Jerman Waspadai Penyebaran Ideologi Islamisme
23 November 2020Organisasi bantuan Islamic Relief Deutschland (IRD) di Jerman saat ini sedang tersudut. Pernyataan sebagian anggota dewan eksekutif yang berempati kepada Ikhwanul Muslimin memaksa IRD melakukan pembersihan di jajaran atas.
Langkah itu diambil demi melindungi reputasi organisasi yang sejak lama bekerjasama menyalurkan dana dari dompet kemanusiaan Jerman tersebut. Namun pemerintah di Berlin gagal diyakinkan. Karena itu aliran pendanaan bagi IRD kini dihentikan untuk sementara waktu.
Hal itu diungkapkan oleh Kementerian Dalam Negeri Jerman dalam jawaban terhadap fraksi Partai Demokrat Liberal (FDP) di prlemen Jerman, Bundestag. Menurut keterangan tertulis itu, aliansi “Jerman Membantu” yang mengelola dana bantuan kemanusiaan, telah membekukan keanggotaan IRD hingga akhir 2021.
Kepada kantor berita Deutsche Presse Agentur (DPA), seorang jurubicara Kemendagri Jerman mengatakan Islamic Relief Deutschland dan induk organisasinya, Islamic Relief Worldwide di Birmingham, Inggris, memiliki “hubungan pribadi yang signifikan dengan Ikhwanul Muslimin atau organisasi yang berafiliasi dengannya.”
IRD yang bermarkas di kota Köln berusaha mengusir keraguan pemerintah. “Kami berharap bisa kembali mendapat pendanaan dari Kementerian Luar Negeri seperti untuk proyek kesehatan di Barat Laut Suriah,” kata Direktur IRD, Tarek Abdelalem.
Sementara wakilnya, Nuri Köseli mengingatkan, betapa kerjasama selama ini membuahkan banyak kemajuan, seperti kerjasama mengakhiri praktik sunat perempuan di Mali. Dia juga merujuk pada riset Islamic Relief Worldwide yang akan tuntas Januari mendatang. Studi itu digagas untuk memperketat pemeriksaan dan penindakan terhadap perilaku fungsionaris dan anggota organisasi.
“Kami mengusahakan sesuai batas kemampuan kami untuk menciptakan kejelasan dan mengharapkan bantuan pemerintah Jerman,” kata Abdelalem.
Kisruh bermula ketika seorang petinggi IRD “tanpa sepengetahuan organisasi” menyebar konten antisemit di media sosial, beberapa bulan silam. Adapun seorang anggota kedapatan memuji bekas Presiden Mohammed Mursi dan aktif mengkampanyekan “konten anti-barat.” Keduanya diklaim sudah dipecat dari IRD.
Kampanye anti Ikhwanul Muslimin
Penghentian aliran pendanaan bagi Islamic Relief Deutschland diputuskan menyusul tekanan untuk memeriksa afiliasi ideologi milik organisasi-organisasi Islam pasca serangan teror di Prancis.
Dalam sebuah editorial untuk harian Bild, Direktur Komite Yahudi Amerika (AJC) di Berlin, Remko Leemhuis, dan Direktur AJC Eropa, Simone Rodan-Benzaquen, mendesak Jerman dan Prancis mengakhiri persekutuan dengan organisasi Islam yang menggelorakan islamisme.
Menurut keduanya, “sebagian besar kaum muslim” tidak merasa diwakili oleh organisasi-organisasi tersebut. Persatuan Organisasi Kebudayan Turki-Islam Eropa (ATIB) dan Pusat Kajian Islam Hamburg (IZH) tidak pantas menjadi “mitra dialog dan kerjasama” pemerintah, lantaran sudah menjadi “organisasi rahasia” bagi Ikhwanul Muslimin.
ATIB adalah pecahan dari kelompok ultranasionalis Turki, Grey Wolf, atau Serigala Abu-abu. Organisasi itu merupakan anggota Dewan Sentral Muslim, sebuah wadah organisasi-organisasi Islam di Jerman.
AJC mendesak pemerintah Jerman untuk memerangi “politisasi Islam dalam berbagai bentuknya.” Karena meski tidak mengkampanyekan tindak kekerasan, organisasi-organisasi ini dinilai ikut menumbuhkan atmosfer kekerasan di Eropa. Menurut Leemhuis dan Rodan-Benzaquen, kaum islamis ingin membangun “masyarakat tandingan” di Eropa yang memusuhi demokrasi dan nilai-nilai barat.
Studi konservatisme di sekolah Jerman
Hal serupa juga disuarakan Serikat Guru Jerman yang menuntut studi berskala nasional untuk mengungkap bibit islamisme di sekolah. Kepada Kantor Berita Katolik, KNA, ketua asosiasi, Heint-Peter Meidinger, mengusulkan “jajak pendapat anonim di kalangan guru.”
Menurutnya guru dan tenaga konsuler di sekolah juga harus mendapat penyuluhan dari tenaga ahli. Untuk itu dia mengajukan pembentukan ombudsman, “yang bisa menjadi pusat aduan di luar birokrasi untuk tenaga pengajar.”
Pembunuhan keji terhadap guru Prancis, Samuel Paty, pertengahan Oktober silam turut memicu diskusi di Jerman. Asosiasi guru menuntut diskursus tentang bagaimana menghadapi murid yang berasal dari keluarga ultrakonservatif dan berpandangan ekstrem, atau murid yang mengalami radikalisasi di masjid atau internet.
Asosiasi Guru Jerman menyebut isu tersebut dianggap tabu di kalangan tenaga pengajar. Hal ini disebabkan minimnya dukungan dari manajemen sekolah atau politik. Heinz-Peter Meidinger terutama mewanti-wanti, bagaimana guru rekan kerja Paty ikut mengabaikan situasi korban, seperti yang terungkap dalam lalulintas pesan elektronik di sekoah yang kini dipublikasikan.
“Saya harap, di Jerman situasinya akan jauh berbeda,” kata dia.
rzn/as (dpa, kna, rtrd)