gambar ilustrasi pencari suaka di BerlinFoto: Vladimir Menck/SULUPRESS/picture alliance

Pemerintah Jerman tampaknya tidak kenal lelah dalam urusan migrasi. Menteri Pembangunan Jerman Svenja Schulze baru-baru ini mengumumkan apa yang disebut kemitraan migrasi dengan Maroko selama kunjungannya ke Rabat pada akhir Januari. Hanya dalam beberapa hari kemudian, pada tanggal 6 Februari, dia sudah membuka pusat saran migrasi di Kota Nyanya bersama dengan Menteri Negara Nigeria Nkeiruka Onyejeocha.

Sementara itu Kanselir Olaf Scholz telah merekrut pekerja terampil di Kenya pada Mei tahun lalu dan mengumumkan kemitraan migrasi dengan negara di timur Afrika tersebut.

Nigeria, Maroko, Kenya, Kolombia, India, Kyrgyzstan, Uzbekistan, Georgia dan Moldova -- pemerintah Jerman sedang mengupayakan kemitraan migrasi dengan semua negara ini atau telah menandatangani perjanjian terkait. Perjanjian semacam ini telah berlaku di tingkat Uni Eropa selama lebih dari 15 tahun. Menurut Fasilitas Kemitraan Migrasi (MPF), ada sekitar 50 kemitraan di sana.

Namun apa yang membuat kemitraan ini berbeda dari kerja sama migrasi lainnya?

Bagi Perwakilan Khusus Pemerintah untuk Perjanjian Migrasi Jerman Joachim Stamp, "kemitraan migrasi adalah landasan dari konsep keseluruhan". Menurut Kementerian Dalam Negeri Jerman di mana Stamp berdinas, hal ini mencakup "perubahan paradigma untuk mengurangi migrasi ilegal dan memperkuat migrasi legal."

Berbeda dengan perjanjian migrasi pada umumnya, kemitraan ini lebih bersifat saling percaya dan lebih banyak kerja sama dibangun di bidang pasar tenaga kerja, pelatihan dan migrasi pekerja terampil. Migrasi ilegal menurut mereka seharusnya tidak hanya diberantas, namun juga digantikan dengan imigrasi legal.

Pakar migrasi dari Berlin Science and Politics Foundation (SWP) Steffen Angenendt juga menganggap kemitraan migrasi sebagai hal yang “sangat penting” dan “sangat diperlukan”. Namun: “Hal ini bukanlah obat mujarab bagi pergerakan pengungsi skala besar,” paparnya dalam wawancara dengan DW.

Dia menambahkan: "Perjanjian sebelumnya pada umumnya tidak efektif atau tidak mencapai dampak yang sebenarnya ingin dicapai. Karena semua kemitraan migrasi dan mobilitas UE yang telah disepakati sejak tahun 2007, ditujukan untuk hal ini, terutama untuk menangani imigrasi ilegal. Persoalannya, kepentingan negara mitra kerap terabaikan. Hal ini termasuk, antara lain, perluasan kesempatan bagi para migran legal untuk bekerja, belajar atau menyelesaikan pelatihan di negara-negara UE. Selama kepentingan-kepentingan ini tidak diperhitungkan, kata Angenendt, kemauan politik negara-negara tersebut untuk memenuhi kewajiban perjanjian akan tetap rendah.

Hal ini juga mencakup penerbitan dokumen identitas secara cepat bagi warga negara yang berada di negara lain tanpa hak untuk tinggal agar dapat dikembalikan ke negara asalnya masing-masing. Atau kontrol yang lebih ketat di negara asal terhadap mereka yang ingin meninggalkan negara tersebut.

Tidak cocok untuk negara-negara dalam perang saudara

Jika dicermati, hal ini berarti bahwa kemitraan migrasi hanya berfungsi sebagian untuk mengurangi pergerakan pencari suaka. Kebanyakan orang yang masuk ke Jerman sebagai pencari suaka berasal dari negara-negara yang sedang dilanda perang atau negara-negara yang banyak melanggar hak asasi manusia.

“Kami tidak dapat mengembangkan kemitraan migrasi dengan negara-negara seperti Suriah dan Afganistan,” ujar Stamp. Sebaliknya, pemerintah Jerman berusaha untuk “mendukung negara-negara tetangga yang menerima pencari suaka dari negara-negara tersebut,” demikian katanya dalam sebuah pernyataan.

Menurut Badan untuk Migrasi dan Pengungsi Jerman (BAMF), sebagian besar pencari suaka berasal dari Suriah dan Afghanistan. Selain itu, jumlah pencari suaka asal Turki meningkat dalam tiga tahun terakhir dan kini berjumlah 19 persen. Negara-negara seperti Georgia, yang menjalin kemitraan migrasi dengan Jerman, cenderung berada di urutan terbawah dalam daftar statistik.

“Saya sangat senang kami berhasil mencapai kesepakatan dengan Georgia dan, dalam beberapa minggu ke depan,dengan Moldova,” kata Stamp dalam sebuah wawancara TV. Selain itu, kemitraan migrasi dengan Maroko, yang baru diumumkan pada akhir Januari, “sudah dilaksanakan”. "Setelah bertahun-tahun segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik, kami sekarang memiliki hubungan saling percaya."

Merapikan sistem migrasi

Kesepakatan antara Italia dan Albania untuk mengurangi migrasi ke Italia terkadang disebut sebagai “kemitraan migrasi”, namun tampaknya situasi itu tidak cocok dengan skema ini. Dua pusat penerimaan migran akan dibangun pada musim semi ini di Albania, negara kandidat untuk bergabung dengan UE. Pencari suaka seharusnya mengajukan permohonan suaka mereka di sana.

Oleh karena itu, Menteri Pembangunan Jerman Svenja Schulze dengan sengaja mengambil pendekatan yang berbeda dari Perdana Menteri Italia Meloni, meskipun ia ingin meningkatkan jumlah deportasi bagi migran yang tidak memiliki hak untuk tetap tinggal di Jerman.

Pada peresmian pusat konsultasi migrasi di Negara Bagian Nassarawa, Nigeria, pada awal Februari, ia mengatakan: "Migrasi adalah fakta. Kita harus menghadapinya dengan cara yang menguntungkan semua pihak: Migran, negara asal, dan komunitas yang menerima migran.“ (hp/ap)

Astrid Prange
Astrid Prange de Oliveira Editor DW dengan fokus pada tema Brasil, globalisasi, agama, etika, hak asasi manusia